Senin, 15 Maret 2010

Redevelope Sumber Daya Hutan di Lereng Muria

Redevelope Sumber Daya Hutan di Lereng Muria

Eva Banowati
Jurusan Geografi Unnes
E-mail: evabanowati @ ymail.co.id



PENDAHULUAN
Awal dekade 1980-an kerusakan hutan yang lebih nyata mulai terjadi, pada hal sebelumnya pemerintah mengandalkan hutan (sumber daya) sebagai salah satu pemasok devisa non migas yang memberikan sumbangan cukup berarti bagi perekonomian di Indonesia. Kini hal itu tidak lagi karena kerusakan hutan Indonesia amat parah bahkan dikatakan setiap hari kerusakan mencapai dua belas kali lapangan bola. Kerusakan hutan adalah perubahan yang terjadi didalam ekosistem hutan sehingga menyebabkan mundurnya nilai dan fungsi hutan. Kerusakan hutan merupakan sebuah fenomena yang terjadi karena hasil interaksi keruangan antara faktor manusia dengan faktor alam (hutan itu sendiri).
Seperti dikatakan oleh Simon (1993), bahwasanya interaksi antara manusia dengan lingkungan alam tidak semata-mata hanya terwujud sebagai hubungan ketergantungan manusia terhadap lingkungan alamnya saja, melainkan terwujud sebagai hubungan dimana manusia mempengaruhi dan merubah lingkungan alam. Zein (1997) menyebutkan empat bentuk kerusakan hutan yang disebabkan oleh tindakan manusia, yaitu penyerobotan kawasan, penebangan liar, pencurian hasil hutan, dan pembakaran hutan. Situasi ini menyangkut masalah sosial-ekonomi, sengketa tata guna lahan dan tapal batas secara umum berdampak pada penurunan sumber daya lingkungan. Pemulihan hutan yang rusak harus segera dilakukan pembangunan secara serius, terpadu, multi temporal dan sektoral oleh stakeholders.
Melihat perananan hutan yang begitu penting, maka segala bentuk pemanfaatan hutan merupakan persoalan yang menyangkut berbagai segi, diantaranya adalah persoalan ekologi dan ekonomi. Hal ini penting karena apabila pembangunan melalaikan pertimbangan ekologis menimbulkan rusaknya lingkungan alam, hilangnya kesuburan tanah, gundulnya hutan, yang berarti semakin sulitnya manusia untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Kerusakah hutan pada paper ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada akhir tahun 2007 dan awal tahun 2008 di Lereng Gunungapi Muria tepatnya di daerah administrasi Kecamatan Cluwak Kabupaten Pati (Jawa Tengah). Dapat diketahui bahwa kerusakan hutan berupa penyerobotan lahan yang dilakukan masyarakat setempat karena lahan hutan yang telah kosong sebagai dampak dari penebangan liar yang marak di awal reformasi.


Sumber: Data Primer, Tahun 2008
Gambar 1. Lapangan Bola Hasil Alih Orientasi Pemanfaatan Lahan Hutan

Baik buruknya keadaan sumber daya hutan akan berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan sebaliknya peran serta masyarakat sekitar hutan dalam menjaga kelestarian hutan sangat dibutuhkan. Pengelola hutan amat menyadarinya maka pengelolaan hutan harus memperhitungkan keberadaan masyarakat sekitar yang hidupnya mempunyai ketergantungan tinggi terhadap hutan (Dephutbun, 1999). Oleh karena itu, masyarakat dijadikan sebagai basis dalam pembangunan sumber daya hutan setempat yang kini kondisi sudah sangat memprihatinkan. Tingkat kerusakan hutan sudah mencapai 4950,2 ha (99%) dari luas keseluruhan 4952,2 ha hutan di Kecamatan Cluwak. (Neraca Potensi Daya Hutan BKPH Ngarengan, 2000).
Letak desa di wilayah Kecamatan Cluwak pada umumnya berdekatan dengan hutan maka tidak mengherankan jika mereka memiliki ketergantungan tinggi terhadap sumber daya hutan. Masyarakat di sekitar kawasan hutan memilih sektor pertanian sebagai mata pencaharian karena dekat dengan permukimannya, dan tanahnya subur sebagai akibat serasah dedaunan yang menghumus. Mereka tidak sepenuhnya mengandalkan sumber daya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti mengambil kayu bahan bakar, aneka bahan pangan, dedaunan, pakan ternak karena hutan telah gundul. Keadaan demikian mendorong penduduk disekitar hutan harus mencari jalan keluar untuk pemanfaatan lahan hutan agar tidak gundul, sekaligus untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan jalan memanfaat (penyerobotan) lahan hutan untuk lahan pertanian dalam istilah lokal dinamakan borgan.


Sumber: Data Primer, Tahun 2008

Gambar 2. Pemanfaatan Lahan oleh Pesanggem di Petak 102
Pendekatan persuasif yang dilakukan pengelola dengan jalan mengajak masyarakat dalam program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHMB). Dilakukan dengan jiwa berbagi antara PT.Perhutani (Persero) KPH Pati, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan, sehingga kepentingan kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan profesional. Realisasinya adalah menggunakan lahan borgan untuk bertani tumpangsari di bawah tegakan jati ataupun mindi.
Berdasarkan kondisi tersebut perlu diteliti kesiapan masyarakat dalam membangun kembali (Redevelopment) hutan setempat. Faktor apa yang mendukung serta penghambatnya. Menemukan solusi efektif untuk menyiapkan masyarakat sehingga mampu membangun kembali hutannya sendiri adalah manfaat yang ingin dicapai penelitian ini.
Hutan merupakan lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang secara menyeluruh merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya. Dijelaskan menurut Undang-Undang N0. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (Dephutbun, 1999), ”Pengertian hutan adalah suatu kesatuan ekosistem yang berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
Berdasarkan Undang-Undang No.5 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan Pasal 2 hal pemilikan pemilikan hutan dibedakan atas: hutan negara, hutan milik atau disebut hutan rakyat. Pasal 3, disebutkan bahwa berdasarkan fungsinya, hutan ditetapkan sebagai hutan lindung, hutan produksi, hutan suaka alam, dan hutan wisata. Selanjutnya Pasal 4 menurut peruntukannya dibedakan atas: hutan tetap, hutan cadangan, hutan lainnya, yaitu hutan yang berada di luar kawasan hutan dan hutan cadangan misalnya hutan yang berda pada tanah milik.
Kerusakan hutan adalah setiap perubahan yang terjadi di dalam ekosistem hutan sehingga menyebabkan mundurnya nilai dan fungsi hutan yang dapat berbentuk hilangnya tanaman pokok hutan maupun menurunnya potensi hutan. Dikategorikan rendah bila hilangnya sekitar 25%, tinggi bila hilangnya tanaman pokok lebih dari 25 %. Selain itu kerusakan hutan dapat diketahui dari persentase absolut hutan yang rusak didapat dari luas hutan yang rusak dibagi luas hutan (Zein, 1997). Bentuk kerusakan hutan yang terjadi di lokasi penelitian berupadisebabkan oleh tindakan manusia dapat berupa alih orientasi pemanfaatan lahan dari hutan menjadi areal pertanian awalanya pendudukan tidak syah (okupulasi illegal) oleh masyarakat untuk tujuan penanaman pangan yang tidak sesuai dengan tata guna hutan. Perusakan hasil hutan yaitu suatu perbuatan yang dilakukan di dalam suatu kawasan hutan dengan merusak tegakan hutan dengan mengupas kulit kayu, dan merusak batang.
Sejalan dengan pertambahan penduduk Indonesia dengan laju pertumbuhan 1,98% dari 213 Juta orang (Sensus Penduduk, 2000) salah satunya berdampak pada berkurangnya luasan hutan yang tersuksesi menjadi lahan pertanian tanaman pangan ini berarti pula berkurangnya kemampuan sumber daya hutan. Dilihat dari pemenuhan kebutuhan sesaat kegiatan alih fungsi lahan ini seakan menguntungkan namun bila hal ini dibiarkan tanpa aturan di waktu mendatang pasti terjadi defisit di berbagai bidang seperti yang telah di kemukakan oleh beberapa pendapat tersebut di atas. Temuan data tersebut harus segera disambut dengan berbagai tindakan yang mengarah pada pembangunan hutan sebagai sumber daya baik melalui penelitian maupun implemenatasinya. Menurunnya sumber daya hutan dapat berdampak langsung pada manusia yang berdomisili di sekitarnya walaupun mereka buka pelaku perusakan, misalnya kekeringan, angin ribut dan lain sebagainya. Rusaknya sumber daya hutan karena tindakan manusia oleh sebab itulah manusia perlu membangunnya kembali.
Pada dasa warsa 1970-an memunculkan pandangan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), intinya adalah memperhatikan sistem biologis alam yang menopang ekonomi dunia. Satu dekade kemudian muncul ide tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yang berakar pada pemikiran untuk mengintegrasikan ekonomi dan ekologi (WCED, 1987; Boesler, 1994; Panayotou, 1994; dan Baiquni, 2004). Dikatakan oleh Soemarwoto (2005), bahwa pembangunan terlanjutkan diartikan sebagai pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan kini, tanpa mengurangi kemampuan generasi yang mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka. Seperti yang telah ia kutip dari laporan komisi sedunia tentang lingkungan dan pembangunan (World Commission on Environment and Development) yang menekankan perlunya pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Menurut Cincin-Sain and Knecht (1998), pembangunan berkelanjutan mempunyai tiga penekanan utama, yaitu: 1) pembangunan ekonomi untuk memperbaiki kualitas hidup manusia sebagai pusat perhatian, 2) pembangunan yang mempertimbangkan lingkungan, baik dalam pemanfaatan sumber daya, perlindungan proses ekologi, sistem pendukung kehidupan maupun keanekaragaman hayati, dan 3) pembangunan secara adil baik dalam distribusi keuntungan pembangunan, yang meliputi keadilan antar masyarakat, antar generasi dan antar negara.
Apa yang telah dikemukakan tersebut pada dasarnya sejalan dengan pembangunan sumber daya hutan yang dilakukan dalam kegiatan penelitian ini. Penekanan yang dilontarkan telah terkonsepkan dalam tujuan yang dikemukakan maupun yang tersirat dalam kalimat berbasis masyarakat dapat dipersamakan dengan penekanan pada manusia sebagai pusat perhatian (human oriented). Pembangunan sumber daya hutan, berarti membangun keaneka ragaman hayati hutan yang teragih di lereng tengah Gunungapi Muria untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia (masyarakat), sebagai penghasil devisa negara non migas, dan memperhatikan kelestarian lingkungan. Penekanan yang ke tiga sejalan dengan kesiapan masyarakat berdasarkan karakteristik dan variasi keruangannya.
Berbasis masyarakat merupakan tindakan atau kegiatan bersama (co management) antara masyarakat, pemerintah setempat dan stakeholder di desa. Keberhasilan pendekatan ini semakin banyak didokumentasikan secara baik (Pomeroy, 1994; Buhat, 1994; World Bank, 1999). Tujuan, rencana, pelaksanaan kegiatan atau tindakan ditentukan oleh masyarakat setempat berdasarkan dan menyangkut kebijakan/aturan/pedoman yang dibuat dan disepakati oleh pemerintah setempat. Pendekatan berbasis masyarakat didasarkan pada pemikiran/ hipotesa bahwa pendekatan partisipatif dan desentralistik mengarah pada lebih berkelanjutan dan adil/ seimbang (Crawford, 1999).
Partisipasi berarti ambil bagian dalam satu tahap atau lebih dari suatu proses, pendapat yang senada ditunjukkan pula oleh Hoofsteede (1990), dalam Banowati (1999). Lebih spesifik dan sesuai dengan penelitian ini adalah “partisipasi sebagai kesediaan penduduk untuk ikut ambil bagian dalam kegiatan bersama dalam rangka membantu keberhasilan program pembangunan, tanpa mengorbankan kepentingan pribadi (Mubyarto dan Kartodirjo, 1989)”. Dengan demikian partisipasi penduduk dapat disimpulkan sebagai bentuk keikutsertaan penduduk sekitar hutan dalam proses pembangunan dan mempengaruhinya untuk mencapai suatu keberhasilan pengelolaan sumber daya hutan.
Paparan di atas pembangunan kembali sumber daya hutan dapat direalisasikan apabila terlebih dahulu dibangun komunikasi dengan memberikan penjelasan yang berkaitan dengan kepentingan mereka dan bermanfaatan secara luas karena hal itu diyakini oleh “Mubyarto (1984), untuk dapat menggerakkan penduduk dalam berpartisipasi perlu memerincinya dalam beberapa hal”, yaitu: 1) ada dalam penduduk, 2) partisipasi untuk dapat memberikan manfaat langsung dan dapat memperbaiki kondisi dan memenuhui kebutuhan kehidupan mereka, 3) dalam proses partisipasi itu, terjamin adanya kontrol oleh penduduk, 4) penduduk itu berperan dalam pembangunan. Timbulnya suatu partisipasi penduduk dalam pelaksanaan proses pembangunan sumber daya hutan, jika mereka dilibatkan secara mental dan emosional di berbagai kegiatan yang terkait.
Kegiatan pemberdayaan penduduk ini tujuannnya untuk lebih meningkatkan fungsi personal di suatu wilayah dalam rangka hidup lebih bermakna dan berguna bagi dirinya dan lingkungannya. Pemberdayaan penduduk dapat dikelompokkan menjadi 3 bidang, yaitu: 1) mengenal sasaran, di dalam melaksanakan kegiatan pemberdayaan perlu mengenal sasaran yang berkarakteristik setempat (unik), hal ini diperlukan agar terapi dan action yang dilakukan tepat, 2), upaya untuk membantu apa yang menjadi permasalahan setempat baik personal maupun kelompok, dan 3) membangun immaterial, berupa memotivasi bahwa mereka adalah mempunyai sesuatu yang berguna, untuk mengkristalkan kepercayaan penduduk akan kemampuannya sendiri dibutuhkan kegiatan yang berkesinambungan. Dengan kata lain kegiatan pemberdayaan tidak cukup hanya sekali dilakukan, namun dibutuhkan secara bertahap dari hal yang paling sederhana ke hal yang komplek, tujuan akhir adalah kemandirian.

METODE PENELITIAN
Pertumbuhan penduduk, makin bertambahnya kebutuhan berdampak pada kecepatan laju mengakses sumber daya hutan setempat. Atas dasar itu maka perlu membangun hutan agar tetap tercipta sebagai sumber daya yang terbatas secara berkelanjutan. Popolasi penelitian ini adalah penduduk pesanggem desa Gesengan yang berjumlah 400 KK Kecamatan Cluwak, yang kemudian dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif.
Pemilihan lokasi lapangan (field sites) didasarkan pada beberapa faktor antara lain: sumber daya hutan merupakan unsur vital yang menyangkut hajat hidup manusia, hutan di Kecamatan Cluwak merupakan lokasi yang ditunjuk pemerintah untuk dikenakan program pembangunan hutan bersama masyarakat (PHBM), aspek demografis, angka pertumbuhan penduduk tinggi, menurunnya kualitas dan kuantitas sumber daya hutan akibat alih fungsi lahan dari lahan hutan menjadi lahan kosong maupun lahan pertanian, kerusakan hutan berakibat pada rentan terhadap bencana alam dan kemiskinan, banyak kegiatan of farm di sekitar lokasi yang memanfaatkan sebagai raw material recources, dan sebagai antisipasi perubahan paradigma yang terjadi di Indonesia, pertikaian antar warga maupun dengan pemerintah yang sewaktu-waktu timbul maka diperlukan pembangunan sumber daya hutan berbasis masyarakat.
Dari 13 desa yang ada di Kecamatan Cluwak dipilih desa Gesengan sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan desa tersebut berbatasan dengan hutan negara, penduduknya banyak yang bekerja di lahan hutan. Bila di lihat lebih jauh ke arah luar sektor farm (perdagangan hasil ertanian), off farm (industri tepung tapioka, penggilingan beras), dan non farm (aneka jasa dan transportasi), banyak mendapat pasokan dari sumber daya di sini.
Sampel Responden, dalam penelitian ini adalah pesanggem anggota Lembaga Masyarakat desa Hutan (LMDH) yang dalam tahun 2007 ini berjumlah 80 KK menandatangani Surat Perjanjian Kerjasama dengan Perum Perhutani pada lokasi PHBM. Penetapan sampel dengan metode acak (at random) karena karakteristik responden homogen. Jadi setiap pesanggem mempunyai peluang sama untuk menjadi responden.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, alat yang dipakai adalah pedoman wawancara. Selain itu dilakukan dengan menggunakan angket. Data atau informasi yang dihimpun yaitu tentang kesiapan masyarakat dalam membangun kembali hutan setempat. Data ini didapat dari masyarakat (pesanggem), aparat pengelola, tokoh masyarakat dan aparat setempat. Untuk memberikan makna atas data yang terkumpul maka dilakukan analisis penelitian deskriptif persentase.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kesiapan Masyarakat Membangun Kembali (Redevelope) Hutan
Secara keseluruhan luas wilayah Desa Gesengan adalah 670,902 Ha. Menurut penggunaannya luas wilayah Desa Gesengan terdiri dari 127,079 Ha lahan basah atau sawah. Sedangkan lahan kering 202,973 Ha yang terdiri atas: pekarangan sebesar 95,495 Ha, hutan negara sebesar 245,1 Ha, lainnya sebesar 0,255 Ha. Jumlah penduduk Desa Gesengan secara keseluruhan adalah 3.249 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebesar 1.642 jiwa dan penduduk perempuan sebesar 1.607 jiwa. Mata pencaharian yang paling dominan di Desa Gesengan adalah petani atau pesanggem1.600 atau 49.25% (BPS Kecamatan, 2005). Kerusakan hutan di Desa Gesengan mencapai 99% atau kerusakan total disebabkan pencurian kayu secara besar-besaran, gundul tanpa sisa.
Kesiapan masyarakat untuk membangun sumber daya hutan ditunjukkan dari kehadirannya mengikuti penyuluhan yang dilakukan oleh Perhutani merupakan modal dasar sehingga dapat optimis mengembalikan kelestarian hutan setempat. Kehadiran penduduk pesanggem sebagian besar atau 53,75% selalu mengikuti dengan seksama penyuluhan yang diberikan baik oleh aparat perhutani maupun aparat gabungan antara unsur tripika, sedangkan 26, 25% lainnya jarang mengikuti, dan 20% tidak pernah mengikuti penyuluhan. Tingkat pendidikan rendah, hasil penelitian yang menujukkan bahwa sebagian besar tidak tamat SD sebesar 68,75% atau 55 orang, dan sisanya adalah tamat SD sebesar 6,25%, SLTP tidak tamat sebesar 12,50%, SLTA tamat sebesar 12,50%. Menyimak dari tingkat pendidikan yang rata-rata rendah berpengaruh terhadap tingkat pemahaman tentang fungsi hutan sebagai pengatur tata iklim juga rendah. Dari 80 responden yang pemahamannya tinggi hanya sebesar 25% atau 20 orang, 40 orang lainnya atau 50% mengaku tidak paham yang dipentingkan adalah tercukupinya kebuituhan hariannya saja. 25% mengetahui fungsi hutan optimal namum mereka terbentur oleh tuntutan jaman. Responden dalam kategori usia produktif yaitu 65,50% berusia 26 -50, selebihnya 31,25% berusia 51 – 75th. Usia KK (Kepala Keluarga) yang produktif ini memiliki tanggung jawab yang lebih untuk menghidupi perekonomian keluarganya. Kesiapan mereka untuk membangun sumber daya hutan yang ada dilihat dari strategi yang dijalankan pengelola menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hal itu dilihat dari jawaban responden sebagian besar 58,75% setuju tanpa syarat mengganti tanaman ketela dengan tanaman yang disarankan pengelola, 16,25% lainnya setuju dengan syarat mereka diberi tambahan luasan lahan borgan. 25% lainnya atau 20 orang tidak setuju mengganti tanaman ketela. Keterampilan merata di bidang pertanian mendorong untuk memanfaatkan lahan hutan sebagai lahan pertanian. Penguasaan borgan terluas mencapai 4,1 – 8 ha atau dikuasai 2,50% pesanggem. Luasan 2,1 – 4 ha oleh 3,75% dan 75% pesanggem menguasai borgan sebesar antara < 0,5 ha, lainnnya antara 0,6 ha hingga 2 ha.

Faktor Pendukung dan Penghambatnya.
Hasil dari tanaman ketela atau ubi kayu tersebut sangatlah menguntungkan pesanggem, selain mudah dalam penanamannya, ketela juga mudah dalam penjualannya hal ini didukung oleh banyaknya pabrik tepung tapioka yang beroperasi di wilayah Kecamatan Cluwak. Hasil penelitian 62,50% responden dengan luasan borgan antara 0,25 ha-0,5 ha mampu menghasilkan ketela seberat 1001 – 2000 kg. Harga satuan per kg sekitar Rp 600, 00. hasil yang terbanyak dari luasan yang sama bahkan mampu menghasilkan ketela sekitar 5.000 kg.
Hal ini dikarenakan penduduk sangat terampil dalam mengelola lahan khususnya di bidang pertanian dan penduduk juga dapat memanfaatkan lahan hutan yang kosong untuk mencari pengahasilan sesuai dengan keahliannya sekaligus mempunyai tujuan dapat mengembalikan hutan dan memanfaatkannya. Sehingga penduduk lebih memilih bekerja sebagai pesanggem dan memanfaatkan lahan hutan tersebut dari pada mencari pekerjaan lain.
Selain bekerja sebagai pesanggem, penduduk sekitar hutan juga mempunyai mata pencaharian lain untuk sampingan dalam mencukupi kebutuhan selain pekerjaan pokok. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menujukkan sebagian besar mempunyai pekerjaan sampingan sebagai pedagang di pasar lokal sebesar 46,25%, pengepul ketela pohon sebesar 7,5%, sebagai buruh bangunan 23,75%, sopir 6,25%, buruh tani sebesar 12,50%, .
Dampak perubahan pemanfaatan lahan hutan oleh penduduk sangat berdampak positif bagi keselarasan lingkungan hidup, hal ini dikarenakan lahan yang tidak berfungsi atau gundul ditanamai ketela pohon sebagai land cover, harapannya dapat menghambat laju erosi sekaligus memperbaiki kondisi perekonomian yang mampu menjaga kestabilan secara umum. Selain berdampak pada lahan hutan atau lingkungan hidup untuk kedepannya, nilai tambah juga dilakukan oleh penduduk sekitar hutan karena penduduk dapat berkerja secara maksimal tanpa meninggalkan desa (tidak menambah urbanisasi). Manfaat lain dari perubahan lahan hutan oleh penduduk sangat berdampak besar bagi kehidupan masyarakat desa sekitar hutan yang bekerja sebagai pesanggem yaitu penduduk dilatih agar bisa mandiri dan tidak mengganggu hutan.

Solusi Yang Efektif
Dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bersama membangun kembali hutan setempat yang rusak demi pengembalian dan perbaikan kondisi hutan agar lestari dan dapat berfungsi optimal dengan jalan agroforestry. Melalui program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dibutuhkan kerjasama antar instansi, LMDH dan pesanggem dengan meningkatkan intensitas komunikasi, dan mendengarkan aspirasi masyarakat. Pembenahan perlu dilakukan utamanya yang berhubungan dengan transparansi dalam pembagian hasil, pembagian volume dan jenis pekerjaan, pembagian tanggung jawab, dan arah komando yang jelas.
Peran LMDH dalam menjembatani antara pengelola dan masyarakat dan pengelolaan hutan sudah teruji, seperti yang telah didokumenkan pengelola dapat dilihat pada grafik berikut.

Perhutani, 2004
Gambar 3. Peran LMDH dalam Pembangunan SDH

Menurut Perhutani kesuksesan LMDH dalam melestarikan hutan tergantung dari kerapatan tanaman pokok. Semakin rapat tanaman pokok, semakin sukses program LMDH tersebut. Untuk pembagian kerja, waktu dan tanggung jawab telah diatur dan ditetapkan sesuai seksi yang telah disetujui bersama antar stakeholder. Ketentuan untuk pembagian hasil hutan dari program PHBM usaha produktif yang dapat berupa barang atau uang berdasarkan hasil kesepakatan yang diatur bedasarkan musyawarah atau kesepakatan sesuai kontribusi yang diberikan masing-masing pihak dalam suatu perjanjian. Pesanggem wajib untuk menanam dan merawat tegakan hutan Gesengan berupa jati, mindi, dan akasia. Bibit dari tanaman pokok diperoleh dari Perhutani, hasil dari penjarangan dilakukan jika tanaman jati berusia 10-20 tahun dan untuk non jati (akasia ataupun mindi) jika berusia 8-10 tahun disesuaikan dengan kesuksesan potensi hutan yang telah tercantum dalam perjanjian tertulis yang telah disepakati. Untuk pesanggem diberi pajak Rp 80 ribu/tahun, untuk tanaman jati Rp 40 ribu/tahun untuk tanaman non jati yaitu tanaman akasia ataupun mindi.






Keterangan: Tanaman tegakan

1m 1m Tanaman PLDT

Gambar 4. Pola Tanam

Hasil pendapatan dari pajak tanaman pokok di gunakan untuk kas LMDH dan Desa. Perjanjian atau kesepakatan yang dibuat di tiap-tiap LMDH tidak sama atau berbeda-beda, hal ini dikarenakan LMDH diberi suatu kewenangan oleh Perhutani untuk mengatur kegiatan rumah tangga sendiri (lembaga) seperti dalam melakukan perjanjian pembagian hasil atau pemilihan bibit Pemanfaatan Lahan Dibawah Tegakan (PLDT) yang telah disepakati dengan jarak 1 meter antara tanaman pokok dan tanaman penyela.
Untuk tanaman PLDT bibit didapat dari pesanggem dan pemilihan bibit disepakati bersama oleh LMDH. Desa Gesengan dan sekitarnya tanaman PLDT berupa tanaman ketela. Hasil dari tanaman PLDT digunakan untuk mensejahterakan pesanggem pada masing-masing petak dalam melakukan penanaman dan perawatan tanaman pokok.
Pencurian secara besar-besaran oleh masyarakat, berbekal pendapatan dan pendidikan yang rendah menyebabkan para pesanggem berusaha memanfatkan lahan hutan bertani ketela pohon dengan memperpendek jarak antara tegakan hutan dan tanaman pertanian. Untuk membangun hutan optimal diperlukan pendekatan persuasif untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang perlunya melestarikan hutan.





DAFTAR PUSTAKA

Baiquni, M., 2007. Strategi Penghidupan di Masa Krisis. IdeAs Media, Yogyakarta
Indriyanto, 2008. Pengantar Budi Daya Hutan, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Nazir Moh., 1999. Metode Penelitian, Jakarta, Ghalia Indonesia.
Purwanto, Teguh. 1989. Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Desa Hutan Dalam Pembangunan dan Pelestarian Hutan.
Pamulardi Bambang, 1995. Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, Jakarta: CV.Eko Jaya.
Salim, 2006. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta, Sinar Grafika.
Simon, Hasanu, 1993. Hutan Jati dan Kemakmuran. Adtya media, Yogyakarta.
Perum Perhutani, 1996. Penerapan Pembinaan Masyarakat Desa Hutan Dalam Pengelolaan Hutan. Semarang: Perum Perhutani Unit I Jateng.
................, 1999. Pedoman Pembinaan Masyarakat Desa Hutan Dalam Pengelolaan Hutan. Perum Perhutani Unit I Jateng.
................, 2000. Neraca Potensi Daya Hutan BKPH Ngarengan. Perum Perhutani Kesatuan Peangkuan Hutan Pati.
................, 2001. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Semarang: Perum Perhutani Unit I Jateng.
..............., 2002. Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Semarang: Perum Perhutani Unit I Jateng.
..............., 2002. Pedoman Berbagi Hasil Hutan Kayu. Jakarta.
..............., 2003. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Pati: Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Pati.
..............., 2007. Petunjuk Pelaksanaan Evaluasi Potensi Sumberdaya Hutan. Semarang: Perum Perhutani Unit I Jateng.
................, 2007. Pedoman Pengamanan Hutan Lestari. Jakarta
Zain, Alam Setia, 1997. Hukum Lingkungan Konservasi Hutan, Jakarta: Rineka Cipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Halaman