Selasa, 05 Januari 2010

Kerusakan Lingkungan Akibat Penambangan Pasir Secara Besar-besaran di Riau

Penambangan pasir laut menimbulkan kerusakan lingkungan yang serius. Hal yang paling gampang dideteksi adalah:
1) Hilangnya sebuah pulau karang di alur pelayaran antara Selat Panjang - Tanjung Balai Karimun. Seorang masyarakat yang seringkali menggunakan jasa transportasi laut tersebut, mengaku bahwa setahun yang lalu pulau tersebut masih ditumbuhi oleh dua tiga pohon keras dan ilalang. Dan sekarang, pulau tersebut hampir tidak terlihat lagi, khususnya pada saat titik terendah pasang surut laut. Di jalur pelayaran yang sama pula, kita bisa menyaksikan puluhan kapal pengeruk beroperasi setiap harinya. Berjejer seperti noktah hitam di pinggir langit.
2) Kondisi tersebut bertambah parah dengan keruhnya perairan laut sekitar maupun bau busuk yang terkadang menyengat. Tidak lagi bisa kita lihat birunya air dan harumnya udara laut. Semua berganti dengan warna keruh dan bau busuk yang cukup menyengat. Ini terjadi hampir di seluruh perairan Kepulauan Riau, khususnya di mana kapal keruk melakukan aktivitas penambangan. Metode pengambilan pasir dilakukan dengan melakukan pengerukan sebagaimana halnya buldozer meluluhlantakkan apa yang dilaluinya. Selain itu dengan menggunakan pipa penyedot dengan kekuatan yang besar. Ia akan menyedot apapun yang ada di ujung pipa tersebut. Walaupun metode kedua berbeda, namun hasil yang ditimbulkan tetap saja sama. Pasir yang ada akan tersedot habis ke atas dan sesampainya di atas dipisahkan. Pasir masuk ke bak penampungan dan lumpur dibuang kembali ke laut. Yang patut dicermati, adalah pasir yang tersedot tersebut kemudian meninggalkan lubang. Berdasarkan efek gravitasi kemudian pasir yang di atasnya akan menutup kembali lubang tersebut. Biasanya, secara alami, pasir yang ada memang akan mengisi kekosongan tersebut. Namun, ini terjadi secara alami sehingga perpindahan pasir dari satu tempat mengisi tempat yang lain tidak akan terlalu terasa perubahannya. Namun, apabila proses yang terjadi merupakan sebuah percepatan, maka hasilnya akan berbeda. Pasir yang di atasnya, secara otomatis, turut menyedot dan membuat pantai menjadi curam. Akibat lebih jauh, gerusan ombak dengan leluasa menghajar apa yang ada di pinggir pantai. Bisa anda bayangkan bagaimana proses pemindahan pasir yang terjadi secara drastis dari hari ke hari, bulan ke bulan, dan dari tahun ke tahun. Sungguh sebuah realita yang memprihatinkan betapa negeri ini sedang menderita. Lalu apakah yang dapat kita wariskan pada generasi mendatang jika keadaan yang demikian terus berlanjut dan semakin tidak terkendali. Ditambah lagi bahwa proses penambangan pasir ilegal ini mengalami peningkatan yang maha dahsyat dalam kurun waktu 2 tahun terakhir ini.
3) Di sejumlah tempat, abrasi pantai yang terjadi sudah mencapai 35 meter. Bahkan, abrasi juga sudah menelan sebuah pulau, yang dikenal dengan nama Pulau Karang, tempat di mana nelayan biasanya berteduh dari hembusan angin yang terkadang tidak bersahabat. Di Desa Parit, Kecamatan Karimun, abrasi pantai sudah berada di tepi rumah salah seorang nelayan. Abrasi sejauh 24 meter tersebut, bisa dilihat pada titik N 00º57 310.10 E 103º2601.90. Kemudian pada titik N 00º55023.50 E 103º28019.90, di mana abrasi dan lumpur yang ditinggalkan kapal keruk turut mengancam usaha budidaya rumput laut yang diusahakan warga. Demikian juga halnya di Desa Lubuk Puding. Di Pulau Buru, abrasi pantai juga terjadi pada titik N 00º52032.00 E 103º31040.50 sejauh 17 m. Abrasi juga menghantam dan menghabiskan tiga baris perkebunan kelapa milik masyarakat di Lubuk Puding. Masih banyak lagi lokasi di mana abrasi telah menggerus pantai yang ada. Inilah bukti tak terbantahkan bahwa ada penyusutan pulau yang tengah terjadi di Karimun. Seperti yang telah dikatakan, bahwa abrasi pantai telah mengalami percepatan dalam 2-3 tahun belakangan ini. Tingginya aktivitas penambangan pasir dianggap menjadi penyebab dari kondisi tersebut. Belum adanya penelitian yang menyeluruh terhadap berbagai dampak yang ditimbulkan dari penambangan pasir, khususnya terhadap lingkungan, membuat hubungan sebab akibat ini bersifat asumsi. Akan tetapi, berdasarkan laporan langsung dari nelayan setempat dan berdasarkan logika berpikir, hal ini bisa diketengahkan dalam melakukan penilaian hubungan sebab akibat yang terjadi dari suatu aktivitas penambangan pasir dan percepatan abrasi yang terjadi.
4) Kerusakan lingkungan bukan saja terjadi pada pantai akibat abrasi. Lumpur yang ikut tersedot dan dimuntahkan kembali ke laut merupakan penyebab utama keruhnya perairan di Karimun. Berbagai jasad renik yang ikut tersedot, secara otomatis, ikut menjadi penyebab munculnya bau busuk yang mengganggu. Dalam kondisi perairan yang sedemikian rupa, pertanyaan yang muncul adalah, ”Adakah kehidupan yang mampu bertahan di dalamnya?”. Jawabannya adalah ”Tidak ada satupun” dan ini dibuktikan dengan semakin berkurangnya hasil tangkapan nelayan. Bila sebelum maraknya penambangan, seorang nelayan mampu membawa pulang 30 kg-50 kg udang sehari, kini untuk waktu yang sama jumlah tangkapannya menjadi 5 kg-15 kg. Dengan catatan, hal itu bersifat untung-untungan. Keruhnya perairan sekitar juga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan karang yang ada.
5) Sulitnya sinar matahari menembus kedalaman laut tertentu menyulitkan karang dalam melakukan aktivitas fotosintesis sehingga menghambat pertumbuhan karang tersebut. Penyedotan pasir juga menyebabkan hilangnya sejumlah padang lamun di samping menghancurkan karang-karang yang ada. Hilangnya sejumlah padang lamun dan terumbu karang, secara pasti, turut menjadi penyebab beremigrasinya sejumlah ikan tangkapan nelayan ke lain tempat. Tentu saja, tidak ada yang suka untuk tinggal dan menetap di kondisi perairan yang sedemikian kotor dan berbau. Belum lagi polusi suara yang ditimbulkan oleh kapal-kapal pengeruk tersebut.
6) Seorang nelayan mengaku pernah melakukan penyelaman sedalam lebih dari 7 meter dan masih mendengar dengan jelas kebisingan yang ditimbulkan oleh kapal pengeruk yang berjarak sejauh 500 meter dari lokasi penyelaman. Hal yang paling mengerikan daripada itu semua adalah kekhawatiran musnahnya sejumlah pulau kecil yang bertebaran di perairan Karimun. Aktivitas jual beli tanah air tersebut, dituding sebagai salah satu faktor utama yang mempercepat proses tersebut. Ketakutan tersebut bukannya tidak beralasan. Ada sejumlah bukti yang bisa diketengahkan di sini, di mana ada beberapa pulau yang nyaris hilang selain pulau yang memang sudah hilang sama sekali. Lepas pantai Desa Moro, ada sebuah pulau karang yang dulunya dijadikan nelayan untuk tempat berteduh manakala badai datang menerpa. Pulau tersebut ditumbuhi oleh beberapa tetumbuhan keras dan ilalang dengan kontur tanah yang meninggi pada bagian tengahnya, sehingga dapat digunakan sebagai tempat untuk beristirahat barang sejenak dan untuk melindungi diri dari amukan angin yang datang tanpa terduga, mengingat letaknya di selat yang cukup sempit. Tapi, kini itu semua tiada lagi, yang tinggal di pulau tersebut hanya tunggul kayu yang mencuat ke atas. Tidak ada lagi tanah di mana bisa ditambatkan perahu, tidak ada lagi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Halaman