Senin, 15 Februari 2010

Emisi Gas CO2

EMISI GAS CO¬2 AKIBAT PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN
TAHUN 1999 – 2007
DI KABUPATEN LIMAPULUH KOTA DAN KOTA PAYAKUMBUH
SUMATERA BARAT



Oleh: Yudi Antomy, MSi
(Staff Pengajar Jurusan Geografi, FIS, Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat)

Abstrak

Perubahan tutupan lahan menyebabkan perubahan kandungan biomassa permukaan dalam pengertian bisa bertambah atau berkurang. Pertambahan biomassa permukaan dapat meningkatkan stok karbon, sebaliknya pengurangan biomassa dapat mengakibatkan kehilangan karbon dalam bentuk emisi CO2 ke atmosfer. Akumulasi CO2 ke atmosfer sebagai salasatu gas rumah kaca dapat meningkatkan suhu atmosfer yang kemudian memicu pemanasan global. Studi ini bertujuan untuk melakukan pendekatan rapid assessment dalam memprediksi pelepasan gas (emisi) CO2 akibat perubahan tutupan lahan berbasis pixel citra Landsat 1999 dan 2007 pada skala landsekap di wilayah Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh, Sumatera Barat. Yang menjadi masalah adalah: Bagaimana perubahan stok karbon dari biomassa permukaan di Kabupaten Limapuluh Koto dan Payakumbuh? Berapa emisi CO2 rata-rata tahunan yang berasal dari perubahan tutupan lahan di Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh? Dengan menggunakan data kandungan biomassa untuk tiap jenis tutupan lahan di Indonesia didapatkan distribusi kandungan biomassa untuk tiap pixel Landsat 1999 dan 2007. Kandungan biomassa pada tiap pixel dengan kategori unclassified didapatkan dengan ekstrapolasi dari persamaan regresi berganda metode stepwise antara nilai biomassa tiap jenis tutupan tanah dengan digital number tiap saluran 1, 2, 3, 4, 5, dan 7. Dari hasil yang didapatkan disimpulkan bahwa variasi perubahan tutupan lahan di Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh pada periode 1999 – 2007 memperlihatkan distribusi wilayah-wilayah dengan pengurangan dan penambahan kandungan biomassa/karbon yang merata di setiap tempat. Kluster khusus pada wilayah dengan pengurangan kandungan karbon terlihat jelas di Kecamatan Pangkalan Koto Baru dimana telah terjadi pelebaran genangan air akibat pembangunan danau buatan. Secara keseluruhan akibat perubahan tutupan lahan periode 1999 – 2007 Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh telah kehilangan sebanyak -0.0035 Gt karbon atau -217077.76 ton carbon per tahun. Dengan asumsi bahwa karbon yang hilang seluruhnya dilepaskan ke udara didapatkan bahwa dalam kurun waktu delapan tahun Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh telah melepaskan 6367614.44 ton CO2 ke atmosfer, artinya pada rentang 1999 – 2007 rata-rata tiap tahun dari wilayah ini telah menyumbangkan 795951.81 ton CO2 sebagai gas rumah kaca yang memicu pemanasan global.
Kata kunci: Biomassa, karbon, CO2, tutupan lahan, Landsat
Pendahuluan

Pemanasan global merupakan fenomena meningkatnya suhu permukaan bumi akibat peningkatan kadar gas-gas rumah kaca di atmosfer. Sebenarnya keberadaan gas rumah kaca (GRK) diperlukan untuk mempertahankan kehangatan suhu permukaan bumi sebagai penunjang kehidupan. Yang dikhawatirkan adalah peningkatan suhu yang terus menerus sehingga melewati ambang batas normal yang dapat membahayakan kehidupan manusia dalam bentuk gangguan kesehatan, kekurangan pangan, dan kerusakan lingkungan (Fischer et al, 2002). Kekhawatiran menjadi sangat beralasan ketika MacCracken dan Luther (1985, dalam Ulumuddin, et. al. 2005) menyebutkan bahwa peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer berkorelasi dengan peningkatan suhu atmosfer.
CO2 merupakan salah satu gas rumah kaca penting yang kadarnya terus meningkat seiring dengan eksploitasi sumberdaya alam di bumi termasuk sektor kehutanan. Kontribusi sektor kehutanan terhadap emisi global dilaporkan dalam Inter-governmental Panel on Cimate Change (IPCC) yang kemudian direspon oleh Conference of Parties (COP) ke-13 di Bali Desember 2007, tentang United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa sekitar 20% emisi CO2 dunia per tahun bersumber dari perusakan hutan tropis. Jumlah sebanyak ini tidak berbeda dari apa yang dinyatakan oleh Baumert et al, (2006). Kemudian didukung oleh hasil penelitian Houghton (2005) yang menemukan bahwa antara 1980 sampai 1990-an, perusakan hutan tropis telah melepaskan 2.4 milyar ton karbon ke atmosfer.
Khusus untuk kasus Indonesia, Natcom (1999, dalam Buku Putih REDD ) menyebutkan bahwa Sekitar 60% dari emisi gas rumah kaca Indonesia berasal dari sektor Land Use, Land Use Change, and Forestry (LULUCF). Oleh karena itu dalam COP ke-13 di Bali, Indonesia mengusulkan untuk memperluas cakupan kegiatan yaitu menurunkan emisi tidak hanya melalui pencegahan deforestasi tetapi juga melalui upaya penurunan laju kerusakan hutan yang kemudian dikenal dengan REDD (Reduction Emission from Deforestation and forest Degradation). Dengan memperluas cakupan kegiatan tersebut diharapkan sector kehutanan dapat menyerap kadar CO2 lebih banyak dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Dalam proses fotosintesis, CO2 di atmosfer diserap oleh tumbuhan kemudian dirubah menjadi karbon organic dalam bentuk biomassa. Kandungan karbon dalam biomassa pada waktu tertentu dikenal dengan istilah stok karbon (Apps et al, 2003).
Berkaitan dengan hal ini pemerintah Indonesia sudah membentuk Aliansi Hutan dan Iklim Indonesia (IFCA) dengan dukungan dari Bank Dunia, Pemerintah Inggris, Australia, dan German. Hal yang menarik dari mekanisme ini, sebagaimana makanisme dalam Protokol Kyoto pada Clean Development Mechanism (CDM artikel 12) adalah besarnya aliran dana dalam bentuk insentif sehubungan dengan usaha mengurangi emisi karbon.
Walau bagaimanapun dengan atau tanpa mengkaitkannya dengan potensi aliran dana, isu peningkatan suhu global menunjukkan pentingnya fungsi ekologis hutan sebagai penyerap karbon atmosferik. Hal ini menambah arti penting fungsi hutan lainnya yang mancakup fungsi ekonomi, dan pusat-pusat kekayaan biodiversity. Dalam melihat fungsi hutan sebagai penyerap karbon, informasi mengenai jumlah karbon yang ditambat oleh suatu kawasan hutan (stok karbon) menjadi penting. Oleh karena itu perlu dikembangkan metoda-metoda untuk estimasi stok karbon serta memantau perubahannya menurut waktu.
Metode untuk mengukur stok karbon saat ini banyak dikembangkan untuk level sampling plot pada areal tententu dengan mengukur biomassa. Biomassa merupakan material organic yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah. Dalam konteks yang menyangkut karbon hutan, biomassa yang diukur lebih banyak terfokus pada biomassa permukaan menggunakan persamaan allometric (Brown, 1997; Kraenzel et al., 2003; Laclau, 2003; Losi et al., 2003).
Teknik sampling plot dalam pengukuran di lapangan menghasilkan data dan informasi yang lebih akurat pada skala local akan tetapi terbukti memerlukan biaya tinggi dan waktu yang lama (de Gier, 2003). Untuk memperkirakan kandungan biomassa dan karbon pada skala landsekap masih dikembangkan beberapa pendekatan dengan teknik penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (SIG) menggunakan citra yang dihasilkan melalui optic, gelombang radio (radar), dan laser (lidar).
Quiñones (2002) memperlihatkan adanya korelasi antara biomassa hutan di Colombia dengan citra radar polarimetric, kemudian Prakoso (2006) memperlihatkan adanya korelasi antara biomassa hutan di Kalimantan Timur dengan citra radar polarimetric dan inferometric. Transfer data dari skala plot ke skala landsekap pada berbagai
region melalui persamaan regresi antara kandungan biomassa dengan nilai spectral citra Landsat pernah digunakan oleh Foody et.al. (2003) di Brazil, Malaysia, dan, Thailand. Ulumuddin et.al. (2005) memperlihatkan adanya korelasi yang baik antara kandungan biomassa di hutan pegunungan Papandayan, Jawa Barat dengan tiap nilai spectral citra Landsat.
Emsi CO2 ke udara akibat perubahan tutupan lahan dapat diprediksi melalui pendekatan penilaian secara cepat (rapid assessment) dengan menghitung perubahan nilai biomassa melalui penginderaan jauh berdasarkan berbagai asumsi dan penyederhanaan. Misalnya, tidak ada pemanfaatan biomassa dari pemanenan kayu menjadi mebel, bahan bangunan, atau barang lainnya, kemudian kelas tutupan hutan tidak dikelompokkan berdasarkan tipe hutan dan akumulasi species vegetasinya. Harus diakui bahwa dengan melalui cara ini akan didapatkan kemungkinan hasil yang overestimates ataupun underestimates disebabkan oleh beberapa factor yang mengakibatkan terjadinya perambatan kesalahan (error propagation). Akan tetapi estimasi emisi karbon dengan cara cepat dapat menghasilkan nilai yang dapat dipercaya sebagaimana dinyatakan oleh WWF Indonesia, RSS GmBH Jerman, dan Hokkaido Agricultural University Jepang dalam laporan teknisnya (WWF, 2008) sebagai berikut:
“All calculations had to rely on assumptions and simplifications. Several sources of uncertainty lead to a propagation of errors. We did not add error margins to our estimations, as the level of error of our calculation component is not precisely quantifiable. Each component of our calculations contributes to the total uncertainty. However, considering and reflecting on all errors we are convinced that the order of magnitude of the emission estimate are correct”
Dengan melakukan pendekatan ini studi kerjasama WWF Indonesia, RSS GmBH Jerman, dan Hokkaido Agricultural University Jepang menghasilkan informasi bahwa Provinsi Riau dengan tingkat perubahan tutupan hutannya yang sangat ekstrim dalam kurun waktu 1990 – 2007 telah melepaskan CO2 ke atmosfer sebanyak 3.66 Gt per tahun (1 Gt = 109 ton).
Tujuan

Studi ini bertujuan untuk melakukan pendekatan rapid assessment dalam memprediksi pelepasan gas (emisi) CO2 akibat perubahan tutupan lahan berbasis pixel citra Landsat 1999 dan 2007 pada skala landsekap di wilayah Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh, Sumatera Barat. Kota
Masalah

Yang menjadi masalah adalah:
1. Bagaimana perubahan stok karbon dari biomassa permukaan di Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh?
2. Berapa emisi CO2 rata-rata tahunan yang berasal dari perubahan tutupan lahan di Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh?
Areal Studi

Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh merupakan salah satu wilayah di Provinsi Sumatera Barat yang masih mempunyai kawasan hutan cukup luas. Posisi geografis yang berbatasan dengan Provinsi Riau yang telah banyak kehilangan hutan secara drastic menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan ketika ancaman degradasi hutan di Limapuluh Kota datang dari Provinsi lain. WWF (2008) melaporkan bahwa dalam kurun waktu 25 tahun (1982 – 2007), Provinsi Riau telah kehilangan 4 juta hektar hutan yang berubah menjadi perkebunan sawit, tanaman kayu untuk bubur kertas, dan menjadi lahan kritis.
Metodologi

Studi ini dilakukan dengan menggunakan dua seri citra Landsat path 127 raw 60, 15 Juni 1999 dan 3 Juli 2007. Langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan klasifikasi jenis tutupan lahan pada tiap citra dengan kombinasi saluran 5, 4, dan2 sehingga didapatkan peta tutupan lahan 1999 dan 2007. Penentuan nilai biomassa permukaan untuk setiap jenis tutupan lahan dilakukan dengan menggunakan
hasil perhitungan pada skala plot yang dilakukan di Indonesia dari beberapa literature (table 1). Dalam table tersebut penentuan nilai untuk satu jenis tutupan lahan yang mempunyai variasi nilai seperti hutan primer dan sekunder, digunakan nilai rata-ratanya. Nilai biomassa dari studi literature ditransformasi dari ton per hektar menjadi ton per pixel citra dengan ukuran 30 m2 (0.09 ha).
Dalam klasifikasi citra sering ditemukan adanya variasi nilai spectral yang tidak teridentifikasi untuk dijadikan kelas tutupan lahan tertentu sehingga kelas tutupan lahan yang dihasilkan dimasukkan ke dalam kelas unclassified. Hal ini biasanya terjadi untuk areal di luar wilayah-wilayah dengan karakteristik spectral yang jelas seperti hutan dan hutan sekunder. Keberadaannya menimbulkan kesulitan dalam menentukan nilai biomassa pada setiap pixel unclassified.
Untuk mengatasi kesulitan penentuan nilai biomassa pada tiap pixel unclassified dilakukan dengan cara ekstrapolasi nilai persamaan regresi linear menggunakan pendekatan stepwise regression antara kandungan biomassa tiap jenis tutupan lahan yang teridentifikasi dengan karakteristik spectral digital number (DN) saluran 1, 2, 3, 4, 5, dan 7 melalui persamaan:
Bij = a + bTM1 + cTM2 + dTM3 + eTM4 + fTM5 + gTM7 ….. (1)
Dimana: Bij = nilai biomassa pada pixel di baris ke-i kolom ke-j
TM1 sampai TM7 = digital number (DN) pada tiap saluran 1 sampai 7
a, b, sampai g = konstanta

Dengan demikian nilai biomassa untuk unclassified pixel dengan mudah didapatkan. Akan tetapi sebagaimana disebutkan di atas, unclassified pixel hanya didapatkan di luar area hutan primer dan sekunder sehingga nilai maksimumnya harus lebih kecil dari nilai biomassa hutan. Berdasarkan table 1, nilai biomassa yang diperkenankan berada pada rentang 0 sampai 71. Oleh karena itu perlu dilakukan stretching pada nilai Bij sehingga berada pada rentang yang diinginkan dengan menggunakan persamaan:
Bij-x = (Bij – Bij-min) / (Bij-max – Bij-min / bmax) …..(2)
Dimana: Bij-x = nilai biomassa pada pixel di baris ke-i kolom ke-j setelah stretching
Bij-min = nilai biomassa minimum pada unclassified pixel
Bij-mix = nilai biomassa maximum pada unclassified pixel
bmax = nilai biomassa maksimum pada rentang yang diperkenankan

Melalui cara ini akan didaptkan nilai biomassa untuk setiap kelas tutupan lahan berbasis pixel untuk seluruh areal kajian pada 1999 dan 2007.




Table 1. Nilai biomassa untuk setiap kelas tutupan lahan
Klas Wilayah Sumber Biomass (t/ha) Studi ini Biomass (t/ha)
Closed-broadleaf tropical forest Indonesia Lasco (2002) 508.00 Hutan primer 531.55
Natural forest Indonesia Hairiah et.al. (2001) 508.00
Mixed diptherocarp Borneo MacKinnon et.al. (1996) 650.00
Hutan primer Nunukan, Kalimantan Rahayu et.al (2004) 460.20
Commercial logging Indonesia Hairiah et.al. (2001) 300.00 Hutan sekunder 337.53
Logged forest Sumatera, Pasir Mayang Prasetyo et.al. (2000) 310.00
Hutan bekas tebangan Nunukan, Kalimantan Rahayu et.al (2004) 402.60
Grassland Sumatera, Pasir Mayang Prasetyo et.al. (2000) 12.00 Semak 12.00
Bush/Shrub Sumatera, Pasir Mayang Prasetyo et.al. (2000) 30.00 Semak belukar 30.00
Cultivated land and secondary vegetation Sumatera, Pasir Mayang Prasetyo et.al. (2000) 71.00 Belukar tua 71.00
Cash crops plantation Sumatera, Pasir Mayang Prasetyo et.al. (2000) 56.00 Ladang 56.00
Paddy field Sumatera, Pasir Mayang Prasetyo et.al. (2000) 15.00 Sawah 15.00
Lahan terbuka 0.00
Permukiman 0.00
Danau 0.00

Karbon yang terkandung merupakan 50% dari biomassa permukaan (Montagnini and Porras, 1998; Kurz dan Apps, 1999; Losi et al., 2003; Montagu et al., 2005). Secara sederhana didapatkan cara untuk menghitung kandungan karbon pada tiap pixel tutupan lahan dengan mengkalikannya dengan 0.5. Perubahan kandungan karbon akibat perubahan tutupan lahan adalah selisih kandungan karbon tiap pixel pada tutupan lahan 2007 dengan tutupan lahan 1999.
Pelepasan karbon dari biomassa permukaan yang hilang ke dalam atmosfer adalah karbon yang bersenyawa dengan oksigen membentuk gas rumah kaca dalam bentuk CO2. Dengan mengadopsi cara U.S. DOE (1998) conversi nilai karbon C menjadi basis karbondioksida CO2 dilakukan dengan mengkalikannya terhadap rasio berat molekul CO2 terhadap berat molekul C melalui persamaan:
Emisi CO2 = C * 44/12
Hasil dan Pembahasan

Interpretasi visual tutupan lahan pada citra Landsat 1999 (gambar 1) menghasilkan sembilan kelas ditambah satu kelas yang tidak terkelaskan (unclassified). Sedangkan pada citra Landsat 2007 (gambar 2) menghasilkan sepuluh kelas ditambah satu kelas yang tidak terkelaskan (unclassified). Untuk kepentingan perhitungan perubahan tutupan lahan, interpretasi dilakukan dengan masking tutupan awan 1999 dan 2007. Cara ini menyebabkan adanya kelas tutupan awan 2007 pada peta tutupan lahan 1999 dan sebaliknya.
Pada pixel unclassified dilakukan pengisian nilai pixel dengan hasil persamaan regresi linear antara biomassa dengan enam saluran citra. Pada citra Landsat 1999 ternyata dari enam saluran yang dimasukkan sebagai variable bebas, hanya didapatkan saluran 5 (TM5) dan 1 (TM1) yang mempunyai kaitan signifikan dengan biomassa (B) dengan R2 = 0.603 mengikuti persamaan:
B = 1396.446 – 5.377TM5 – 13.892TM1
Berbeda dengan citra Landsat 1999, untuk tahun 2007 didapatkan saluran 5 (TM5), 2 (TM2), dan 7 (TM7) yang mempunyai kaitan signifikan dengan biomassa (B) dengan R2 = 0.609 mengikuti persamaan:
B = 1000.17 – 6.358TM5 – 11.13TM2 + 6.519TM7
Operasi pengurangan pada tiap pixel yang mengandung nilai biomassa 2007 dengan pixel yang mengandung biomassa 1999 menghasilkan distribusi wilayah dengan perubahan biomassa yang berkurang, meningkat, dan tetap. Peta di gambar 3 memperlihatkan distribusi perubahan yang merata, kecuali di Kecamatan Pangkalan Koto Baru terdapat kluster-kluster wilayah dengan biomassa yang berkurang karena adanya pembangunan danau buatan.
Tabel 2 memperlihatkan penurunan kandungan biomassa paling banyak terjadi pada perubahan hutan primer menjadi tutupan lahan lainnya yang mengakibatkan kehilangan 73.26% kemudian oleh perubahan hutan sekunder sebanyak 19.26%. Penaikkan kandungan biomassa terjadi pada perubahan hutan sekunder menjadi hutan primer sebanyak 57.32% kemudian oleh perubahan belukar menjadi hutan sekunder sebanyak 33.25%. Secara keseluruhan, dalam kurun waktu delapan tahun Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh telah kehilangan sebanyak -0.0035 Gt biomassa. Pada 1999 didapatkan 0.0825 Gt sedangkan 2007 tersisa 0.079 Gt. Artinya pada periode ini tiap tahun telah hilang sebanyak -217077.76 ton karbon.


Gambar 1. Tutupan lahan pada citra Landsat 1999
Gambar 2. Tutupan lahan pada citra Landsat 2007




Gambar 3. Perubahan biomassa permukaan (kandungan karbon adalah 50% biomassa) antara 1999 – 2007 dimana warna merah menunjukkan adanya indikasi pengurangan biomassa, kuning muda tidak ada perubahan, hijau menunjukkan indikasi peningkatan kandungan biomassa, dan kelabu adalah tutupan awan
Table 2. Perubahan biomassa (ton) pada tiap kelas tutupan lahan

1999

2007 Hutan primer Hutan sekunder Semak Semak belukar Belukar Ladang Sawah Lahan terbuka Permukiman Unclassified
Hutan primer 0.00 2692259.21 - - - - - - - -
Hutan sekunder -2695751.41 0.00 - - 1561594.81 - - - -
Semak -248570.84 -233358.57 0.00 -3178.44 -13184.73 -14533.20 - 17149.32 - -
Semak belukar -382056.50 -420069.01 - 0.00 -31778.28 - 17309.70 - -
Belukar -571788.96 -276461.70 61643.79 17121.60 0.00 88148.25 - 241816.77 - -
Ladang - - - - - 0.00 - - - -
Sawah - - - -5366.25 - - 0.00 - - -
Lahan terbuka -1946712.43 -597504.88 - -5902.20 -28978.65 -141825.60 -44725.50 0.00 - -
Permukiman - - - -491.40 -6089.67 - -17273.25 0.00 0.00 -
Danau -140885.86 -46417.58 - -656.10 -1246.05 -8139.60 -901.80 0.00 0.00 -17542.12
Unclassified - - - - - - - - - -268897.11

Perhitungan emisi CO2 dilakukan dengan terlebih dahulu mengkonversi nilai kandungan biomassa menjadi kandungan karbon. Biomassa yang hilang setara dengan karbon yang hilang. Karbon yang hilang inilah yang diasumsikan menjadi sumber emisi CO2 ke atmosfer. Dengan mengkalikan berat karbon yang hilang terhadap rasio berat molekul CO2 didapatkan bahwa dalam kurun waktu delapan tahun Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh telah melepaskan 6367614.44 ton CO2 ke atmosfer, artinya pada rentang 1999 – 2007 tiap tahun dari wilayah ini telah menyumbangkan 795951.81 ton CO2 sebagai gas rumah kaca atau setara dengan 0.002% dari emisi CO2 akibat perubahan tutupan lahan di Riau.
Kesimpulan

Tutupan hutan baik primer maupun sekunder mengandung biomassa yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan jenis tutupan lahan lainnya. Perubahan tutupan lahan dari jenis ini mengakibatkan kehilangan biomassa sekaligus kandungan karbon yang tinggi sebaliknya jika perubahan dari jenis lain menjadi hutan akan menghasilkan karbon tertambat yang tinggi pula. Variasi perubahan tutupan lahan di Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh pada periode 1999 – 2007 memperlihatkan distribusi wilayah-wilayah dengan pengurangan dan penambahan kandungan biomassa/karbon yang merata di setiap tempat. Kluster khusus pada wilayah dengan pengurangan kandungan karbon terlihat jelas di Kecamatan Pangkalan Koto Baru dimana telah terjadi pelebaran genangan air akibat pembangunan danau buatan. Secara keseluruhan akibat perubahan tutupan lahan periode 1999 – 2007 Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh telah kehilangan sebanyak -0.0035 Gt karbon atau -217077.76 ton carbon per tahun.
Dengan asumsi bahwa karbon yang hilang seluruhnya dilepaskan ke udara didapatkan bahwa dalam kurun waktu delapan tahun Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh telah melepaskan 6367614.44 ton CO2 ke atmosfer, artinya pada rentang 1999 – 2007 tiap tahun dari wilayah ini telah menyumbangkan 795951.81 ton CO2 sebagai gas rumah kaca yang memicu pemanasan global.
Bahan Bacaan

Apps, M., M. Artaxo, D. Barret, J. Canadell, A. Cescatti, G. Churkina, P. Ciais, E. Cienciala, P. Cox, C. Field, M. Heimann, E. Holland, R. Houghton, V. Jaramillo, F. Joos, M. Kanninen, J.B. Kauffman, W. Kurz, R.D. Lasco, B. Law, Y. Malhi, R. McMurtrie, Y. Morikawa, D. Murdiyarso, S. Nilsson, W. Ogana, P. Peylin, O. Sala, D. Schimel, P. Smith, G. Zhou and S. Zimov, editors, 2003. Science Statement on Current Scientific Understanding of the Processes Affecting Terrestrial Carbon Stocks and Human Influences upon Them. IPCC. Geneva.

Baumert, K.A., Herzog, T., Pershing, J. 2006. Navigating the Numbers – Greenhouse Gas Data and International Climate Policy. World Resources Institute. Washington, USA.

Brown, S., 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forests: a Primer (FAO Forestry Paper-134), FAO, United Nations, Rome.

de Gier, A., 2003. A New Approach to Woody Biomass Assessment in Woodlands and Shrublands. In: P. Roy (Ed), Geoinformatics for Tropical Ecosystems, India, pp. 161-198.

Fischer, G., M. Shah, H. van Velthuizen, 2002. Climate Change and Agricultural Vurnerability. IIASA Publication Departement under United Nations Institutional Contract Agreement No 1113. World Summit on Sustainable Development, Johannesburg.

Foody, G.M., Boyd, D.S., and Cutler, M.E.J. 2003. Predictive Relations of Tropical Forest Biomass from Landsat TM Data and Their Transferability Between Regions. Remote Sensing of Environment 85 (2003) 463 - 474

Hairiah, K., Sitompul, S.M., van Noordwijk, M., and Palm, C., 2001. Carbon Stock of Tropical Land Use Systems as Part of thr Global C Balance: Effect of Forest Conversion and Options for Clean Development Activities. Alternatives to Slash and Burn (ASB) Lecture Note 4A. International Centre for Research in Agroforestry, Southeast Asian Regional Research Programme. Bogor. Indonesia.

Houghton, R. 2005. Tropical Deforestation and Climate Change, Edited by P. Moutinho and S. Schwartzman, Instituto de Pesquisa Ambiental da Amazônia (IPAM) and Environmental Defense.

Kurz, W.A. and Apps, M.J. 1999. A 70-year Retrospective Analysis of Carbon Fluxes in The Canadian Forest Sector," Ecological Applications, vol. 9, pp. 526-547

Kraenzel, M., Castillo, A., Moore, T. and Potvin, C., 2003. Carbon Storage of Harvest-age Teak (Tectona grandis) Plantations, Panama. Forest Ecology and Management, 173(1-3): 213-225.

Lasco, R.D., 2002. Forest Carbon Budgets in Southeast Asia Following Harvesting and Land Cover Change. Science in China (Series C). Vol. 45, pp. 55 – 64.

Laclau, P., 2003. Biomass and Carbon Sequestration of Ponderosa Pine Plantations and Native Cypress Forests in Northwest Patagonia. Forest Ecology and Management, 180(1-3): 317-333.

Lillesand, T. M., and R. W. Kiefer. 1987. Remote Sensing and Image Interpretation. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Losi, C.J., Siccama, T.G., Condit, R. and Morales, J.E., 2003. Analysis of Alternative Methods for Estimating Carbon Stock in Young Tropical Plantations. Forest Ecology and Management, 184(1-3): 355-368.

MacKinnon, K., Hatta, G., Halim, H., and Mangalik, A. 1996. The Ecology of Indonesia Series. Volume III: The Ecology of Kalimantan. Dalhousie University. Periplus Editions Ltd. Singapore.

Montagnini, F. and Porras, C., 1998. Evaluating the Role of Plantations as Carbon Sinks: An Example of an Integrative Approach From the Humid Tropics. Environmental Management, 22: 459-470.

Montagu, K.D., Duttmer, K., Barton, C.V.M. and Cowie, A.L., 2005. Developing General Allometric Relationships for Regional Estimates of Carbon Sequestration: An Example Using Eucalyptus pilularis from Seven Contrasting Sites. Forest Ecology and Management, 204(1): 115-129.

Prakoso, K.U., 2006. Tropical Forest Mapping Using Polarimetric and Interferometric SAR Data. A Case Study in Indonesia. PhD. Thesis, Wageningen University, The Netherlands.

Prasetyo, L.B., Saito, G., and Tsuruta, H. 2000. Development for Database for Eco-system Changes and Emissions Changes of GHG Using Remote Sensing and GIS in Sumatera Island, Indonesia.

Quiñones, M.J., 2002. Polarimetric Data for Tropical Forest Monitoring. Studies at the Colombian Amazon. PhD. Thesis, Wageningen University, The Netherlands.

Rahayu, S., Lusiana, B., dan van Noordwidjk, M. 2004. Pendugaan Cadangan Karbon di Atas Permukaan Tanah Pada Berbagai Sistem Penggunaan Lahan di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur.

Ulumuddin, Y., Sulistyawati, E., Hakim, D.M., dan Harto, A.B. 2005. Korelasi Stok Karbon dengan Karakteristik Spektral Citra Landsat: Studi Kasus Gunung Papandayan. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV. Surabaya.
WWF. 2008. Deforestation, Forest Degradation, Biodiversity Loss and CO2 Emissions in Riau, Sumatera, Indonesia. One Indonesian Province’s and Peat Soil Carbon Loss over a Quarter Century and its Plans for the Future. WWF Indonesia Technical Report . WWF, RSS GmBH, and Hokkaido Agricultural University.

1 komentar:

  1. Wow, this article is fastidious, my sister is analyzing such things, so I am going to convey her.
    Review my page ; Instalación geotermia en Cuenca

    BalasHapus

Halaman