• Kecurangan pembayaran pajak ekspor.
Tercatat, ada 6 anggota DPRD Riau yang memiliki kuasa pertambangan, yaitu Chaidir, Ketua DPRD Riau, Thamrin Nasution, Sharizal LZ, Badarawi Madjid, Fachruddin, Abdul Kadir, dan anak seorang Gubernur Riau yang sedang berkuasa saat itu, Indra Mukhlis Adnan. Ini belum ditambah dengan kuasa pertambangan yang dimiliki pejabat pusat, termasuk klannya Habibie, mantan orang nomor wahid di Indonesia. Walaupun demikian, menurut data Bea dan Cukai Riau, dari sekian banyak kuasa pertambangan yang ada, baru enam perusahaan yang menyetorkan pajak ekspornya. Nilainya pun tidak seimbang.
Pada periode April – Desember 2000, ekspor pasir ini seharusnya bernilai S$ 14 juta atau 14 juta trilyun, tetapi pajak ekspor yang diterima pemerintah Cuma 18,2 miliar. Pada semester pertama 2001, nilai ekspor pasir melonjak menjadi sebesar 47 trilyun, tetapi pajaknya Cuma 73,4 miliar. Jelas, banyak sekali pengusaha yang curang dan tidak membayar pajak ekspor.
• Keterlibatan Militer
Anggota DPR RI periode 1999 – 2004, Priyo Budi Santoso, menyatakan bahwa angkatan laut (AL), Kepolisian, dan Bea Cukai terlibat dalam bisnis pencurian pasir laut. Indikatornya bisa dilihat dari Berita Acara Klarifikasi tahun 2001, dimana tercatat jumlah produksi hanya 47,3 juta m3 atau senilai Rp. 114,127 miliar. Padahal, kebutuhan Singapura periode 2000-2005 mencapai 1,268 trilyun m3 atau setara dengan Rp. 40,730 trilyun. Otomatis, seharusnya jumlah pasir yang telah ditambang mencapai 253,6 juta m3. Alasan bahwa sebagian kebutuhan Singapura dipenuhi oleh Malaysia, sangat tidak masuk akal, karena aktivitas di Malaysia hanya berlangsung sebentar dan saat ini pun tidak ada lagi. Berbagai aspek yang mendorong terjadinya tindak pencurian ini bisa jadi akibat :
• Kacaunya perijinan yang ada.
Setelah otonomi diberlakukan pada 1 Januari 2001, Gubernur Riau, Saleh Djasit, Bupati Karimun, Haji Muhammad Sani, dan Bupati Kepri, Huzrin Hood, saling berlomba mengeluarkan izin konsesi tanpa mengacu pada konsesi yang telah ada. Hingga April 2001, ketiganya telah mengeluarkan lebih dari 300 izin eksplorasi konsesi pertambangan. Akibatnya, bisa dibayangkan. Tidak adanya koordinasi dan sempitnya ruang mengakibatkan satu konsesi menindih konsesi yang lain. Inilah satu masalah mendasar dari proses perizinan yang bisa menjadi bom waktu pemicu konflik antara pengusaha lawan pengusaha yang lain. Tapi jangan khawatir, konflik tersebut sebetulnya tidak akan terjadi jika pengusaha jual beli tanah air ini mengikuti aturan main yang telah ditetapkan dalam proses pembuatan Amdal. Sebagaimana diketahui, di dalam Amdal telah disyaratkan untuk membuat tanda batas dari pelampung yang diberi warna. Tujuannya agar masing-masing konsesi dapat dikenali. Bila aturan ini dituruti, kekhawatiran munculnya konflik bisa diabaikan. Yang justru membuat cemas adalah bahwa para pengusaha tersebut, telah melakukan pencurian sumberdaya alam, secara besar-besaran, dengan cara menambang di tempat yang bukan menjadi konsesinya, mengingat sulitnya menentukan batas antara satu dengan yang lain. Bila ini yang terjadi, tentu saja negara berada pada posisi yang dirugikan. Laut memang tidak memiliki tanda alam. Itu sebabnya, untuk menghindari terjadinya tumpang tindih, dokumen Amdal mewajibkan adanya pelampung sebagai batas konsesi. Inilah celah yang digunakan untuk melakukan pencurian. Dengan tidak meletakkan pelampung (pembatas), mereka semakin leluasa mengeruk keuntungan.
• Pelanggaran Aturan
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan Diah Maulida mengatakan, dari hasil kunjungan tim bersama antar-instansi terkait terungkap, telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan kewajiban pemegang Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD) atau kuasa penambangan untuk penambangan pasir, tanah, dan bahan galian golongan C lain.
• Kecurangan yang terjadi dalam proses penyusunan AMDAL
Demo nelayan tradisional, juga, sekali lagi membuktikan seharusnya di dalam penyusunan AMDAL tersebut, masyarakat dilibatkan sebagai salah satu stakeholder yang selama ini dekat dengan lokasi konsesi dan sekaligus berhubungan erat dengan konsesi yang ada. Dengan adanya demo ini, fakta bahwa proses penyusunan AMDAL begitu dangkal dan bobrok, bukan lagi sekedar isapan jempol.
• Fakta bercerita bahwa masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan yang berkenaan dengan hajat hidup mereka sehari-hari tidak disosialisasikan sehingga peran serta masyarakat dalam pengawasan / kontrol tidak dapat terwujud. Inilah sebab utama munculnya pencurian tanpa diketahui dan dapat dilaporkan oleh masyarakat.
• Begitu banyaknya pungutan yang harus dilalui
Hal yang juga mendorong mereka untuk melakukan ini adalah salah satunya begitu banyak pungutan yang harus dilalui, baik ketika masa eksplorasi maupun eksploitasi. Hal tersebut diakui sendiri oleh salah seorang pengurus Asosiasi Pengusaha Penambangan Pasir Laut (AP3L). Bahkan, sumber dari AP3L tersebut mengaku bahwa dalam setahunnya, terjadi illegal sand mining sebesar 35 juta m3. Entah dari mana angka ini didapat. Namun, hal ini bisa dijadikan sebagai petunjuk bahwa pencurian tanah air begitu menggila. Pengusaha memang mendapat banyak keuntungan dari konsesinya, dengan harga jual S$ 1,75/m3 (Agustus, 2002) di lokasi reklamasi. Namun dengan banyaknya pungutan, keuntungan tersebut mungkin belum mencukupi untuk menutup pungutan-pungutan liar lainnya. Belum lagi kekhawatiran konsesi yang dimiliki berisikan lumpur, sebagaimana konsesi seorang tokoh Riau, Dr. Tabrani Rab, yang berisi lumpur, sehingga berbalik dan mulai menyerang seluruh aktivitas penambangan tersebut dengan alasan merusak lingkungan dan merugikan masyarakat nelayan.
Sebagaimana diketahui, ketika izin konsesi didapatkan, pengusaha terlebih dahulu harus menyetorkan sejumlah uang sebagai jaminan kesungguhan sebesar US$ 5 per hektar ke BPD Riau. Ditambah iuran eksplorasi sebesar Rp. 20.000 per hektarnya dan iuran daerah Rp. 25 ribu/ha. Ini belum lagi ditambah dengan biaya pengembangan masyarakat (Community Development), sebagai kompensasi terhadap nelayan tradisional yang besarnya mencapai 300-400 juta untuk setiap konsesi dan dana penelitian AMDAL sebesar 200 juta. Jadi, seandainya seorang pengusaha mendapatkan konsesi, katakanlah 4.000 hektar, maka ia harus menyetorkan:
Tabel 1. Pungutan Pra Penambangan
No Kewajiban Pengusaha* Jumlah
1 Jaminan Kesungguhan Rp. 200.000.000,-
2 Proses AMDAL Rp. 200.000.000,-
3 Iuran Eksplorasi Rp. 80.000.000,-
4 Iuran Daerah/Tahun Masa Eksplorasi Rp. 100.000.000,-
5 Kompensasi CD Rp. 300.000.000,-
6 Iuran Daerah/Tahun1 Rp. 100.000.000,-
Total Rp. 980.000.000,-
1Dibayar di muka untuk tahun pertama masa eksploitasi.
*Dikembalikan apabila selesai/habis masa konsesi.
Setelah semua proses dilalui, barulah pemilik konsesi mengontak pemilik kapal yang umumnya dimiliki oleh perusahaan asing. Tercatat beberapa pemain berada di sini, di antaranya dari Jepang, Korea, Belanda, Belgia, Rusia, dan beberapa perusahaan dengan nama asing, namun berbendera Panama. Dan apabila terdapat warga asing sebagai ABK-nya, maka harus ada izin dari Angkatan Laut dan Departemen Luar Negeri (Deplu). Untuk ini, pengusaha ditarik sumbangan sukarela yang besarnya bervariasi. Konon, sumbangan di Angkatan Laut mencapai S$ 10 sen/hektar atau bila mengacu pada luasan yang ada, berarti sebesar S$ 40.000/thn. Hal di atas belum lagi selesai ketika operasi setoran yang harus dibayar adalah:
No Komposisi Harga/m3 Pasir Laut
1 Iuran Produksi ke Pemerintah Pusat 10% S$ 0.175
2 Iuran Produksi ke Pemerintah Daerah 25% S$ 0,438
3 Biaya Transportasi1 S$ 0,2
4 Biaya Keruk S$ 0,33
5 Biaya Pengembangan Masyarakat S$ 0,10
6 Pajak Ekspor Barang S$ 0,35
-- Total Sementara S$ 1,693
7 Margin Keuntungan Sementara S$ 0,057
8 Pajak CnF Pemerintah Pusat 25% S$ 0,01425
9 Pajak CnF Pemerintah Daerah 50% S$ 0,0285
-- Total Margin Keuntungan S$ 0,01425
1Untuk jarak rata-rata20 mil.
*1 m3: US$ 1,75.
Harga Per Agustus 2002. Bila S$ 1 = Rp. 5600, maka keuntungan yang diterima oleh si pemilik konsesi mencapai Rp. 79,8/m3. Kalau dalam seharinya satu buah kapal mampu menyedot sekitar 200 ribu m3 (tergantung jarak), maka keuntungan dari pengusaha tersebut menjadi hampir Rp 15.960.000/hari. Dalam setahun, dengan masa kerja efektif 250 hari, maka keuntungan kotor menjadi hampir Rp. 4 milyar. Belum lagi dipotong dengan biaya administrasi dan sebagainya, termasuk berbagai macam pungutan siluman. Sebuah angka yang fantastis untuk jual beli tanah air. Bayangkan kalau ia memiliki banyak konsesi. Bayangkan pula, kalau ia menyedot tidak sampai 1 mil dari bibir pantai, sebagaimana yang sering dilakukan. Bayangkan pula, kalau nilai tukar dollar Singapore turun seperti sekarang ini yang hanya mencapai Rp. 5.100.
Satu-satunya pilihan untuk menaikkan margin keuntungan bagi pemilik kapal keruk dan pelaksana proyek reklamasi adalah mencuri. Kapal keruk beroperasi tidak berdasarkan kuasa pertambangan. Pihak Singapura dengan senang hati akan menghargainya sebesar 1 S$ per m3. Kalau saja setiap kapal berukuran sedang mampu mengeruk sekitar 200 ribu m3, berarti keuntungan yang diterima pemilik kapal mencapai S$ 100 ribu, setelah dipotong ongkos angkut dan ongkos keruk dari satu kapal. Bebas dari biaya setoran, dan lain-lain.
Tentu saja, Pemerintah Singapura menutup mata dengan mendasarkan pada bahwa seluruh kontrak reklamasi telah diserahkan pada pihak swasta dan pemerintah tidak ikut campur dari mana swasta akan melakukan pengadaan pasir tersebut, sebagaimana yang diakui oleh Ajiv Shingh, Konsulat Singapura di Riau. Otomatis, dengan cara ini negeri Singa tersebut menjauhkan diri dari pertanggungjawaban terhadap setiap ton pasir yang dicuri dari Riau. Secara otomatis, bila kasus ini dibawa ke pengadilan, maka pemerintah Singapura telah memposisikan dirinya sebagai yang tak tersentuh (the Untouchable).
Yaitu dia yang berlaku tidak bercela, yang melakukan apa yang adil dan yang mengatakan kebenaran dengan segenap hatinya,
BalasHapusyang tidak menyebarkan fitnah dengan lidahnya, yang tidak berbuat jahat terhadap temannya dan yang tidak menimpakan cela kepada tetangganya;
yang memandang hina orang yang tersingkir, tetapi memuliakan orang yang takut akan TUHAN; yang berpegang pada sumpah, walaupun rugi;
yang tidak meminjamkan uangnya dengan makan riba dan tidak menerima suap melawan orang yang tak bersalah. Siapa yang berlaku demikian, tidak akan goyah selama-lamanya.