Selasa, 09 Maret 2010

EFEK GAS RUMAH KACA (GRK) SEBAGAI PEMICU GLOBAL WARMING

EFEK GAS RUMAH KACA (GRK) SEBAGAI PEMICU
GLOBAL WARMING

Oleh: Dra. Rahmanelli, M.Pd


Abstrak

Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan Gas Rumah Kaca (GRK), akibat yang ditimbulkan oleh Gas Rumah Kaca (GRK), bagaimana meminimasi efek Gas Rumah Kaca (GRK), dan apa kebijakan yang telah dilakukan dunia untuk meminimasi efek Gas Rumah Kaca. Efek rumah kaca menyebabkan pemanasan global membutuhkan penanganan bersama, dalam hal ini dunia sudah sepakat bahwa efek rumah kaca harus dikurangi. Protokol Kyoto sebagai bentuk komitmen dunia hendaknya benar-benar dilaksanakan agar bencana bersama yang bakal menimpa dunia dapat dihindari.

I. Pendahuluan
Isu pemanasan global dimana-mana telah menjadi pembicaraan politisi dan publik di dunia. Banyak pertanyaan yang muncul tentang pemanasan global, apa penyebabnya, dimana terjadinya, jika memang ada, tindakan apa yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan menjadi stabil. Lebih lanjut bagaimana beradaptasi terhadap konsekwensi dan dampak dari pemanasan global yang muncul. Banyak sumber menyatakan bahwa pemanasan global adalah terdapatnya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi.
Suhu rata-rata global pada permukaan bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.
Pernyataan di atas, didukung oleh hasil penelitian dari Duke University mengestimasikan bahwa matahari telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000. Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat estimasi berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh matahari. Mereka mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh. Walaupun demikian, peneliti menyimpulkan bahwa meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh matahari, sebagian besar disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.
Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan di permukaan bumi, seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim atau perubahan iklim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.
Sehubungan dengan hal di atas, dampak regional pemanasan global melanda seluruh wilayah dunia. Berbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai kalangan di dunia untuk menyelamatkan bumi dari ancaman pemanasan global, seperti penghijauan di berbagai kawasan, reboisasi lahan kritis, penghijauan di lingkungan instansi pemerintah, lingkungan rumah tangga, dan penghijauan di objek wisata mulai digalakkan. Namun demikian, dampak gas rumah kaca (GRK) menjadi pemicu utama penyebab global warming. Untuk itu, melalui tulisan ini mudah-mudahan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan antara lain, (a) apakah yang dimaksud dengan Gas Rumah Kaca (GRK) ? (b) apakah akibat yang ditimbulkan oleh Gas Rumah Kaca (GRK)? (c) bagaimana meminimasi efek Gas Rumah Kaca (GRK) ? (d) apakah kebijakan yang telah dilakukan dunia untuk meminimasi efek Gas Rumah Kaca ?
II. Pembahasan
A. Efek Rumah Kaca
Segala sumber energi yang terdapat di bumi berasal dari matahari. Sebagian besar energi tersebut dalam bentuk radiasi gelombang pendek. Ketika energi ini menyinari bumi, cahaya berubah menjadi panas yang menghangatkan bumi. Permukaan bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini sebagai radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun demikian, sebagian panas terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi. Gas-gas tersebut menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan bumi, akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.
Sebenarnya, efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F) dengan efek rumah kaca (tanpanya suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi). Akan tetapi sebaliknya, akibat jumlah gas-gas tersebut telah berlebih di atmosfer, hal inilah yang memicu pemanasan global.
Efek-efek dari agen penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. Umpan balik ini hanya dapat dibalikkan secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.
Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es. Ketika temperatur global meningkat, es yang berada di kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air dibawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.
Umpan balik positif disebabkan terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif. Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunnya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.
Selain itu, perbedaan antara mekanisme dengan pemanasan akibat efek rumah kaca mengakibatkan meningkatnya aktivitas matahari yang akan memanaskan stratosfer, sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960, yang tidak akan terjadi bila aktivitas matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.)
Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemanasan global. Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan variasi matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.
Pernyataan di atas, menunnjukkan bahwa tidak semua ilmuwan setuju tentang keadaan dan akibat dari pemanasan global. Beberapa pengamat masih mempertanyakan apakah temperatur benar-benar meningkat. Yang lainnya mengakui perubahan yang telah terjadi tetapi tetap membantah bahwa masih terlalu dini untuk membuat prediksi tentang keadaan di masa depan. Kritikan seperti ini juga dapat membantah bukti-bukti yang menunjukkan kontribusi manusia terhadap pemanasan global dengan berargumen bahwa siklus alami dapat juga meningkatkan temperatur. Mereka juga menunjukkan fakta-fakta bahwa pemanasan berkelanjutan dapat menguntungkan di beberapa daerah.
Para ilmuwan yang mempertanyakan pemanasan global cenderung menunjukkan tiga perbedaan yang masih dipertanyakan antara prediksi model pemanasan global dengan perilaku sebenarnya yang terjadi pada iklim. Pertama, pemanasan cenderung berhenti selama tiga dekade pada pertengahan abad ke-20; bahkan ada masa pendinginan sebelum naik kembali pada tahun 1970-an. Kedua, jumlah total pemanasan selama abad ke-20 hanya separuh dari yang diprediksi oleh model. Ketiga, troposfer, lapisan atmosfer terendah, tidak memanas secepat prediksi model. Akan tetapi, pendukung adanya pemanasan global yakin dapat menjawab dua dari tiga pertanyaan tersebut.
Kurangnya pemanasan pada pertengahan abad disebabkan oleh besarnya polusi udara yang menyebarkan partikulat-partikulat, terutama sulfat, ke atmosfer. Partikulat ini juga dikenal sebagai aerosol yang memantulkan sebagian sinar matahari kembali ke angkasa luar. Pemanasan berkelanjutan akhirnya mengatasi efek ini, sebagian lagi karena adanya kontrol terhadap polusi yang menyebabkan udara menjadi lebih bersih.
Keadaan pemanasan global sejak 1900 yang ternyata tidak seperti yang diprediksi disebabkan penyerapan panas secara besar oleh lautan. Para ilmuan telah lama memprediksi hal ini tetapi tidak memiliki cukup data untuk membuktikannya. Pada tahun 2000, U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) memberikan hasil analisa baru tentang temperatur air yang diukur oleh para pengamat di seluruh dunia selama 50 tahun terakhir. Hasil pengukuran tersebut memperlihatkan adanya kecenderungan pemanasan: temperatur laut dunia pada tahun 1998 lebih tinggi 0,2 derajat Celsius (0,3 derajat Fahrenheit) daripada temperatur rata-rata 50 tahun terakhir, ada sedikit perubahan tetapi cukup berarti.
Pertanyaan ketiga masih membingungkan. Satelit mendeteksi lebih sedikit pemanasan di troposfer dibandingkan prediksi model. Menurut beberapa kritikus, pembacaan atmosfer tersebut benar, sedangkan pengukuran atmosfer dari permukaan bumi tidak dapat dipercaya. Pada bulan Januari 2000, sebuah panel yang ditunjuk oleh National Academy of Sciences untuk membahas masalah ini mengakui bahwa pemanasan permukaan bumi tidak dapat diragukan lagi. Akan tetapi, pengukuran troposfer yang lebih rendah dari prediksi model tidak dapat dijelaskan secara jelas.
B. Dampak Gas Rumah Kaca (GRK)
1. Perubahan Iklim
Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat. Karbondioksida adalah penyebab paling dominan terhadap adanya perubahan iklim saat ini dan konsentrasinya di atmosfer telah naik dari masa pra-industri yaitu 278 ppm (parts-permillion) menjadi 379 ppm pada tahun 2005.
Perubahan iklim menunjukkan adanya perubahan pada iklim yang disebabkan secara langsung maupun tidak langsung oleh kegiatan manusia yang mengubah komposisi atmosfer global dan juga terhadap variabilitas iklim alami yang diamati selama periode waktu tertentu. Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, di mana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini). Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.
Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era industri. Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim secara dramatis. Walaupun sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali sepanjang sejarah bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan resiko populasi yang sangat besar.
2. Meningkatnya Permukaan Laut
Saat ini dilaporkan tengah terjadi kenaikan muka laut dari abad ke-19 hingga abad ke-20, dan kenaikannya pada abad 20 adalah sebesar 0.17 meter. Banyak sistem alam , pada semua benua dan di beberapa lautan, terpengaruh oleh perubahan iklim regional, terutama adanya kenaikan temperatur muka laut (antara 1993 – 2003). Berkurangnya lapisan es di Greenland dan Antartika berkontribusi sebesar 0.4 mm pertahun untu Salah satu dampak yang paling besar dari pemanasan global adalah naiknya permukaan laut. Lapisan es di benua Arktik rata-rata telah berkurang sebanyak 2.7% per dekade.
Pengamatan geologi mengindikasikan bahwa kenaikan muka laut pada 2000 tahun sebelumnya jauh lebih sedikit daripada kenaikan muka laut pada abad 20. Temperatur rata-rata laut global telah meningkat pada kedalaman paling sedikit 300 meter. Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi. Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 - 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 - 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.
Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.
Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades.
Di sisi lain tutupan salju semakin sedikit di beberapa daerah, terutama pada saat musim semi. Sejak 1900, luasan maksimum daerah yang tertutup salju pada musim dingin/semi telah berkurang sekitar 7% pada Belahan Bumi Utara dan sungai-sungai akan lebih lambat membeku (5.8 hari lebih lambat daripada satu abad yang lalu) dan mencair lebih cepat 6.5 hari. Pegunungan gletser dan tutupan salju rata-rata berkurang pada kedua belahan bumi dan memiliki kontribusi terhadap kenaikan muka laut sebesar 0.77 milimeter per tahun sejak 1993 – 2003. Pada daerah dengan iklim sedang, banyak gunung-gunung gletser yang mencair, dan tutupan salju semakin berkurang, terutama pada musim semi.
Selama abad 20, luasan maksimum daerah yang tertutup salju pada musim dingin/semi telah berkurang sekitar 7% pada Belahan Bumi Utara. Kemudian waktu yang dibutuhkan untuk pembekuan sungai dan danau pun cukup bervariasi, tetapi sejak 150 tahun terakhir telah semakin lambat menjadi 5.8 hari per abad dan mencair lebih cepat 6.5 hari per abad.
3. Meningkatnya Suhu Global
Perbedaan panas bumi menghasilkan produksi pangan yang berbeda di setiap tempat. Sebagai contoh, bagian selatan Kanada, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.
Pemanasan yang terjadi pada sistem iklim bumi merupakan hal yang jelas terasa, seiring dengan banyaknya bukti dari pengamatan kenaikan temperatur udara dan laut, pencairan salju dan es di berbagai tempat di dunia, dan naiknya permukaan laut global.
Tingkat pemanasan pada temperatur permukaan bumi rata-rata pada 50 tahun terakhir hampir mendekati dua kali lipat dari rata-ratanya pada 100 tahun terakhir.
Selama 100 tahun terakhir, temperatur permukaan bumi rata-rata naik sekitar 0.74°C. Jika konsentrasi GRK dominan di atmosfer, karbondioksida, meningkat dua kali lipat dari masa pra-industri, hal ini akan memacu pemanasan rata-rata mencapai 3°C. Akhir tahun 1990an dan awal abad 21 merupakan tahun-tahun terpanas sejak adanya arsip data modern.

Perubahan yang telah diukur oleh para ilmuwan pada atmosfer, lautan, permukaan es dan gletser menunjukkan bahwa bumi telah mengalami pemanasan akibat dari adanya emisi GRK di masa lalu. Perubahan-perubahan tersebut merupakan bagian dari pola yang konsisten sebagai bukti adanya gelombang panas (heat waves) yang lebih besar, pola angin baru, kekeringan yang lebih parah di beberapa daerah, bertambahnya presipitasi di daerah lainnya, melelehnya gletser dan es di Arktik serta naiknya muka laut.
4. Gangguan Ekologis
Hewan dan tumbuhan sulit menghindar dari efek pemanasan global, karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.
5. Dampak Sosial Dan Politik
Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.
Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne Diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian Demam Berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adamya perubahan iklim, maka ada beberapa spesies vektor penyakit (eq Aedes Agipty), Virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu yang target nya adala organisme tersebut. Selain itu, bisa diprediksi bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun punah karena perubahan ekosistem yang ekstrim. Hal ini juga akan berdampak perubahan iklim (Climat change) yang bisa berdampak kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang / kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu)
Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga berkontribusi pada water-borne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.
C. Meminimasi Efek Gas Rumah Kaca (GRK)
Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan. Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. (menghilangkan karbon);
1. Mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestrati.
Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbon dioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca. Gas karbon dioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai Norwegia, di mana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke permukaan.
Salah satu sumber penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbon dioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbon dioksida lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbon dioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, bahkan tidak melepas karbon dioksida sama sekali.
2. Mengurangi Produksi Gas Rumah Kaca (GRK)
Menurunkan tren emisi dari Gas Rumah Kaca (GRK), dan juga menstabilkan tingkat kandungan dari Gas Rumah Kaca (GRK) ini di atmosfer. Sebagai contohnya, menstabilkan GRK pada 445-490 ppm dan merupakan target yang paling ambisius. Untuk dapat mencapai target tersebut pada tahun 2015 tidak ada lagi peningkatan gas CO2 hal ini akan menurunkan 50-85 persen dari level tahun 2000 (2000 levels) pada tahun 2050. Hal ini dapat membatasi peningkatan temperatur rata-rata global pada 2-2.4 °C pre-industrial level.
Usaha dari mitigasi perubahan iklim akan dirasakan lebih dari 2 - 3 dekade mendatang. Mitigasi ini sangat menentukan dan berpengaruh secara luas terhadap peningkatan suhu rata-rata global dan dampak dari terjadinya perubahan iklim dapat dihindari. Sebaiknya peraturan perubahan iklim didesign sebagai bagian atau parsel pembangunan berkelanjutan dan IPCC akan menkonfirmasi bahwa pembangunan berkelanjutan dapat mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan mengurangi pengaruh-pengaruh dari perubahan iklim.
D. Kebijakan Untuk Meminimasi Efek Gas Rumah Kaca
1. Mengukur Pemanasan Global
Penelitian global International Geophysical Year, mengambil sampel atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di Hawai. Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer terus diukur dengan cermat. Data-data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di atmosfer.
Para ilmuan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin menghangat, tetapi mereka tidak mampu memberikan bukti-bukti yang tepat. Ternyata pengukuran daerah perkotaan sehingga pengukuran temperatur akan dipengaruhi oleh panas yang dipancarkan oleh bangunan dan kendaraan dan juga panas yang disimpan oleh material bangunan dan jalan. Temperatur terus bervariasi dari waktu ke waktu dan dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan iklim untuk memperoleh data-data yang menunjukkan suatu kecenderungan (trend) yang jelas.
Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa temperatur udara global telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju bahwa pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktifitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan temperatur rata-rata global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.
Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era industri. Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim secara dramatis. Walaupun sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali sepanjang sejarah bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan resiko populasi yang sangat besar.
2. Merancang Model Iklim
PBB, melalui program lingkungan PBB (United Nations Environment Programme) dan Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization, WMO) membentuk The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada 1988 untuk meneliti dan menganalisis isu-isu ilmu pengetahuan yang muncul. Sejak 1990 setiap lima atau enam tahun IPCC telah mengeluarkan laporan-laporan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan melalui pengamatan dan prediksi untuk mengetahui kecenderungannya di masa depan. Model-model ini memprediksikan bahwa penambahan gas-gas rumah kaca berefek pada iklim yang lebih hangat.
Model-model iklim juga digunakan untuk menyelidiki penyebab-penyebab perubahan iklim yang terjadi saat ini dengan membandingkan perubahan yang teramati dengan hasil prediksi model terhadap berbagai penyebab, baik alami maupun aktivitas manusia. Model iklim saat ini menghasilkan kemiripan yang cukup baik dengan perubahan temperature global hasil pengamatan selama seratus tahun terakhir, tetapi tidak mensimulasi semua aspek dari iklim. Sebagian besar model-model iklim, ketika menghitung iklim di masa depan, dilakukan berdasarkan skenario-skenario gas rumah kaca, biasanya dari Laporan Khusus terhadap Skenario Emisi (Special Report on Emissions Scenarios / SRES) IPCC. Yang jarang dilakukan, model menghitung dengan menambahkan simulasi terhadap siklus karbon; yang biasanya menghasilkan umpan balik yang positif, walaupun responnya masih belum pasti (untuk skenario A2 SRES, respon bervariasi antara penambahan 20 dan 200 ppm CO2).
3. Kebijakan Internasional
Upaya internasional mengenai perubahan iklim terbentuknya United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dan Protokol Kyoto. Kedua perjanjian ini merupakan wakil tanggung jawab internasional dalam mengumpulkan bukti, memenuhi dan mengkonfirmasi ulang kepada Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) bahwa adanya perubahan iklim dan semakin membesar ketika adanya aktifitas manusia
Hal utama dalam Protokol Kyoto adalah adanya syarat bahwa seluruh negara setuju dan berkomitmen untuk mengurangi emisi dan terikat dalam suatu hukum international (dengan kata lain dibalut). Pemakaian, atau pembebanan dari balutan ini membuat adanya komoditas yaitu unit emisi, yang dapat diperdagangkan. Kemampuan perdagangan unit emisi ini memberikan negara atau perusahaan beberapa fleksibitas dalam memenuhi target kebutuhan akan pengurangan emisi, sehingga mengurangi biaya ekonomi dan menyediakan pasar yang berbasis pada memberikan rangsangan dalam mengurangi emisi.
Fleksibilitas Mekanisme, pada prinsipnya pengurangan emisi memberikan keuntungan yang sama antara lokasi yang satu dengan lokasi yang lain. Dalam Protokol Kyoto terdapat 3 fleksibilitas mekanisme, (a) perdagangan emisi, (b) Clean Development Mechanism (CDM), (c) dan Kerjasama penerapan. Mekanisme-mekanisme ini dirancang untuk merangsang investasi pada negara-negara non-industri atau negara yang mengalami transisi ekonomi dan bermaksud untuk mengurangi emisi dengan cara ekonomi yang efektif.
III. Penutup
Permukaan bumi, akan menyerap sebagian panas dan sisanya dipantulkan kembali ke angkasa luar berbentuk radiasi infra merah sebagai gelombang panjang. Selanjutnya, sebagian panas terperangkap di atmosfer bumi mengakibatkan menumpuknya jumlah gas-gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi. Gas-gas tersebut menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan bumi, akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan bumi, di laut. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat, hal inilah yang memicu terjadinya pemanasan global.
Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat yang nantinya mengakibatkan terjadinya perubahan iklim secara dramatis, naiknya permukaan laut, rusaknya system ekologis, terganggunya kesehatan, dll. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab terbesar perubahan iklim di bumi karena meningkatnya efek emisi rumah kaca.
Untuk meminimasi dampak gas rumah kaca, banyak upaya dilakukan dunia di antaranya: (1) membentuk organisasi internasional mengenai perubahan iklim yaitu United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), (2) menyepakati hasil “Protokol Kyoto” untuk menurunkan efek emisi gas rumah kaca, (3) membentuk organisasi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) untuk mendeteksi perubahan iklim.

Daftar Pustaka

geo.ugm.ac.id/archives/28, diakses 17 November 2008
Hadiyono PWS dkk, 2006. Pelatihan Nasional Dosen Ilmu Alamiah dasar. Departemen Pendidikan Nasioanal Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Direktorat Peningkatan Tenaga Akademik.
id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global, diakses tanggal 17 November 2008
www2.kompas.com/ver1/Iptek/0711/19/191903.htm, diakses 17 November 2008
www.pemanasanglobal.net/faq/apa-itu-pemanasan-global.htm. Diakses 17 November 2008
www.walhi.or.id/kampanye/energi/iklim/070605_pmnsnglobl_hrlingk2007. Diakses 13 November 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Halaman