Sabtu, 13 Maret 2010

PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP (PLH) DALAM MEMBENTUK PERILAKU LINGKUNGAN BERTANGGUNG JAWAB

PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP (PLH) DALAM MEMBENTUK PERILAKU LINGKUNGAN BERTANGGUNG JAWAB


Oleh:
Sri Hayati

Abstrak

Penyebab berbagai gangguan yang terjadi di planet bumi berakar dari tabiat dasar manusia sebagai imperialis biologis di mana ia memerlukan makan dan berkembang biak, tanpa peduli keterbatasan sumber daya alam dalam menyediakan kebutuhan hidup bagi diri dan keturunannya. Kerusakan lingkungan merupakan manifestasi pengembangan dari permasalahan sosial dan lingkungan yang saling terkait. Hal ini merupakan tantangan bagi pengembangan pendidikan lingkungan untuk dapat memberikan kontribusi terhadap pembentukan perilaku yang bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup. Pendidikan lingkungan hidup merupakan pembelajaran yang dilakukan untuk membantu peserta didik dalam memahami lingkungan hidup dengan tujuan akhir untuk meningkatkan perlindungan dan sikap bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup.
Pada pelaksanaannya, pendidikan lingkungan belum dapat mencapai hasil yang optimal, masih merupakan substansi yang terabaikan. Hal tersebut disebabkan salah satunya bahwa pendidikan lingkungan merupakan sumber terjadinya konflik, di mana dasar yang dipergunakan tidak lepas dari kepentingan tertentu sehingga menghasilkan pengetahuan yang berbahaya yang didasarkan pada kepentingan tertentu dan dalam pelaksanaannya hanya mencerminkan keinginan kelompok tertentu pula.
Makalah ini difokuskan pada permasalahan lingkungan hidup yang tidak dapat dipecahkan secara teknis semata, namun yang lebih penting adalah pemecahan yang dapat mengubah mental serta kesadaran akan pengelolaan lingkungan. Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) merupakan aspek yang dapat memberikan perlakuan kepada peserta didik menuju kesadaran lingkungan. Hal ini penting karena permasalahan lingkungan yang ada merupakan hasil dari akumulasi perilaku manusia yang semakin krusial dan global. Selain itu, PLH merupakan salah satu langkah intervensi dalam pembinaan pembentukan perilaku yang bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup.


A. PENDAHULUAN
Pada saat ini kita berada dalam masa transisi di mana bentuk sosial, tata cara yang berlangsung, serta nilai-nilai akan berlalu sebelum bentuk-bentuk dan metodologi baru punya waktu yang cukup untuk menggantikannya (Soerjani, 2000: 28-29). Dalam hal ini terjadi interaksi yang rumit, di mana jalinan interaksi lokal tidak lagi dapat dibedakan dengan jalinan interaksi dalam skala global. Dampak dari proses ini adalah beban yang cukup berat bagi sumber daya alam dalam proporsi yang memacu pada ketergantungan dan pertentangan baru yakni eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali, terjadinya limbah, pencemaran, dan kemiskinan.
Permasalahan kerusakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan, kemudian merebak secara global. Data menunjukkan bahwa sekitar 29% lahan bumi mengalami penggurunan antara ringan, sedang, dan parah, sedangkan 6% lainnya diklasifikasikan sangat parah. Hutan tropis yang mencakup 6% luas permukaan bumi namun memiliki keanekaragaman hayati tinggi yaitu sekitar 50% dari jumlah spesies yang ada keadaannya cukup memprihatinkan. Antara 7,6 sampai dengan 10 juta hektar pertahun mengalami kemusnahan dan masih terus berlanjut hingga saat ini. Selain itu, pembakaran bahan bakar fosil melalui tingkat pertumbuhan industri memberikan kontribusi yang besar terhadap akumulasi CO2 di atmosfer. Akibat dari akumulasi tersebut, suhu permukaan bumi naik antara 1,5-4,5o C yang memungkinkan peningkatan permukaan laut antara 25-40 centimeter sebagai konsekuensi dari pencairan es di daerah kutub. Penggunaan nuklir sebagai alternatif energi fosil memberikan dampak terhadap kebocoran reaktor seperti yang terjadi di Chernobyl (World Commission on Environment and Development, 1995).
Pada skala nasional, selain disebabkan oleh alam, berbagai bencana yang terjadi akhir-akhir ini banyak pula yang disebabkan oleh ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Sebagai misal, tanah longsor, sampah, dan banjir menjadi bencana yang menelan korban materi dan nyawa manusia yang tidak sedikit. Kerusakan hutan, polusi udara di daerah perkotaan, permukiman kumuh dan kemiskinan merupakan bencana lainnya.
Kerusakan alam yang terjadi pada dasarnya lebih dititikberatkan pada kemampuan manusia untuk melihat dengan jangkauan jauh melampaui batas kepentingan sendiri di samping kemampuan dalam melihat kenyataan yang sebenarnya dalam kehidupan (Soerjani, 1992:19). Kerusakan lingkungan merupakan manifestasi pengembangan dari permasalahan sosial dan lingkungan yang saling terkait. Pengertian yang mendalam mengenai lingkungan alam merupakan isu sosial dan ekologis, sehingga krisis lingkungan dapat dikatakan sebagai hasil interaksi dari berbagai keprihatinan global (Van Rensburg, 1994:1).
Dengan demikian, permasalahan lingkungan hidup tidak dapat dipecahkan secara teknis semata, namun yang lebih penting adalah pemecahan yang dapat mengubah mental serta kesadaran akan pengelolaan lingkungan. Hal ini merupakan tantangan bagi pengembangan pendidikan lingkungan untuk dapat memberikan kontribusi terhadap pembentukan perilaku yang bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup. Meskipun memerlukan proses yang panjang, serta hasilnya tidak dapat dilihat dengan segera seperti halnya pemecahan secara teknis, namun melalui pembinaan perubahan perilaku ke arah lebih bertanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan merupakan hal yang strategis (Hayati, 1999:10). Hal ini disebabkan, kerusakan lingkungan merupakan manifestasi pengembangan dari permasalahan sosial dan lingkungan yang saling erkait. Pengertian yang mendalam mengenai lingkungan alam merupakan isu sosial dan ekologis, sehingga krisis lingkungan dapat dikatakan sebagai hasil interaksi dari berbagai keprihatinan global (Van Rensburg, 1994).

B. AKAR KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab berbagai gangguan yang terjadi di planet bumi berakar dari tabiat dasar manusia sebagai imperialis biologis di mana ia memerlukan makan dan berkembang biak, tanpa peduli keterbatasan sumber daya alam dalam menyediakan kebutuhan hidup bagi diri dan keturunannya (Chiras, 1991:458). Tabiat ini membentuk mental yang berpandangan bahwa manusia diciptakan untuk menguasai alam serta keberadaan alam itu sendiri tidak terbatas. Temuan tersebut diawali oleh preposisi Malthus bahwa pertumbuhan penduduk akan mengikuti deret ukur sedangkan pertumbuhan pangan mengikuti deret hitung (Todaro, 1995: 275-277).
Pada suatu saat sumber daya alam tidak dapat lagi mendukung kebutuhan manusia, sehingga akan terjadi kelaparan, kekurangan gizi, wabah penyakit, bencana alam, dan sebagainya yang dapat menyebabkan penderitaan berkepanjangan. Hasil penelitian lain, yaitu Meadow et.al. (1972: 130-134) menunjukkan bahwa kualitas lingkungan hidup akan menurun secara drastis sampai pada titik kerusakan, jika pola konsumsi manusia tetap sejalan dengan garis eksponensial.
Penyebab lain dari berbagai fenomena kerusakan lingkungan hidup menurut Chiras adalah akibat dari gejolak filsafat manusia yang diterapkan pada hidupan nyata. Beberapa filsafat manusia yang dianggap merupakan akar kerusakan tersebut antara lain adalah:
1. Filsafat religi; yang beranggapan bahwa keturunan manusia harus sebanyak mungkin dalam melangsungkan generasinya.
2. Filsafat imperialsme biologis; bahwa tiap makhluk hidup termasuk manusia selalu berjuang untuk mempertahankan diri dan anak-anaknya agar dapat tetap bertahan hidup dan berkembang biak demi kelanjutan spesiesnya.
3. Filsafat “aku” lawan “bukan aku”; bahwa aku bukan merupakan bagian dari yang lainnya termasuk lingkungan alam sehingga ada kecenderungan manusia menguasai alam.
4. Filsafat pembangunan; bahwa bumi ini untuk manusia, maka untuk membangun kehidupan lebih baik perlu mengejar ilmu setinggi mungkin dan teknologi secanggih mungkin.
5. Filsafat ekonomi; bahwa manusia dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya diperlukan biaya yang minimal untuk meraih keuntungan maksimal dalam waktu yang sesingkat mungkin.
6. Filsafat sumber daya yang melimpah; yakni beranggapan bahwa di bumi ini telah tersedia segala bahan yang serba cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia.
7. Filsafat mentalitas frontier; yakni pola perilaku dan tindakan yang memandang dunia hanya berdasarkan aspek materi saja tanpa mengindahkan aspek lainnya seperti kerusakan lingkungan dan kesehatan.

C. PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP
1. Tujuan Pendidikan Lingkungan Hidup
Pendidikan lingkungan hidup merupakan pembelajaran yang dilakukan untuk membantu peserta didik dalam memahami lingkungan hidup dengan tujuan akhir untuk meningkatkan perlindungan dan sikap bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup. Tujuan PLH adalah membentuk manusia yang memiliki perilaku bertanggung jawab dalam berinteraksi dengan lingkungan hidup. PLH juga merupakan dasar-dasar pendidikan dalam proses pemecahan masalah lingkungan hidup dengan dasar filosofis keseluruhan, kelestarian, peningkatan dan pemeliharaan agar semuanya menjadi lebih baik (Fien et al., 1997).
Pendidikan lingkungan, dalam hal ini, berkaitan dengan: (1) pemahaman mengenai budaya silang yang berarti mengakui keberadaan lebih dari satu sudut pandang dan belajar melihat dunia dari perspektif yang berbeda, (2) pembelajaran holistik yang membawa berbagai disiplin ke suatu isu lingkungan meliputi berbagai pendekatan dalam pembelajaran, (3) pelibatan potensi masyarakat yang dapat menjalin hubungan yang akrab dan utama antara lingkungan masyarakat dengan sekolah, dan (4) pemahaman mengenai keterkaitan antara konsep-konsep dasar lingkungan hidup dengan permasalahan di sekitarnya.
Konsep-konsep dasar lingkungan yang seyogianya diberikan adalah: (1) lingkungan bumi yang terdiri dari komponen fisik, (2) materi siklus berkesinambungan dalam tataran ekosistem, (3) daya dukung lingkungan hidup, (4) ekonomi dan teknologi yang memberikan kontribusi terhaap lingkungan hidup, (5) kebijakan yang menentukan pengelolaan lingkungan hidup, serta (6) keunikan kapasitas intelektual manusia yang menghasilkan moral dan perilaku lingkungan yang bertanggung jawab (Swan dan Stapp, 1971).
Model pendidikan lingkungan dikembangkan melalui beberapa hal, yaitu: (1) pendekatan studi yang berorientasi lokal dan global secara integratif, (2) fokus terhadap dunia dalam perspektif lingkungan yang menyerap perspektif secara komprehensif, (3) pendidikan sebagai landasan pengembangan perilaku bertanggung jawab terhadap lingkungan, (4) fokus terhadap pendekatan interdisipliner untuk meningkatkan pemahaman terhadap isu-isu utama dalam mengintegrasikan perspektif lingkungan hidup, dan (6) pelaksanaan cooperative learning untuk memahami peningkatan pluralistik dalam masyarakat.
Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) merupakan wadah bagi pendekatan interdisipliner dalam mengatasi permasalahan yang berkenaan dengan lingkungan hidup manusia khususnya dan organisme hidup pada umumnya. Dalam mengkaji PLH, tekanan ditujukan terutama ditujukan kepada penyatuan kembali segala ilmu yang menyangkut masalah lingkungan ke dalam kategori variabel yang menyangkut energi, materi, ruang, waktu dan keanekaragaman. Tujuan pembelajaran PLH itu sendiri adalah pembinaan peningkatan pengetahuan, kesadaran, sikap, nilai, dan perilaku yang bertanggung jawab (Yusuf et al., 1988).



2. Kendala Pembelajaran PLH
PLH yang diharapkan sebagai wahana bagi pembinaan perubahan paradigma dalam pembentukan perilaku lingkungan bertanggung jawab masih menghadapi beberapa kendala. Kendala tersebut antara lain, masih terdapat pemahaman tentang makna pendidikan yakni masih sebatas transfer of knowledge, sehingga penguasaan materi masih merupakan hal yang penting dibandingkan dengan perubahan sikap apalagi perubahan perilaku. Padahal menurut Gagne (1977) bahwa perubahan tingkah laku merupakan indikator dari dewasa dan menurut Bloom et al. (1981) pendidikan merupakan salah satu proses untuk dapat menjadikan lebih dewasa.
Selain itu, hasil penelitian Oram (1994:28) mengemukakan bahwa perilaku berhubungan langsung dengan niat untuk bertindak (intention to act). Selanjutnya ia mengemukakan, bahwa sebelum sampai pada ketetapan bertindak, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu: (1) kesiapan dalam bertindak, (2) pengetahuan tentang strategi bertindak, (3) pengetahuan tentang isu, serta (4) faktor-faktor kepribadian seperti sikap, lokus kontrol, dan tanggung jawab individu. Dalam hal ini kondisi lingkungan di mana seseorang akan bertindak merupakan faktor yang memberikan kontribusi terhadap perilaku terhadap lingkungan itu sendiri. Dengan demikian, pendidikan lingkungan dalam pelaksanaannya tidak dapat dilakukan secara parsial tanpa mengikutsertakan seluruh komponen dan stake-holder dalam kaitannya dengan pengkondisian lingkungan sebagai contoh.

3. Pendekatan Pembelajaran PLH
Pada pelaksanaannya, pembelajaran PLH dapat dilakukan melalui pendekatan monolitik dan integratif.
a. Pendekatan Monolitik
Pendekatan monolitik merupakan pembelajaran yang dilakukan melalui satu bidang studi. PLH dalam pendekatan ini merupakan mata pelajaran yang berdiri sendiri sebagaimana mata pelajaran lainnya. Pendekatan ini telah dilakukan di beberapa Kabupaten/Kota di Jawa Barat pada jenjang pendidikan dasar sebagai mata pelajaran muatan lokal. Pada pendekatan ini dapat disusun struktur pembelajaran dan pencapaian kompetensi tanpa dikaitkan dengan mata pelajaran lainnya.
Beberapa keunggulan pembelajaran PLH melalui pendekatan monolitik adalah:
1) Struktur program pembelajaran dapat disusun berdasarkan kerangka keilmuan secara mandiri, sehingga pencapaian kompetensi dapat terukur dengan jelas. Hal ini memudahkan bagi guru untuk mengembangkan metode yang efektif guna pencapaian kompetensi yang dimaksudkan.
2) Guru tidak dibebani untuk pencapaian kompetensi PLH yang dititipkan melalui mata pelajaran yang diampunya. Dengan demikian, guru tersebut hanya bertanggung jawab atas pencapaian kompetensi PLH saja tanpa memikirkan pencapaian kompetensi mata pelajaran lainnya.
3) Siswa mengikuti pembelajaran secara terfokus pada substansi PLH tanpa terkait dengan mata pelajaran lainnya, sehingga siswa dapat memahami secara utuh konsep, pendekatan, dan tujuan pembelajaran PLH.
Namun demikian, oleh karena tujuan PLH ini lebih kepada membangun sikap, nilai, dan perilaku maka pendekatan monolitik ini memiliki kelemahan utama yaitu terjebak pada ranah pengetahuan semata. Hal ini disebabkan, pembelajaran yang dilakukan beorientasi pada pencapaian materi semata, sehingga mengabaikan tujuan yang diemban pada mata pelajaran PLH.

b. Pendekatan Integratif
Pendekatan integratif merupakan salah satu model yang dapat diterapkan dalam pembelajaran PLH. Pendekatan ini dilakukan dengan cara diintegrasikan pada berbagai bidang studi seperti Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes), dan Bahasa Indonesia. Berbagai bidang studi tersebut dipandang dalam suatu ruang lingkup yang luas dan saling berkaitan. Pendekatan ini memiliki keunggulan antara lain:
1) Mendorong guru untuk mengembangkan kreatifitas, dalam hal ini, guru dituntut untuk memiliki wawasan, pemahaman dan kreatifitas tinggi karena adanya tuntutan untuk memahami keterkaitan antara satu pokok bahasan (substansi) dengan pokok bahasan lain dari berbagai mata pelajaran.
2) Memberikan peluang bagi guru untuk mengembangkan situasi pembelajaran yang utuh, menyeluruh, dinamis dan bermakna sesuai dengan keinginan dan kemampuan guru maupun kebutuhan dan kesiapan siswa. Dalam kaitan ini, pembelajaran terpadu memberikan peluang terjadinya pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan tema atau pokok bahasan yang disampaikan.
3) Mempermudah dan memotivasi siswa untuk mengenal, menerima, menyerap dan memahami keterkaitan atau hubungan antara konsep, pengetahuan, nilai atau tindakan yang terdapat dalam beberapa pokok bahasan atau bidang studi. Dengan mempergunakan model pembelajaran terpadu, secara psikologik, siswa digiring berpikir secara luas dan mendalam untuk menangkap dan memahami hubungan-hubungan konseptual yang disajikan guru. Selanjutnya, siswa akan terbiasa berpikir terarah, teratur, utuh dan menyeluruh, sistemik dan analitik.
4) Menghemat waktu, tenaga dan sarana serta biaya pembelajaran, disamping menyederhanakan langkah-langkah pembelajaran. Hal tersebut karena terjadi proses pemaduan atau penyatuan sejumlah unsur tujuan, materi maupun langkah pembelajaran yang dipandang memiliki kesamaan atau keterkaitan.
Selain memiliki keunggulan menggunakan pendekatan integratif pada pembelajaran PLH, pendekatan ini juga memiliki beberapa kelemahan. Beberapa kelemahan tersebut antara lain:
1) Dilihat dari aspek guru, model ini menuntut tersedianya peran guru yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas, kreatifitas tinggi, keterampilan metodologik yang handal, kepercayaan diri dan etos akademik yang tinggi dan berani untuk mengemas dan mengembangkan materi. Akibat akademiknya, guru dituntut untuk terus menggali informasi/pengetahuan yang berkaitan dengan materi yang diajarkan, salah satu strateginya harus membaca literatur (buku) secara mendalam. Tanpa adanya keadaan seperti di atas, model pembelajaran terpadu sulit diwujudkan.
2) Dilihat dari aspek siswa, pembelajaran terpadu termasuk memiliki peluang untuk pengembangan kreatifitas akademik, yang menuntut kemampuan belajar siswa yang relatif “baik”, baik dalam aspek intelegensi maupun kreatifitasnya. Hal tersebut karena model ini menekankan pada pengembangan kemampuan analitik (menjiwai), kemampuan asosiatif (menghubung-hubungkan) dan kemampuan eksploratif dan elaboratif (menemukan dan menggali). Bila kondisi di atas tidak termiliki, maka sangat sulit pembelajaran model tersebut diterapkan.
3) Dilihat dari aspek kurikulum, pembelajaran terpadu memerlukan jenis kurikulum yang terbuka untuk pengembangannya. Kurikulum harus bersifat luwes, dalam arti kurikulum yang berorientasi pada pencapaian pemahaman siswa terhadap materi (bukan berorientasi pada penyampaian target materi), kurikulum yang memberikan kewenangan sepenuhnya pada guru untuk mengembangkannya baik dalam materi, metoda maupun penilaian dan pengukuran keberhasilan pembelajarannya.
4) Dilihat dari suasana dan penekanan proses pembelajaran, pembelajaran terpadu berkecenderungan mengakibatkan “tenggelamnya” pengutamaan salah satu atau lebih mata pelajaran. Dengan kata lain, ketika seorang guru mengajarkan sebuah tema/pokok bahasan, maka guru tersebut berkecenderungan lebih mengutamakan, menekankan atau mengintensifkan substansi gabungan tersebut sesuai pemahaman, selera dan subyektifitas guru itu sendiri. Secara kurikuler, akan terjadi pendominasian terhadap materi tertentu, serta sebaliknya sekaligus terjadi proses pengabaian terhadap materi/mata pelajaran lain yang dipadukan.

D. PENUTUP
Kerusakan lingkungan merupakan manifestasi pengembangan dari permasalahan sosial dan lingkungan yang saling terkait. Pengertian yang mendalam mengenai lingkungan alam merupakan isu sosial dan ekologis, sehingga krisis lingkungan dapat dikatakan sebagai hasil interaksi dari berbagai keprihatinan global. Hal ini merupakan tantangan bagi pengembangan pendidikan lingkungan untuk dapat memberikan kontribusi terhadap pembentukan perilaku yang bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup.
Pendidikan lingkungan hidup merupakan pembelajaran yang dilakukan untuk membantu peserta didik dalam memahami lingkungan hidup dengan tujuan akhir untuk meningkatkan perlindungan dan sikap bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup.
Bagaimana pun pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran PLH seyogianya dapat menghantarkan anak didik memiliki sikap, nilai serta perilaku yang bertanggung jawab terhadap lingkungannya. Dengan demikian, jika hal itu terjadi niscaya lingkungan akan memberikan manfaat tidak hanya bagi generasi kini semata melainkan juga bagi generasi yang akan datang, meskipun generasi tersebut belum lahir. Semoga!

KEPUSTAKAAN
Bloom, Benyamin S. Taxonomy of Educational Objective: Book I Cognitive Domain. N.Y.: Longman Inc., 1956.
Chiras, Daniel D. Environmental Science: Action for a Sustainable Future. California: The Benjamin/Cummings Pub. Co. Inc., 1991.
Fien, John. Education for the Environment. Victoria: Deakin University, 1993.
Fogarty, Robin. How to Integrate The Curricula, America : IRI/Skylight Publishing, Inc, 1991.
Golley, Frank B. “Deep Ecology from the Perspective of Ecological Science”. An Interdisciplinary Journal Dedicated to the Philosophical Aspects of Environmental Problems. p. 45, 1987.
Hungerford, H.R. & Volk, Trudi L. “Changing Leaner Behaviour Through Environmental Education”. The Journal of Environmental Education Vol. 21. p. 3, 1990.
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Agenda 21 Indonesia: Strategi Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Kantor Meneg LH, 1997.
......................................................................... Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Kameneg-LH, 1997.
Mark Orams. “Creative Effective Interpretation for Managing Interaction Between Tourist and Wildlife”. Australian Journal of Environmental Education 10. pp 21-34, 1994.
Meadow, Dennis L. et.al. The Limits to Growth. N.Y.: The American Library, 1972.
Soerjani, Mohamad. Pembangunan dan Lingkungan: Meniti Gagasan dan Pelaksanaan Sustainable Development. Jakarta: IPPL, 1997.
………………………... “Ekologi Sebagai Dasar Pemahaman Tentang Lingkungan Hidup”. Serasi: Warta Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 24. p. 19, 1992.
……………………… Kepedulian Masa Depan, alih bahasa. Jakarta IPPL, 2000
Sri Hayati. Wawasan Ekologis Global Masyarakat Kota Bandung. Disertasi, Jakarta: PPS-UNJ, 1999.
................. Pemahaman Konsep Ekologis Global pada Siswa SD di Kota Bandung. Bandung: Lemlit-UPI, 2001.
Swan, James A. Dan Stapp, William B. Environmental Education: Strategies Toward a More Livable Future. N.Y.. London: John Wiley & Sons, 1974.
Todaro, Michael P. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Terjemahan edisi ketiga. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Van Rensburg, Eureta Janse. “Social Transformation in Response to the Environment Crisis: The Role of Education and Research”. Australian Journal of Environmental Education Vol 10. P.1-20, 1994.
World Commission on Environment and Development. Hari Depan Kita Bersama. Terjemahan dari Our Common Future. Jakarta: PT. Gramedia, 1995.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Halaman