4Women Only?? Sebenarnya saya juga tidak tahu pasti software apa ini?? tapi menurut informasi yang saya dapatkan, katanya software ini berfungsi untuk Menghitung Masa Subur Dengan Siklus Haid. Cocok buat para wanita ni,, hehehe........
Untuk cara menggunakan nya, terus terang saya agak kurang paham, mungkin sobat blogger yang wanita paham kali yah?? kalau yang mengerti, langsung di share aja yah sob, heheh
Software ini sangat cocok kayanya buat digunakan untuk mengetahui masa-masa subur, buat yang ingin KB kayanya juga cocok deh, bener nggak?? heheh
Mmm, kayaknya cukup review nya deh, tar malah bahas yang bukan-bukan lagi, hehe
Selamat Mencoba,,
Download Disini.......
Rabu, 31 Maret 2010
Selasa, 30 Maret 2010
Dukung Taman Nasional Komodo Menjadi 7 Keajaiban Dunia Kategori Taman Nasional
Tahukah Anda, saat ini Candi Borobudur yang menjadi kebanggaan orang Indonesia sudah keluar (tidak termasuk lagi) dari salah satu 7 keajaiban Dunia ?
Hal ini terjadi karena, pada saat dilakukan voting TIDAK banyak orang Indonesia yang mengetahuinya.. Padahal jika 200 jt penduduk indonesia mengetahuinya, sudah jelas Borobudur pasti masih masuk dalam kategori kejaiban dunia.
Nah saat ini, sedang dilakukan voting untuk menentukan 7 kejaiban dunia yang baru.
Salah satu dari banyak nominasi yang berasal dari Indonesia yaitu PULAU KOMODO..
Voting Anda yang akan menentukan Pulau ini menjadi salah satu dari 7 kejaiban dunia ini..
Mari dukung program menjadikan Pulau Komodo ini, sebagai satu-satunya Finalis yang berasal dari Indonesia dan menjadi bagian dari keajaiban Dunia.. Lakukan beberapa hal berikut ini, dan Anda sudah BERBUAT untuk Negara Kita Tercinta INDONESIA...
Caranya :
Ikuti Voting dengan Cara :
1. Anda menuju http://www.new7wonders.com lalu cari menu "Vote" lalu "Register"
2. Isi Data, lalu cek email anda... klik pada link konfirmasi di email
3. Login di http://www.new7wonders.com dengan data registrasi Anda..
4. Lakukan voting...
Selamat memilih...
SELESAI... Dengan demikian Anda membantu Indonesia tetap menjadi salah satu negara yang memiliki keajaiban Dunia..
Buktikan CINTAMU pada Indonesia... Undang seluruh teman Anda agar mengetahui Misi besar ini dan ikut memperjuangkan Negeri kita yg TERCINTA ini...
Jangan lupa juga mengunjungi web http://www.komodoindonesia.net
Hal ini terjadi karena, pada saat dilakukan voting TIDAK banyak orang Indonesia yang mengetahuinya.. Padahal jika 200 jt penduduk indonesia mengetahuinya, sudah jelas Borobudur pasti masih masuk dalam kategori kejaiban dunia.
Nah saat ini, sedang dilakukan voting untuk menentukan 7 kejaiban dunia yang baru.
Salah satu dari banyak nominasi yang berasal dari Indonesia yaitu PULAU KOMODO..
Voting Anda yang akan menentukan Pulau ini menjadi salah satu dari 7 kejaiban dunia ini..
Mari dukung program menjadikan Pulau Komodo ini, sebagai satu-satunya Finalis yang berasal dari Indonesia dan menjadi bagian dari keajaiban Dunia.. Lakukan beberapa hal berikut ini, dan Anda sudah BERBUAT untuk Negara Kita Tercinta INDONESIA...
Caranya :
Ikuti Voting dengan Cara :
1. Anda menuju http://www.new7wonders.com lalu cari menu "Vote" lalu "Register"
2. Isi Data, lalu cek email anda... klik pada link konfirmasi di email
3. Login di http://www.new7wonders.com dengan data registrasi Anda..
4. Lakukan voting...
Selamat memilih...
SELESAI... Dengan demikian Anda membantu Indonesia tetap menjadi salah satu negara yang memiliki keajaiban Dunia..
Buktikan CINTAMU pada Indonesia... Undang seluruh teman Anda agar mengetahui Misi besar ini dan ikut memperjuangkan Negeri kita yg TERCINTA ini...
Jangan lupa juga mengunjungi web http://www.komodoindonesia.net
Senin, 29 Maret 2010
China Akan Segera Produksi Prosesor Intel
China akan mulai memproduksi prosesor komputer. Pabrik prosesor milik raksasa chip komputer asal Amerika Serikat (AS), Intel Corp., akan beroperasi di Kota Dalian, China pada pekan ke-44 tahun ini. Demikian disampaikan Kirby Jefferson, General Manager pabrik chip di Dalian, seperti dikutip kantor berita Xinhua, Senin (29/3).
Sebagai informasi, pabrik di Dalian tersebut merupakan pabrik chip pertama Intel di Asia dengan investasi besar di tengah krisis keuangan global. Dengan investasi US$2,5 miliar, pabrik dibangun di Zona Pembangunan Teknologi dan Ekonomi Dalian di timur laut China, tepatnya di Provinsi Liaoning. Luas zona tersebut 160 ribu meter persegi.
Menurut Jefferson, pabrik di Dalian dilengkapi dengan fasilitas paling mutakhir dan akan mempekerjakan lebih dari 1.500 orang dengan 60 persen di antaranya adalah penduduk lokal.
Proyek pembangunan pabrik itu sendiri diumumkan pada Maret 2007. Adapun pabrik chipset pertama Intel di Asia tersebut merupakan bagian dari jaringan delapan fasilitas serupa di seluruh dunia.(VIVAnews.com)
Sebagai informasi, pabrik di Dalian tersebut merupakan pabrik chip pertama Intel di Asia dengan investasi besar di tengah krisis keuangan global. Dengan investasi US$2,5 miliar, pabrik dibangun di Zona Pembangunan Teknologi dan Ekonomi Dalian di timur laut China, tepatnya di Provinsi Liaoning. Luas zona tersebut 160 ribu meter persegi.
Menurut Jefferson, pabrik di Dalian dilengkapi dengan fasilitas paling mutakhir dan akan mempekerjakan lebih dari 1.500 orang dengan 60 persen di antaranya adalah penduduk lokal.
Proyek pembangunan pabrik itu sendiri diumumkan pada Maret 2007. Adapun pabrik chipset pertama Intel di Asia tersebut merupakan bagian dari jaringan delapan fasilitas serupa di seluruh dunia.(VIVAnews.com)
Selasa, 23 Maret 2010
Apa sih Undervolt itu??
Apa sih Undervolt itu??
undervolting adalah proses mengurangi voltase berlebih ke CPU dengan menggunakan software.
Undervolting tidak mempengaruhi performance sama skali.
yang mempengaruhi performance adalah overclock dan underclock.
Undervolting tidak sama dengan underclocking zzz
Tidak semua prosesor sama, tiap model prosesor memiliki toleransi voltase yang berbeda.
Tapi daripada repot2 menyetel voltase stabil terendah ke tiap chip, Intel memakai voltase standard
yang stabil (dan tinggi) ke setiap chip. Masalahnya adalah voltase standard pabrikan sangat tinggi
(otomatis menambah tinggi temperatur cpu).
Undervolting mencoba menyetel ke voltase stabil yang paling rendah
Proses undervolting memang memakan waktu, karena kita harus mencari voltase stabil terendah untuk
tiap2 multiplier di CPU. Multiplier berhubungan dengan teknologi speedstep,
daripada cpu bekerja full power tiap saat, multiplier digunakan untuk mengatur clock cpu secara dinamik
(tanda multiplier: 6x, 7x, 8x dst)
Tp klo udh dpt voltase stabilnya,, Hasilnya mantab dah! worth it!
Software yang dibutuhkan bisa Anda request dengan mengirim email ke saya...ichwan.dwi"gmail.com
undervolting adalah proses mengurangi voltase berlebih ke CPU dengan menggunakan software.
Undervolting tidak mempengaruhi performance sama skali.
yang mempengaruhi performance adalah overclock dan underclock.
Undervolting tidak sama dengan underclocking zzz
Tidak semua prosesor sama, tiap model prosesor memiliki toleransi voltase yang berbeda.
Tapi daripada repot2 menyetel voltase stabil terendah ke tiap chip, Intel memakai voltase standard
yang stabil (dan tinggi) ke setiap chip. Masalahnya adalah voltase standard pabrikan sangat tinggi
(otomatis menambah tinggi temperatur cpu).
Undervolting mencoba menyetel ke voltase stabil yang paling rendah
Proses undervolting memang memakan waktu, karena kita harus mencari voltase stabil terendah untuk
tiap2 multiplier di CPU. Multiplier berhubungan dengan teknologi speedstep,
daripada cpu bekerja full power tiap saat, multiplier digunakan untuk mengatur clock cpu secara dinamik
(tanda multiplier: 6x, 7x, 8x dst)
Tp klo udh dpt voltase stabilnya,, Hasilnya mantab dah! worth it!
Software yang dibutuhkan bisa Anda request dengan mengirim email ke saya...ichwan.dwi"gmail.com
Jumat, 19 Maret 2010
Game Booster
Game Booster is designed to help optimize your PC for smoother, more responsive game play in the latest PC games with the touch of a button.
Game Booster helps achieve the performance edge previously only available to highly technical enthusiasts. It works by temporarily shutting down background processes, cleaning RAM, and intensifying processor performance. That means you can keep all the features of Microsoft? Windows Vista? and XP? ready for when you need them, but turn them off when you are ready to get down to serious business - gaming.
Game Booster makes it simpler to enjoy the latest games and take your experience to a new level. All systems go!
Features:
* 1 Click - Game Booster is extremely easy to use.
* Speed up Game Play - Gives more CPU and RAM to your games.
* Increase Gaming Stability - Prevents and avoids possible cocnflicts and incompatibility.
* Safe, Security, and Free - Game Booster does not overclock your hardware, does not change your Windows Registry and system settings. Game Booster is 100% freeware, without any virus, adware, and spyware.
Download Here....
Game Booster helps achieve the performance edge previously only available to highly technical enthusiasts. It works by temporarily shutting down background processes, cleaning RAM, and intensifying processor performance. That means you can keep all the features of Microsoft? Windows Vista? and XP? ready for when you need them, but turn them off when you are ready to get down to serious business - gaming.
Game Booster makes it simpler to enjoy the latest games and take your experience to a new level. All systems go!
Features:
* 1 Click - Game Booster is extremely easy to use.
* Speed up Game Play - Gives more CPU and RAM to your games.
* Increase Gaming Stability - Prevents and avoids possible cocnflicts and incompatibility.
* Safe, Security, and Free - Game Booster does not overclock your hardware, does not change your Windows Registry and system settings. Game Booster is 100% freeware, without any virus, adware, and spyware.
Download Here....
Kamis, 18 Maret 2010
Geografi dan Implementasinya Dalam Geografi Fisik
Jurusan Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi UGM
INTI SARI
Geografi sebagai ilmu pengetahuan yang pernah disebut sebagai induk ilmu pengetahuan (mother of sciences) mengalami pasang-surut peranannya untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan pembangunan. Apabila geografi tetap ingin berperan dalam memberikan sumbangan pemikiran dalam kebijakan pembangunan, geografi harus mempunyai konsep inti, metodologi dan aplikasi yang mantap. Makalah ini bertujuan untuk menelusuri konsep inti geografi yang sesuai untuk dikembangkan di Indonesia untuk mendasari kompentensinya, khususnya dalam bidang geografi fisik. Pemisahan geografi fisik dan geografi manusia yang tinggi kurang mencirikan jati diri geografi, dan jika kecenderungan pemisahan tersebut semakin berlanjut jati diri geografi akan pudar dan akan larut dalam disiplin ilmu lainnya, dan bahkan kita akan kehilangan sebagian dari kompetensi keilmuan geografi. Geografi terpadu atau geografi yang satu (unifying geography) menjadi satu pilihan sebagai dasar pembelajaran geografi yang sesuai untuk Indonesia, yang diikuti dengan pendalaman keilmuan pada masing-masing obyek material kajian geografi tanpa melupakan obyek formalnya. Komponen inti dari geografi terpadu adalah ruang, tempat/lokasi, lingkungan dan peta, yang berdimensi waktu, proses, keterbukaan dan skala. Komponen inti geografi terpadu tersebut dijadikan dasar untuk menentukan kompetensi geografi. Kompetensi geografi fisik, yang obyek materialnya fenomena lingkungan fisik (abiotik) pada lapisan hidup manusia, sangat luas antara lain: penataan ruang, pengeolaan sumberdaya alam, konservasi sumberdaya alam, penilaian degradasi lingkungan, pengelolaan daaerah aliran sungai, penilaian tingkat bahaya dan bencana, penilaian risiko bencana. Kompetensi geografi fisik tersebut selalu dikaitkan dengan kepentingan umat manusia, dengan konsep bahwa lingkungan fisikal sebagai lingkungan hidup manusia.
1. PENGANTAR
Perbincangan tentang jati diri Geografi telah beberapa kali dilakukan di Indonesia, baik melalui lokakarya, seminar maupun melalui sarasehan yang dilakukan oleh Fakultas/Jurusan/Departemen Geografi, organisasi profesi (IGI) dan ikatan alumni (IGEGAMA). Jati diri suatu disiplin ilmu dapat ditelaah dari definisinya. Dalam Seminar
Peningkatan Relevansi Metode Penelitian Geografi tanggal 24 Oktober 1981 Prof. Bintarto dalam papernya berjudul Suatu Tinjauan Filsafat Geografi mengemukakan definisi Geografi sebagai berikut: Geografi mempelajari hubungan kausal gejala-gejala di muka bumi dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di muka bumi baik yang fisikal maupun yang menyangkut mahkluk hidup beserta permasalahannya, melalui pendekatan keruangan, ekologikal dan regional untuk kepentingan program, proses dan keberhasilan pembangunan (Bintarto, 1984). Seminar dan lokakarya yang dilaksanakan di Jurusan Geografi, FKIP, IKIP Semarang kerjasama dengan IGI tahun 1988 telah menghasilkan rumusan definisi: Geografi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perbedaan dan persamaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kelingkungan, kewilayahan dalam konteks keruangan.
Rumusan dua definisi Geografi tersebut sedikit berbeda namun memberikan ketegasan dan kejelasan tentang obyek kajian dalam Geografi baik obyek material maupun formalnya. Obyek materialnya adalah gejala, fenomena, peristiwa di muka bumi (di geosfer), sedang obyek formalnya adalah sudut pandang atau pendekatan:keruangan, kelingkungan dan kompleks wilayah. Ketegasan obyek formal kajian Geografi penting untuk membedakan kajian dengan disiplin ilmu lain yang obyek materialnya juga fenomena geosfer. Geosfer terdiri atas atmosfer, litosfer (termasuk pedosfer), hidrosfer dan biosfer (termasuk antroposfer); sfera bumi tersebut membentuk satu sistem alami yang masing-masing sfera saling berinteraksi, saling pengaruh mempengaruhi. Konsep sfera bumi membentuk satu sistem alami merupakan konsep penting dalam geografi, karena dapat dijadikan dasar untuk memahami dinamika fenomena dari muka bumi.
Definisi Geografi versi Semlok Semarang tersebut masih banyak digunakan dalam proses pembelajaran geografi di sekolah dan perguruan tinggi, dan bukan satusatunya yang harus diajarkan kepada peserta didik, karena masih banyak definisi lain yang perlu disampaikan untuk memperkaya dan memperluas wawasan tentang jati diri geografi. Definisi geografi itu sangat banyak, berikut ini disampaikan lima definisi untuk memberikan diversitas cakupan, dan jati diri Geografi.
1) Geography is concerned to provide an accurate, orderly, and rational description and interpretation of the variable character of the Earth’s surface (Hartshorne, 1959).
2) Geography is the scientific study of changing spatial relationships of terrestrial phenomena viewed as world of man (Bird, 1989).
3) The core of Geography is an abiding concern for human and physical attribute of places and regions and with spatial interaction that alter them (Abler et al, 1992). 4) Geography is the study of the surface of the Earth. It involves the phenomena and processes of the Earth’s natural and human environments and landscapes at local to global scales (Herbert and Matthews (2001).
5) Geography is a discipline concerned with understanding the spatial dimensions of environmental and social processes (White, 2002)
Variasi definisi tersebut di atas juga memberikan ketegasan kepada kita bahwa obyek kajian Geografi adalah fenomena geosfer dan sudut pandangnya adalah keruangan, kelingkungan dan kewilayahan meskipun dengan rumusan yang berbeda. Rumusan yang berbeda dari definisi Geografi dapat dipahami dengan munculnya pandangan Geografi yang menyatakan bahwa geografi adalah apa yang dikerjakan oleh geograf. Dua definisi terakhir dari lima definisi tersebut di atas aspek lingkungan mendapat tekanan yang lebih. Hal tersebut sangat mungkin diinspirasi oleh permasalahan lingkungan yang semakin meningkat dan mengglobal di muka bumi ini, seperti perubahan iklim global, penurunan kualitas lingkungan, bencana banjir, kekeringan, longsor, kemiskinan, penurunan dan kerusakan sumberdaya alam. Permasalahan lingkungan dan bencana yang banyak terjadi tersebut timbul sebagai akibat ketidak imbangan interaksi antara lingkungan dengan aktifitas manusia. Interaksi lingkungan-manusia merupakan sebagian dari kajian geografi yang menggunakan pendekatan kelingkungan..Oleh sebab itu permasalahan lingkungan menjadi perhatian geograf, dan selain itu geografi sebagai ilmu yang berorientasi pada pemecahan masalah (problems solving). Permasalahan lingkungan yang terjadi saat sekarang dan masa depan bersifat kompleks, multi dimensi, saling kait mengkait, sehingga pemecahannya memerlukan pendekatan terpadu.
Dalam merespon permasalahan lingkungan yang multidimensi dan berskala lokal hingga global, Geografi dihadapkan pada dua permasalahan yang terkait disiplin ilmu geografi itu sendiri dan permasalahan kompetensi geograf sebagai pemangku ilmu geografi.
1) Geografi yang bagaimanakah yang mampu memberikan kontribusi nyata untuk pengambilan kebijakan dalam memecahkan permasalahan lingkungan yang berdimensi lokal hingga global secara berkelanjutan?
2) Kompetensi apakah yang diperlukan bagi geograf di masa mendatang?
Pertanyaan pertama dimunculkan, karena ada tiga alasan penting yang terkait dengan geografi:
1) Geografi menghadapi tantangan untuk memberikan masukan dalam memecahkahn masalah yang multi dimensi dan kompleks yang memerlukan pendekatan antar bidang, apabila geografi tidak terpadu maka kontribusi geografisnya kurang lengkap, bahkan berisiko sebagian disiplin geografi menjadi bagian disiplin ilmu lain;
2) Pembelajaran geografi harus utuh tidak terkotak-kotak secara tegas antara geografi fisik dan geografi manusia, karena masalah di sekeliling lingkungan kita semakin meningkat dan geograf harus mampu memberikan kontribusi yang nyata kepada masyarakat, oleh karena itu geograf harus berbekal teori/konsep yang matang;
3) Riset fundamental dalam elemen inti geografi belum banyak dilakukan untuk menghasilkan teori dasar geografi yang dapat digunakan sebagai masukan dalam kebijakan pemerintah, jika geografi tidak mengembangkan geografi terpadu akan kehilangan kesempatan/kedudukan sebagai pemberi masukan sesuai bidang keilmuan geografi. Label dari geografi adalah ruang, tempat, lingkungan dan peta, yang tidak dimiliki oleh disiplin ilmu lain (Mathews et al, 2004).
Dalam mengupas permasalahan pertama tersebut perlu didasari pemahaman tentang ruang lingkup Geografi, komponen inti kajian geografi. Pembahasan permasalahan kedua tentang kompetensi khususnya dalam bidang kajian geografi fisik, perlu didasari dengan metode penelitian geografi dan identifikasi dari permasalahan lingkungan yang terkait dengan obyek kajian Geografi
2. RUANG LINGKUP KAJIAN GEOGRAFI
Sebutan geografi sebagai ilmu pengetahuan cukup banyak, antara lain: i). Geografi sebagai ilmu holistik yang mempelajari fenomena di permukaan bumi secara utuh menyeluruh, ii) geografi adalah ilmu analitis dan sintesis, yang memadukan unsur lingkungan fisikal dengan unsur manusia dan iii). geografi adalah ilmu wilayah yang mempelajari sumberdaya wilayah secara komprehensif. Tiga sebutan geografi tersebut yang menjadi landasan untuk membahas kajian geografi yang mampu merespon permalasalahan lingkungan yang berdimensi lokal hingga global. Pertanyaan pemandu untuk mengetahui ruang lingkup kajian Geografi pada umumnya adalah:
1) Apa (what),
2) Dimana (where),
3) Berapa (how long/how much),
4) Mengapa (why),
5) Bagaimana (how),
6) Kapan (when),
7) Siapa (who) (Widoyo Alfandi, 2001).
Pertanyaan pemandu yang mencerminkan bahwa geografi itu adalah holistik, sintesis dan kewilayahan adalah sebagai berikut:
1) Apa, dimana dan kapan (what, where and when), pertanyaan ini menuntun kita untuk mengetahui fenomena geografis dan distribusi spasialnya pada suatu wilayah, serta kapan terjadinya;
2) Bagaimana dan mengapa ( how and why), pertanyaan ini bersifat analitis untuk mengetahui sistem, proses, perilaku, ketergantungan, organisasi spasial dan interaksi antar komponen pembentuk geosfer;
3) Apakah dampaknya (what is the impact), pertanyaan bersifat analistis, sintesis untuk mengevaluasi fenomena geografi yang mengalami perubahan baik oleh proses alam maupun oleh hasil interaksi antara manusia dengan lingkungan alamnya;
4) Bagaimana seharusnya (how ought to ), pertanyaan ini menjurus ke sintesis dan evaluasi untuk pemecahan permasalahan lingkungan suatu wilayah dan memberikan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya dan lingkungan.
Pertanyaan pemandu pertama dalam geografi yang umum tersebut dapat digunakan untuk proses pembelajaran pada tingkat manapun dengan memperhatikan tingkat kedalaman atau kedetilannya. Pertanyaan pemandu yang kedua dapat ditujukan untuk jenjang pendidikan pada perguruan tinggi, dengan asumsi bahwa wawasan dan penalaran mahasiswa lebih mantap.
3. KONSEP GEOGRAFI
Berikut ini disampaikan beberapa konsep geografi yang dapat dijadikan pegangan untuk menentukan kompetensi geograf.
1). Geografi menduduki tempat yang jelas dalam dunia pendidikan, geografi menawarkan kajian terpadu dari hubungan timbal balik antara masyarakat manusia dengan komponen fisikal dari bumi.
2). Disiplin geografi dicirikan oleh subyek material yang luas, yang secara tradisional terdiri dari dari geografi manusia dan geografi fisik.
3). Komponen pengetahuan alam dan sosial dalam geografi tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, dan tidak ada disiplin ilmu lain yang memadukannya seperti yang dilakukan oleh geograf.
4). Geografi mempelajari interelasi dan interdependensi dari dunia nyata dari fenomena dan proses yang memberikan ciri khas pada suatu wilayah.
5). Obyek kajian geografi adalah geosfer yang terdiri dari atmosfer, litosfer, pedosfer, hidrosfer, biosfer dan antroposfer; masing-masing sfera tersebut saling terkait membentuk sistem alami.
6). Obyek kajian geografi tersebut juga menjadi kajian bidang ilmu lainnya, yang menjadi pembeda adalah pendekatan yang digunakan; pendekatan yang dimaksud adlah pendekatan spasial (keruangan), ekologikal dan kompleks wilayah.
7). Geografi mempelajari wilayah secara utuh menyeluruh tentang sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, sehingga mempunyai peran penting dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dalam rangka otonomi daerah.
8). Geografi mempelajari proses perubahan lingkungan alam maupun lingkungan sosial ekonomi, sehingga pelajaran geografi memberi bekal untuk tanggap terhadap isu-isu dan perubahan lokal, regional dan global.
9). Peta merupakan salah alat utama dalam kajian geografi dan juga merupakan salah satu hasil utama dalam kajian geografi.
10).Perkembangan pesat dari ilmu dan teknik penginderaan jauh dan sistem informasigeografis sangat membantu dalam proses-belajar geografi dan penelitianpenelitian geografis.
4. GEOGRAFI SEBAGAI SATU DISIPLIN: GEOGRAFI TERPADU
Setiap disiplin keilmuan normalnya memiliki satu bidang kajian tertentu, satu asosiasi kerangka teoritik dan pendekatan yang lazim digunakan untuk mengkaji dengan teknik yang sesuai, kesemuanya itu tidak hanya untuk pemahaman tetapi juga untuk penemuan pengetahuan baru dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat manusia. Bagi geografi bidang kajiannya banyak, yang mempunyai metode dan teknik yang berbeda, sehingga tidak mudah untuk mendudukan geografi sebagai satu disiplin. Misalnya geografi fisik yang obyeknya kajiannya atmosfer, litosfer dan hidrosfer, masing-masing mempunyai kerangka teoritik dan pendekatan yang berbeda, demikian juga halnya dengan geografi manusia yang obyeknya: kependudukan, sosial, ekonomi, budaya dan politik. Bagi geografi dimasukkan ke dalam cross-disciplinary link, mirip munculnya sain terpadu, seperi Sain Sistem Bumi ( Earth System Science) dan Sain Keberlanjutan (Sustainability Science), dan bagi geografi subyek kajiannya adalah lingkungan fisikal dan manusia, dengan menggunakan teori dan metodologinya kompleksitas dari unsur muka bumi (Mathews et al,2004).
Kesulitan untuk mendudukan/memposisikan geografi sebagai satu disiplin ilmu, maka ada baiknya apabila geografi itu hanya satu, tidak terpisah-pisah menjadi geografi manusia dan geografi fisik. Geografi yang satu (unifying geography) mempunyai banyak keunggulan dalam berperan ke masa depan, dengan asumsi permasalahan di masa depan sifatnya kompleks dan multi dimensi, yang pemecahannya memerlukan pendekatan terpadu dan holistik. Dalam geografi terpadu tidak berarti kekhususan (spesialisasi) akan hilang, tetapi tetap ada hanya dilandasi oleh konsep geografi yang satu. Bagi spesialisasi geografi fisik, fokus kajian pada komponen lingkungan fisik tetapi harus mengkaitkannya dengan aspek sosial; spesialisasi dalam geografi manusia geografi fisik sebagai latar belakang, sedang yang spesialisasi dalam geografi yang satu fokusnya adalah pemecahan masalah dengan pendekatan geografis secara utuh.
Alasan Untuk Menjadi Geografi Terpadu
1) Satuan (unit) yang lebih besar akan membawa keuntungan yang berarti, akan dan memberikan arah yang jelas dalam pengetahuan dan pemahaman; fokus yang besar dan menyatu dalam Geografi akan memerkuat identitas Geografi dan dapat memberikan masukan dalam kebijakan pembangunan;
2) Satuan (unit) yang lebih besar memberikan makna yang lebih besar bagi mahasiswa dalam, disiplin geografi yang terpisah-pisah tidak menyatu akan membingungkan dalam penyusunan kurikulum. Pada hal geografi menempati posisi tempat yang menonjol dalam mempelajari dunia, yang menawarkan kajian terpadu terhadap hubungan timbalbalik antara manusia dan lingkungan alamnya, sehingga kalau tidak menjadi satu kesatuan maka tidak akan lengkap kajiannya. Satuan yang lebih besar dapat memberikan prioritas dalam pengajaran dan penelitian, yang kesemuannya itu untuk mempromosisikan geografi agar lebih berperan.
3) Satuan yang lebih besar dapat menunjukkan kepada masyarakat tentang kemampuan akademiknya untuk memberikan kontribusi nyata dalam menentukan kebijakan dan memperbaiki pemahaman umum tentang Geografi.
5. KOMPONEN INTI GEOGRAFI
Untuk menuju geografi terpadu (unifying geography) perlu ditegaskan komponen inti Geografi. Matthews, et al., (2004) mengusulkan empat komponen inti Geografi : ruang (space), tempat (place), lingkungan (environment) dan peta (maps).
Ruang menjadi satu konsep dalam inti geografi, yang dapat dipandang sebagai pendekatan spasial-korologikal untuk Geografi. Ruang juga mendominasi Geografi setiap waktu, ketika analisis spatial menjadi satu pendeskripsi untuk satu bentuk dari pekerjaan geografis. Pola spasial umumnya menjadi titik awal untuk kajian geografis; yang selanjutnya dapat dilacak proses perubahan secara spasial dan sistem spasial.
Tempat merupakan komponen kedua dalam inti geografi. Tempat terkait dengan kosep teritorial dalam Geografi dan menunjukkan karakteristik, kemelimpahan dan batas. Tempat merupakan bagian dari dunia nyata tempat manusia bertem dan dapat dikenali, dinterpretasi dan dikelola. Dalam ahli geografi manusia tempat merupakan refleksi dari identitas idividu maupun kelompok; sedang bagi ahli geografi fisik tempat tempat merupakan refleksi dari perbedaan lingkungan biofisik.
Lingkungan merupakan komponen inti Geografi ketiga yang mencakup lingkungan alami (topografi, iklim, air, biota, tanah) dan sebagai komponen inti yang memadukan dengan komponen geografi lainnya. Lingkungan menjadi interface antara lingkungan alam dan budaya, lahan dan kehidupan, penduduk dan lingkungan biofisikalnya.
Peta sebagai komponen inti Geografi keempat lebih merupakan bentuk representasi, tehnik dan metodologi dari pada sebagai satu konsep atau teori. Peta dipandang sebagai pernyerhanaan perpektif spasial dari fenomena/peristiwa yang dikaji dalam Geografi.
Ruang, tempat, lingkungan dan peta menjadi label dari Geografi. Komponen tersebut mempunyai kedudukan yang sama dalam kajian Geografi, baik dalam kajian Geografi Fisik maupun Geografi Manusia. Demikian juga dapat menjadi dasar konsep untuk disiplin Geografi secara utuh.
Komponen inti Geografi tersebut bersifat dinamik, dalam arti dapat terjadi perubahan, yang tergantung karakteristik lingkungan, proses yang berlangsung dan waktu. Oleh sebab itu perlu ada dimensi kualifikasi dari komponen inti geografi tersebut. Dimensi yang dimaksud adalah waktu, proses, keterbukaan dan skala. Sebagai contoh tempat yang terletak di pegunungan yang semula subur menjadi lahan kritis dalam waktu 10 tahun, karena proses erosi dan longsor karena daerahnya terbuka akibat pembalakan hutan di atasnya, yang luasnya melebihi 70%. Komponen inti geografi dan dimensi kualifikasinya tercantum pada Tabel 1.
6. SPESIALISASI DALAM GEOGRAFI TERPADU
Setelah dibahas alasan untuk menjadi geografi terpadu dan komponen esensial inti geografi, kemudian timbul masalah yang terkait dengan spesialisasi dalam geografi terpadu. Spesialisasi dalam geografi tetap dapat eksis , baik spesialisasi dalam intinya maupun periperinya, sedangkan yang berada di luar periperi merupakan disiplin antar bidang yang relatif sedikit berbasis pada inti geografinya (Gambar 1).
Gambar 1. Geografi terpadu, geografi fisik dan geografi manusia, dan spesialisasi geografi dalam hubungannya dengan bidang Geografi periperi dan antar bidang. Sumber Mattews et al., 2004.
Gambar 1 tersebut menunjukkan bahwa spesialisasi dalam Geografi dapat dibedakan menjadi : spesialisasi geografi secara utuh, dalam geografi fisik dan geografi manusia dengan kadar inti geografi relatif lebih sedikit dan spesialisasi antar bidang dengan basis inti geografi lebih kecil lagi.
7. KOMPETENSI DALAM BIDANG GEOGRAFI FISIK
Seseorang yang belajar geografi kompetensi yang dimiliki akan sejalan dengan jenjang pendidikan yang diikuti. Kompetensi ideal bagi orang yang mempelajari geografi tercapai apabila yang bersangkutan belajar hingga perguruan tinggi atau telah menjadi geograf. Berikut ini disampaikan kompetensi ideal bagi orang yang mempelajari geografi hingga perguruan tinggi, namun demikian sebagian dari kompetensi tersebut dapat juga dimiliki oleh orang yang hanya mempelajari geografi dalam jenjang pendidikan tertentu saja (Sutikno, 2002).
Kompetensi Dalam Pengertian dan Pemahaman
Setelah mempelajari geografi seseorang diharapkan memperoleh pengertian dan pemahaman sebagai berikut:
Hubungan timbal balik antara aspek fisik dan manusia dari lingkungan dan bentanglahan;
Konsep variasi spasial;
1. Perbedaan utama dari wilayah /daerah tertentu yang selalu mengalami perubahan akibat proses: fisik, lingkungan, biotik, sosial, ekonomi dan budaya;
2. Konsepsualisasi terhadap pola, proses, interaksi dan perubahan lingkungan, sebagai suatu sistem dengan skala yang bervariasi;
3. Kekritisan terhadap aspek spasial dan temporal dari proses-proses fisikal, manusia dan interaksinya;
4. Perubahan yang terus terjadi pada komponen lingkungan fisik dan manusia, termasuk interaksi dan interdependensinya;
5. Perbedaan menurut ruang, tempat dan waktu dalam masyarakat manusia;
6. Sifat dari disiplin ilmu itu dinamik, prural dan bersaing;
7. Cara representasi data geografi: aspek fisik maupun aspek manusianya;
8. Strategi dalam analisis dan interpretasi informasi geografis;
9. Metode penelitan geografis: observasi, survai, pengukuran lapangan, analisis laboratorium, analisis kuantitatif dan kualitatif;
10. Aplikasi konsep dan teknik geografi untuk pemecahan masalah, kesejahteraan manusia, perbaikan lingkungan hidup, perencanaan perkotaan, kebencanaan alam, keberlanjutan dan konservasi.
Kompetensi Dalam Keahlian/Ketrampilan Praktis
Pendidikan geografi dapat memberikan keahlian praktis dalam bidang/hal berikut:
1. Mampu melakukan perencanaan, perancangan dan pelaksanaan riset, termasuk penyusunan laporan akhir;
2. Mampu melaksanakan kerja lapangan yang efektif, dalam konteks keamanan dan keselamatan;
3. Mampu melakukan kerja laboratoris dengan aman dengan memperhatikan prosedur baku;
4. Mampu melaksanakan survai dan metode penelitian untuk pengumpulan, analisis dan pemahaman informasi aspek manusia;
5. Mampu melakasanakan variasi teknik dan metode analisis laboratorium untuk pengumpulan dan analisis data spasial dan informasi lingkungan;
6. Mampu mengkombinasikan dan menginterpretasikan kejadian geografis yang berbeda tipenya;
7. Mampu mengenali isu-isu moral dan etika yang diperdebatkan.
Kompetensi Dalam Keahlian/Ketrampilan Kunci ( Key Skills)
Siswa /mahasiswa geografi harus mengembangkan kemampuan sebagai berikut:
1. Belajar dan mengkaji,
2. Komunikasi tertulis,
3. Presentasi data geografis,
4. Penilaian dan perhitungan,
5. Kesadaran spasial dan observasi,
6. Keja lapangan dan laboratoris,
7. Tehnologi informasi,
8. Penanganan dan penyimpanan data/informasi,
9. Situasi personal, kerja sama
Uraian tersebut menujukkan bahwa pembelajaran geografi penuh dengan kandungan kompetensi khususnya dalam aspek spasial, lingkungan dan kewilayahan dari sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya binaan. Kompetensi yang disebutkan di atas kurang spesifik dalam artian praktis atau terapannya, berikut ini disampaikan kompetensi Geografi Fisik yang lebih aplikatif antara lain:
1. Survey komponen lingkungan fisikal: cuaca, iklim, geomorfologi, tanah, hidrologi dan biogeografi;
2. Inventarisasi dan evaluasi potensi sumberdaya alam;
3. Mitigasi dan evaluasi bahaya dan bencana alam;
4. Evaluasi risiko bahaya/bencana alam;
5. Penataan ruang dari aspek fisikalnya
6. Pengeolaan sumberdaya alam,
7. Konservasi sumberdaya alam,
8. Penilaian degradasi lingkungan,
9. Pengelolaan daaerah aliran sungai.
8. PENUTUP
Geografi terpadu lebih sesuai untuk dikembangkan di Indonesia ke depan, mengingat kondisi lingkungan alamnya sangat bervariasi dan berpenduduk padat dengan banyak etnik, sehingga banyak permasalahan lingkungan yang perlu penanganan secara terpadu.
Geografi sebagai disiplin ilmu perlu label komponen inti Geografi, yang terdiri dari ruang, tempat, lingkungan dan peta, dengan dimensi kualifikasi waktu, proses, keterbukaan dan skala.
Dalam geografi terpadu spesialisasi tetap eksis, yang meliputi spesialisasi inti, periperi dan antar bidang; baik dalam bidang kajian geografi manusia maupun geografi fisik.
REFERENSI
Bintarto, 1981. Suatu Tijauan Filsafat Geografi. Seminar Peningkatan Relevansi Metode
Penelitian Geografi. Fakultas Geogari UGM. Yogyakarta 24 Oktober 1981.
Matthews J. A; D. T. Herbert. 2004. Unifying Geography. Common heritage, share future.London: Routlege. Taylor&Francis Group.
Widoyo Alfandi. 2001. Epistemologi Geografi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sutikno. 2002. Peran Geografi dalam Pemberdayaan Sumberdaya Wilayah. Makalah dipresentasikan dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan dan Kongres Ikatan Geograf Indonesia di UPI Bandung tanggal 28-29 Oktober 2002.
Peranan Sistem Informasi Geografis Kesehatan dalam Bencana
Apr 5, '08 5:45 AM
for everyone
Akhir-akhir ini, Indonesia berbagai bencana bertubi-tubi menimpa Indonesia. Sebelum tsunami di Aceh, berbagai bencana alam seperti banjir, longsor, kebakaran hutan, gunung meletus, kekeringan, gempa bumi maupun tsunami juga pernah menimpa beberapa bagian di Indonesia. Selain bencana alam, Indonesia juga langganan dengan kejadian luar biasa seperti demam berdarah, dan akhir-akhir ini, semua orang meributkan tentang polio. Jika menilik definisi bencana (disaster) menurut WHO, kita akan menemukan definisi yang menarik. Bencana dapat didefinisikan sebagai setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena. Hal ini mengimplikasikan bahwa KLB pun dapat dikateogrikan sebagai suatu bencana.
Upaya penganggulangan bencana secara umum meliputi 2 hal yaitu, pre-disaster dan post-disaster. Seperti kita ketahui, upaya penanggulangan post disaster akan membutuhkan biaya serta alokasi sumber daya yang sangat besar. Upaya penanggulangan ini akan semakin besar lagi apabila masyarakat dan negara tidak memiliki sistem manajemen pre disaster yang baik. Oleh karena itu saat ini digalakkan penyadaran pentingnya emergency preparedness sebagai suatu program jangka panjang yang bertujuan untuk memperkuat kapasitas dan kemampuan bangsa untuk me-manage semua jenis bencana serta memulihkan keadaan pasca bencana hingga ke kondisi pengembangan berkelanjuntan.
Peran sistem informasi geografis kesehatan dalam manajemen bencana
Sistem informasi geografis merupakan penggunaan teknologi informasi untuk mengumpulkan, mengolah, dan memvisualisasikan data spatial serta data tabular lain. Penerapan pertama kali sistem informasi geografis dipelopori oleh John Snow ketika membuat peta pompa air pada saat wabah kolera pada abad 19. Semenjak era komputer dan Internet, SIG semakin populer dan terjangkau.
Perangkat lunak sistem informasi geografis tersedia secara komersial (misalnya, ArcView, MapInfo dll) maupun gratis (Epimap, dll). Pengalaman menunjukkan bahwa pengembangan sistem informasi geografis di Indonesia telah menginvestasikan cukup tinggi untuk pembelian perangkat lunak komersial. Di sisi lain, beberapa perangkat lunak gratis seperti Epimap tersedia, tetapi jarang dikupas. Selain itu, banyak yang mengungkapkan bahwa tidak semua praktisi kesehatan masyarakat harus menggunakan perangkat lunak sistem informasi geografis yang mahal, karena sebagian besar aplikasi di kesehatan masyarakat lebih banyak untuk pengembangan peta tematik.
Analisis sistem informasi geografis yang lebih canggih, seperti disease clustering, maupun disease modelling memang harus menggunakan perangkat komersial. Epi Info 3.3.2 merupakan perangkat lunak yang sangat populer untuk epidemiologi yang dilengkapi dengan modul Epimap untuk SIG. Selain itu, WHO juga memiliki Healthmap.
Sistem informasi geografis memiliki peran penting dalam siklus manajemen bencana, mulai dari pencegahan, mitigasi, tanggap darurat hingga rehabilitasi. Peta merupakan salah satu cara terbaik untuk memvisualisasikan hasil penilaian kerawanan (vulnerabilitas). Peta dapat memadukan dimensi keruangan (spasial), karakteristik dari hazard serta berbagai informasi lainnya seperti gambaran lingkungan maupuan data masyarakat yang relevan.
Costa Rica’s Integrated Emergency Information System merupakan salah satu contoh penerapan system informasi geografis dalam setiap siklus manajemen bencana. Sistem ini memiliki database yang cukup penting bagi proses perencanaan yaitu peta tentang bencana alam dan manusia serta inventory sumber daya strategis untuk kesiapan, tanggap serta rehabilitasi bencana. Saat ini, Badan Meteorologi dan Geofisika memiliki peta interaktif yang memuat informasi mengenai bencana yang cukup update. Peta yang terdapat di Internet tersebut menampilkan titik lokasi 30 gempa terakhir, skala gempa, waktu kejadian, serta posisinya (latitude dan longitude).
Pada saat dan setelah bencana terjadi, berbagai aktivitas kesehatan harus dilakukan untuk mengatasi masalah kesehatan para korban serta mencegah memburuknya derajat kesehatan masyarakat yang terkena bencana. Pada tahapan tanggap darurat, energi yang cukup besar biasanya dicurahkan untuk evakuasi korban. Kegiatan lain yang juga sudah harus dimulai segera meliputi kesehatan lingkungan, surveilans dan pemberantasan penyakit, pelayanan kesehatan serta distribusi logistik kesehatan dan bahan makanan. Problem yang seringkali terjadi kemudian adalah persoalan manajemen dan koordinasi kegiatan serta sumber daya. Alokasi tenaga kesehatan, obat-obatan dan bahan makanan memerlukan informasi yang akurat mengenai jumlah populasi dan lokasi penampungan korban.
Setiap bencana memerlukan tindakan prioritas dan kebutuhan informasi yang relatif berbeda. Prioritas tindakan dan kebutuhan informasi pada waktu bencana gempa bumi akan berbeda dengan bencana banjir (lihat gambar 1 dan 2). Namun secara umum, informasi yang dibutuhkan pada waktu penanganan bencana adalah: (1) wilayah serta lokasi geografis bencana dan perkiraan populasi, (2)status jalur transportasi dan sisem komunikasi, (3)ketersediaan air bersih, bahan makanan, fasilitas sanitasi dan tempat hunian, (4)jumlah korban, (5)kerusakan, kondisi pelayanan, ketersediaan obat-obatan, peralatan medis serta tenaga di fasilitas kesehatan, (6)lokasi dan jumlah penduduk yang menjadi pengungsi dan (7) estimasi jumlah yang mennggal dan hilang. Pada tahap awal, tindakan kemanusiaan dan pengumpulan informasi dilakukan secara simultan. Pengumpulan data harus dilakukan secara cepat untuk menentukan tindakan prioritas yang harus dilakukan oleh manajemen bencana.
Penggunaan Global Positioning Systems (GPS) berperan penting dalam menentukan lokasi kamp pengungsi maupun fasilitas kesehatan. Data tersebut dapat digabungkan dengan data spatial dari satelit. Pada awal kejadian tsunami di Aceh, gambar satelit dari Quick Birds sangat bermanfaat untuk mengestimasikan cakupan bencana serta perkiraan sarana transportasi yang rusak. Data spatial tersebut selanjutnya digabungkan dengan informasi mengenai jumlah maupun distribusi pengungsi, ketersediaan air bersih serta bahan makanan akan memberikan masukan penting bagi koordinasi dan manajemen pada fase tanggap darurat.
Proses pengumpulan data dan informasi akan menjadi lebih mudah jika informasi dasar tersedia. Sayangnya, inilah kelemahan di negara kita. Informasi spasial yang lengkap mengenai suatu wilayah kadang-kadang sulit diperoleh. Pada waktu tim UGM berangkat ke Aceh, satu-satunya peta digital yang dimiliki berasal dari BPS tahun 2000 yang waktu hanya mencakup 20 kabupaten (tidak termasuk kabupaten pemekaran). Akhirnya, peta digital yang lengkap justru diperoleh dari komunitas RSGISForum (remote sensing and GIS forum) yang menyediakan peta digital aceh di Internet.
Oleh karena itu, peranan GIS untuk manajemen bencana akan lebih optimal jika sudah dikembangkan sebagai bagian dari pre-disaster plan. Hal inilah yang sekarang sedang dicoba bekerjasama WHO dengan membuat layer dasar fasilitas kesehatan. UGM saat ini sudah menyelesaikan peta fasilitas kesehatan di Aceh dan Jogjakarta. Kegiatan yang sekarang sedang berjalan adalah di Jawa Tengah dan Sumatera Utara. Pengumpulan data fasilitas kesehatan tersebut relatif lebih mudah dan dapat dilakukan sendiri oleh tenaga kesehatan. Langkah selanjutnya adalah menggabungkan informasi spasial tersebut dengan data yang berasal dari sektor lain seperti, jalur komunikasi dan topografi, jumlah dan distribusi penduduk, serta daerah dan lokasi rawan bencana.
Upaya pengembangan ke depan
Sharing informasi merupakan kata kunci di era netwroking seperti saat ini. Hasil pemetaan fasilitas kesehatan yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada diletakkan di server Pusdatin (yang dapat diakses di http://map.depkes.go.id) yang saat ini memiliki infrastruktur server Internet yang cukup memadai.
Untuk menjamin sustainabilitas, pengembangan sistem informasi geografis memerlukan dua hal:
Investasi untuk pengembangan. Investasi ini diperlukan untuk pengadaan perangkat lunak, perangkat keras, pengumpulan sumber data, serta pelatihan bagi perancang serta pengguna sistem informasi geografis (SDM)
Updating. Sistem informasi geografis yang hanya mengumpulkan data sewaktu tidak akan bermanfaat banyak. Oleh karena itu, langkah yang terpenting adalah proses updating. Hal ini memerlukan kerjasama lintas sektoral serta fasilitas networking yang memungkinkan updating secara paralel. Dengan adanya Internet, mekanisme updating akan menjadi lebih mudah. Hal inilah yang mendorong populernya perkembangan webmapping (pemetaan di Internet)
Informasi mengenai fasilitas kesehatan merupakan layer pertama dalam tampilan webmapping tersebut. Langkah selanjutnya adalah melengkapi dengan berbagai layer lainnya, seperti indikator kesehatan, faktor risiko (lingkungan), sumber daya kesehatan. Akan tetapi, penerapan webmapping tersebut sebenarnya merupakan tingkatan tertinggi karena berasal dari berbagai data di level di bawahnya, khususnya kabupaten dan propinsi serta berbagai unit di departemen kesehatan. Oleh karena itu, pengembangan sistem informasi geografis di tingkat kabupaten dan propinsi sebaiknya menjadi bagian penting dalam pengemabangan sistem informasi kesehatan daerah.
Pengalaman menunjukkan bahwa, meskipun upaya pengembangan sistem informasi geografis di sektor kesehatan sudah dirintis sejak lama, khususnya untuk pemberantasan dan pencegahan penyakit menular. Namun, hingga saat ini dampak dan manfaatnya belum terasa. Semoga dengan semakin meningkatnya kesadaran kita terhadap bencana, sistem informasi geografis bukan lagi menjadi sesuatu yang eksklusif dan dimiliki oleh kalangan tertentu saja, tetapi menajdi bagian dari sistem kesehatan dalam setiap pengambilan keputusan.
INTI SARI
Geografi sebagai ilmu pengetahuan yang pernah disebut sebagai induk ilmu pengetahuan (mother of sciences) mengalami pasang-surut peranannya untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan pembangunan. Apabila geografi tetap ingin berperan dalam memberikan sumbangan pemikiran dalam kebijakan pembangunan, geografi harus mempunyai konsep inti, metodologi dan aplikasi yang mantap. Makalah ini bertujuan untuk menelusuri konsep inti geografi yang sesuai untuk dikembangkan di Indonesia untuk mendasari kompentensinya, khususnya dalam bidang geografi fisik. Pemisahan geografi fisik dan geografi manusia yang tinggi kurang mencirikan jati diri geografi, dan jika kecenderungan pemisahan tersebut semakin berlanjut jati diri geografi akan pudar dan akan larut dalam disiplin ilmu lainnya, dan bahkan kita akan kehilangan sebagian dari kompetensi keilmuan geografi. Geografi terpadu atau geografi yang satu (unifying geography) menjadi satu pilihan sebagai dasar pembelajaran geografi yang sesuai untuk Indonesia, yang diikuti dengan pendalaman keilmuan pada masing-masing obyek material kajian geografi tanpa melupakan obyek formalnya. Komponen inti dari geografi terpadu adalah ruang, tempat/lokasi, lingkungan dan peta, yang berdimensi waktu, proses, keterbukaan dan skala. Komponen inti geografi terpadu tersebut dijadikan dasar untuk menentukan kompetensi geografi. Kompetensi geografi fisik, yang obyek materialnya fenomena lingkungan fisik (abiotik) pada lapisan hidup manusia, sangat luas antara lain: penataan ruang, pengeolaan sumberdaya alam, konservasi sumberdaya alam, penilaian degradasi lingkungan, pengelolaan daaerah aliran sungai, penilaian tingkat bahaya dan bencana, penilaian risiko bencana. Kompetensi geografi fisik tersebut selalu dikaitkan dengan kepentingan umat manusia, dengan konsep bahwa lingkungan fisikal sebagai lingkungan hidup manusia.
1. PENGANTAR
Perbincangan tentang jati diri Geografi telah beberapa kali dilakukan di Indonesia, baik melalui lokakarya, seminar maupun melalui sarasehan yang dilakukan oleh Fakultas/Jurusan/Departemen Geografi, organisasi profesi (IGI) dan ikatan alumni (IGEGAMA). Jati diri suatu disiplin ilmu dapat ditelaah dari definisinya. Dalam Seminar
Peningkatan Relevansi Metode Penelitian Geografi tanggal 24 Oktober 1981 Prof. Bintarto dalam papernya berjudul Suatu Tinjauan Filsafat Geografi mengemukakan definisi Geografi sebagai berikut: Geografi mempelajari hubungan kausal gejala-gejala di muka bumi dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di muka bumi baik yang fisikal maupun yang menyangkut mahkluk hidup beserta permasalahannya, melalui pendekatan keruangan, ekologikal dan regional untuk kepentingan program, proses dan keberhasilan pembangunan (Bintarto, 1984). Seminar dan lokakarya yang dilaksanakan di Jurusan Geografi, FKIP, IKIP Semarang kerjasama dengan IGI tahun 1988 telah menghasilkan rumusan definisi: Geografi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perbedaan dan persamaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kelingkungan, kewilayahan dalam konteks keruangan.
Rumusan dua definisi Geografi tersebut sedikit berbeda namun memberikan ketegasan dan kejelasan tentang obyek kajian dalam Geografi baik obyek material maupun formalnya. Obyek materialnya adalah gejala, fenomena, peristiwa di muka bumi (di geosfer), sedang obyek formalnya adalah sudut pandang atau pendekatan:keruangan, kelingkungan dan kompleks wilayah. Ketegasan obyek formal kajian Geografi penting untuk membedakan kajian dengan disiplin ilmu lain yang obyek materialnya juga fenomena geosfer. Geosfer terdiri atas atmosfer, litosfer (termasuk pedosfer), hidrosfer dan biosfer (termasuk antroposfer); sfera bumi tersebut membentuk satu sistem alami yang masing-masing sfera saling berinteraksi, saling pengaruh mempengaruhi. Konsep sfera bumi membentuk satu sistem alami merupakan konsep penting dalam geografi, karena dapat dijadikan dasar untuk memahami dinamika fenomena dari muka bumi.
Definisi Geografi versi Semlok Semarang tersebut masih banyak digunakan dalam proses pembelajaran geografi di sekolah dan perguruan tinggi, dan bukan satusatunya yang harus diajarkan kepada peserta didik, karena masih banyak definisi lain yang perlu disampaikan untuk memperkaya dan memperluas wawasan tentang jati diri geografi. Definisi geografi itu sangat banyak, berikut ini disampaikan lima definisi untuk memberikan diversitas cakupan, dan jati diri Geografi.
1) Geography is concerned to provide an accurate, orderly, and rational description and interpretation of the variable character of the Earth’s surface (Hartshorne, 1959).
2) Geography is the scientific study of changing spatial relationships of terrestrial phenomena viewed as world of man (Bird, 1989).
3) The core of Geography is an abiding concern for human and physical attribute of places and regions and with spatial interaction that alter them (Abler et al, 1992). 4) Geography is the study of the surface of the Earth. It involves the phenomena and processes of the Earth’s natural and human environments and landscapes at local to global scales (Herbert and Matthews (2001).
5) Geography is a discipline concerned with understanding the spatial dimensions of environmental and social processes (White, 2002)
Variasi definisi tersebut di atas juga memberikan ketegasan kepada kita bahwa obyek kajian Geografi adalah fenomena geosfer dan sudut pandangnya adalah keruangan, kelingkungan dan kewilayahan meskipun dengan rumusan yang berbeda. Rumusan yang berbeda dari definisi Geografi dapat dipahami dengan munculnya pandangan Geografi yang menyatakan bahwa geografi adalah apa yang dikerjakan oleh geograf. Dua definisi terakhir dari lima definisi tersebut di atas aspek lingkungan mendapat tekanan yang lebih. Hal tersebut sangat mungkin diinspirasi oleh permasalahan lingkungan yang semakin meningkat dan mengglobal di muka bumi ini, seperti perubahan iklim global, penurunan kualitas lingkungan, bencana banjir, kekeringan, longsor, kemiskinan, penurunan dan kerusakan sumberdaya alam. Permasalahan lingkungan dan bencana yang banyak terjadi tersebut timbul sebagai akibat ketidak imbangan interaksi antara lingkungan dengan aktifitas manusia. Interaksi lingkungan-manusia merupakan sebagian dari kajian geografi yang menggunakan pendekatan kelingkungan..Oleh sebab itu permasalahan lingkungan menjadi perhatian geograf, dan selain itu geografi sebagai ilmu yang berorientasi pada pemecahan masalah (problems solving). Permasalahan lingkungan yang terjadi saat sekarang dan masa depan bersifat kompleks, multi dimensi, saling kait mengkait, sehingga pemecahannya memerlukan pendekatan terpadu.
Dalam merespon permasalahan lingkungan yang multidimensi dan berskala lokal hingga global, Geografi dihadapkan pada dua permasalahan yang terkait disiplin ilmu geografi itu sendiri dan permasalahan kompetensi geograf sebagai pemangku ilmu geografi.
1) Geografi yang bagaimanakah yang mampu memberikan kontribusi nyata untuk pengambilan kebijakan dalam memecahkan permasalahan lingkungan yang berdimensi lokal hingga global secara berkelanjutan?
2) Kompetensi apakah yang diperlukan bagi geograf di masa mendatang?
Pertanyaan pertama dimunculkan, karena ada tiga alasan penting yang terkait dengan geografi:
1) Geografi menghadapi tantangan untuk memberikan masukan dalam memecahkahn masalah yang multi dimensi dan kompleks yang memerlukan pendekatan antar bidang, apabila geografi tidak terpadu maka kontribusi geografisnya kurang lengkap, bahkan berisiko sebagian disiplin geografi menjadi bagian disiplin ilmu lain;
2) Pembelajaran geografi harus utuh tidak terkotak-kotak secara tegas antara geografi fisik dan geografi manusia, karena masalah di sekeliling lingkungan kita semakin meningkat dan geograf harus mampu memberikan kontribusi yang nyata kepada masyarakat, oleh karena itu geograf harus berbekal teori/konsep yang matang;
3) Riset fundamental dalam elemen inti geografi belum banyak dilakukan untuk menghasilkan teori dasar geografi yang dapat digunakan sebagai masukan dalam kebijakan pemerintah, jika geografi tidak mengembangkan geografi terpadu akan kehilangan kesempatan/kedudukan sebagai pemberi masukan sesuai bidang keilmuan geografi. Label dari geografi adalah ruang, tempat, lingkungan dan peta, yang tidak dimiliki oleh disiplin ilmu lain (Mathews et al, 2004).
Dalam mengupas permasalahan pertama tersebut perlu didasari pemahaman tentang ruang lingkup Geografi, komponen inti kajian geografi. Pembahasan permasalahan kedua tentang kompetensi khususnya dalam bidang kajian geografi fisik, perlu didasari dengan metode penelitian geografi dan identifikasi dari permasalahan lingkungan yang terkait dengan obyek kajian Geografi
2. RUANG LINGKUP KAJIAN GEOGRAFI
Sebutan geografi sebagai ilmu pengetahuan cukup banyak, antara lain: i). Geografi sebagai ilmu holistik yang mempelajari fenomena di permukaan bumi secara utuh menyeluruh, ii) geografi adalah ilmu analitis dan sintesis, yang memadukan unsur lingkungan fisikal dengan unsur manusia dan iii). geografi adalah ilmu wilayah yang mempelajari sumberdaya wilayah secara komprehensif. Tiga sebutan geografi tersebut yang menjadi landasan untuk membahas kajian geografi yang mampu merespon permalasalahan lingkungan yang berdimensi lokal hingga global. Pertanyaan pemandu untuk mengetahui ruang lingkup kajian Geografi pada umumnya adalah:
1) Apa (what),
2) Dimana (where),
3) Berapa (how long/how much),
4) Mengapa (why),
5) Bagaimana (how),
6) Kapan (when),
7) Siapa (who) (Widoyo Alfandi, 2001).
Pertanyaan pemandu yang mencerminkan bahwa geografi itu adalah holistik, sintesis dan kewilayahan adalah sebagai berikut:
1) Apa, dimana dan kapan (what, where and when), pertanyaan ini menuntun kita untuk mengetahui fenomena geografis dan distribusi spasialnya pada suatu wilayah, serta kapan terjadinya;
2) Bagaimana dan mengapa ( how and why), pertanyaan ini bersifat analitis untuk mengetahui sistem, proses, perilaku, ketergantungan, organisasi spasial dan interaksi antar komponen pembentuk geosfer;
3) Apakah dampaknya (what is the impact), pertanyaan bersifat analistis, sintesis untuk mengevaluasi fenomena geografi yang mengalami perubahan baik oleh proses alam maupun oleh hasil interaksi antara manusia dengan lingkungan alamnya;
4) Bagaimana seharusnya (how ought to ), pertanyaan ini menjurus ke sintesis dan evaluasi untuk pemecahan permasalahan lingkungan suatu wilayah dan memberikan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya dan lingkungan.
Pertanyaan pemandu pertama dalam geografi yang umum tersebut dapat digunakan untuk proses pembelajaran pada tingkat manapun dengan memperhatikan tingkat kedalaman atau kedetilannya. Pertanyaan pemandu yang kedua dapat ditujukan untuk jenjang pendidikan pada perguruan tinggi, dengan asumsi bahwa wawasan dan penalaran mahasiswa lebih mantap.
3. KONSEP GEOGRAFI
Berikut ini disampaikan beberapa konsep geografi yang dapat dijadikan pegangan untuk menentukan kompetensi geograf.
1). Geografi menduduki tempat yang jelas dalam dunia pendidikan, geografi menawarkan kajian terpadu dari hubungan timbal balik antara masyarakat manusia dengan komponen fisikal dari bumi.
2). Disiplin geografi dicirikan oleh subyek material yang luas, yang secara tradisional terdiri dari dari geografi manusia dan geografi fisik.
3). Komponen pengetahuan alam dan sosial dalam geografi tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, dan tidak ada disiplin ilmu lain yang memadukannya seperti yang dilakukan oleh geograf.
4). Geografi mempelajari interelasi dan interdependensi dari dunia nyata dari fenomena dan proses yang memberikan ciri khas pada suatu wilayah.
5). Obyek kajian geografi adalah geosfer yang terdiri dari atmosfer, litosfer, pedosfer, hidrosfer, biosfer dan antroposfer; masing-masing sfera tersebut saling terkait membentuk sistem alami.
6). Obyek kajian geografi tersebut juga menjadi kajian bidang ilmu lainnya, yang menjadi pembeda adalah pendekatan yang digunakan; pendekatan yang dimaksud adlah pendekatan spasial (keruangan), ekologikal dan kompleks wilayah.
7). Geografi mempelajari wilayah secara utuh menyeluruh tentang sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, sehingga mempunyai peran penting dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dalam rangka otonomi daerah.
8). Geografi mempelajari proses perubahan lingkungan alam maupun lingkungan sosial ekonomi, sehingga pelajaran geografi memberi bekal untuk tanggap terhadap isu-isu dan perubahan lokal, regional dan global.
9). Peta merupakan salah alat utama dalam kajian geografi dan juga merupakan salah satu hasil utama dalam kajian geografi.
10).Perkembangan pesat dari ilmu dan teknik penginderaan jauh dan sistem informasigeografis sangat membantu dalam proses-belajar geografi dan penelitianpenelitian geografis.
4. GEOGRAFI SEBAGAI SATU DISIPLIN: GEOGRAFI TERPADU
Setiap disiplin keilmuan normalnya memiliki satu bidang kajian tertentu, satu asosiasi kerangka teoritik dan pendekatan yang lazim digunakan untuk mengkaji dengan teknik yang sesuai, kesemuanya itu tidak hanya untuk pemahaman tetapi juga untuk penemuan pengetahuan baru dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat manusia. Bagi geografi bidang kajiannya banyak, yang mempunyai metode dan teknik yang berbeda, sehingga tidak mudah untuk mendudukan geografi sebagai satu disiplin. Misalnya geografi fisik yang obyeknya kajiannya atmosfer, litosfer dan hidrosfer, masing-masing mempunyai kerangka teoritik dan pendekatan yang berbeda, demikian juga halnya dengan geografi manusia yang obyeknya: kependudukan, sosial, ekonomi, budaya dan politik. Bagi geografi dimasukkan ke dalam cross-disciplinary link, mirip munculnya sain terpadu, seperi Sain Sistem Bumi ( Earth System Science) dan Sain Keberlanjutan (Sustainability Science), dan bagi geografi subyek kajiannya adalah lingkungan fisikal dan manusia, dengan menggunakan teori dan metodologinya kompleksitas dari unsur muka bumi (Mathews et al,2004).
Kesulitan untuk mendudukan/memposisikan geografi sebagai satu disiplin ilmu, maka ada baiknya apabila geografi itu hanya satu, tidak terpisah-pisah menjadi geografi manusia dan geografi fisik. Geografi yang satu (unifying geography) mempunyai banyak keunggulan dalam berperan ke masa depan, dengan asumsi permasalahan di masa depan sifatnya kompleks dan multi dimensi, yang pemecahannya memerlukan pendekatan terpadu dan holistik. Dalam geografi terpadu tidak berarti kekhususan (spesialisasi) akan hilang, tetapi tetap ada hanya dilandasi oleh konsep geografi yang satu. Bagi spesialisasi geografi fisik, fokus kajian pada komponen lingkungan fisik tetapi harus mengkaitkannya dengan aspek sosial; spesialisasi dalam geografi manusia geografi fisik sebagai latar belakang, sedang yang spesialisasi dalam geografi yang satu fokusnya adalah pemecahan masalah dengan pendekatan geografis secara utuh.
Alasan Untuk Menjadi Geografi Terpadu
1) Satuan (unit) yang lebih besar akan membawa keuntungan yang berarti, akan dan memberikan arah yang jelas dalam pengetahuan dan pemahaman; fokus yang besar dan menyatu dalam Geografi akan memerkuat identitas Geografi dan dapat memberikan masukan dalam kebijakan pembangunan;
2) Satuan (unit) yang lebih besar memberikan makna yang lebih besar bagi mahasiswa dalam, disiplin geografi yang terpisah-pisah tidak menyatu akan membingungkan dalam penyusunan kurikulum. Pada hal geografi menempati posisi tempat yang menonjol dalam mempelajari dunia, yang menawarkan kajian terpadu terhadap hubungan timbalbalik antara manusia dan lingkungan alamnya, sehingga kalau tidak menjadi satu kesatuan maka tidak akan lengkap kajiannya. Satuan yang lebih besar dapat memberikan prioritas dalam pengajaran dan penelitian, yang kesemuannya itu untuk mempromosisikan geografi agar lebih berperan.
3) Satuan yang lebih besar dapat menunjukkan kepada masyarakat tentang kemampuan akademiknya untuk memberikan kontribusi nyata dalam menentukan kebijakan dan memperbaiki pemahaman umum tentang Geografi.
5. KOMPONEN INTI GEOGRAFI
Untuk menuju geografi terpadu (unifying geography) perlu ditegaskan komponen inti Geografi. Matthews, et al., (2004) mengusulkan empat komponen inti Geografi : ruang (space), tempat (place), lingkungan (environment) dan peta (maps).
Ruang menjadi satu konsep dalam inti geografi, yang dapat dipandang sebagai pendekatan spasial-korologikal untuk Geografi. Ruang juga mendominasi Geografi setiap waktu, ketika analisis spatial menjadi satu pendeskripsi untuk satu bentuk dari pekerjaan geografis. Pola spasial umumnya menjadi titik awal untuk kajian geografis; yang selanjutnya dapat dilacak proses perubahan secara spasial dan sistem spasial.
Tempat merupakan komponen kedua dalam inti geografi. Tempat terkait dengan kosep teritorial dalam Geografi dan menunjukkan karakteristik, kemelimpahan dan batas. Tempat merupakan bagian dari dunia nyata tempat manusia bertem dan dapat dikenali, dinterpretasi dan dikelola. Dalam ahli geografi manusia tempat merupakan refleksi dari identitas idividu maupun kelompok; sedang bagi ahli geografi fisik tempat tempat merupakan refleksi dari perbedaan lingkungan biofisik.
Lingkungan merupakan komponen inti Geografi ketiga yang mencakup lingkungan alami (topografi, iklim, air, biota, tanah) dan sebagai komponen inti yang memadukan dengan komponen geografi lainnya. Lingkungan menjadi interface antara lingkungan alam dan budaya, lahan dan kehidupan, penduduk dan lingkungan biofisikalnya.
Peta sebagai komponen inti Geografi keempat lebih merupakan bentuk representasi, tehnik dan metodologi dari pada sebagai satu konsep atau teori. Peta dipandang sebagai pernyerhanaan perpektif spasial dari fenomena/peristiwa yang dikaji dalam Geografi.
Ruang, tempat, lingkungan dan peta menjadi label dari Geografi. Komponen tersebut mempunyai kedudukan yang sama dalam kajian Geografi, baik dalam kajian Geografi Fisik maupun Geografi Manusia. Demikian juga dapat menjadi dasar konsep untuk disiplin Geografi secara utuh.
Komponen inti Geografi tersebut bersifat dinamik, dalam arti dapat terjadi perubahan, yang tergantung karakteristik lingkungan, proses yang berlangsung dan waktu. Oleh sebab itu perlu ada dimensi kualifikasi dari komponen inti geografi tersebut. Dimensi yang dimaksud adalah waktu, proses, keterbukaan dan skala. Sebagai contoh tempat yang terletak di pegunungan yang semula subur menjadi lahan kritis dalam waktu 10 tahun, karena proses erosi dan longsor karena daerahnya terbuka akibat pembalakan hutan di atasnya, yang luasnya melebihi 70%. Komponen inti geografi dan dimensi kualifikasinya tercantum pada Tabel 1.
6. SPESIALISASI DALAM GEOGRAFI TERPADU
Setelah dibahas alasan untuk menjadi geografi terpadu dan komponen esensial inti geografi, kemudian timbul masalah yang terkait dengan spesialisasi dalam geografi terpadu. Spesialisasi dalam geografi tetap dapat eksis , baik spesialisasi dalam intinya maupun periperinya, sedangkan yang berada di luar periperi merupakan disiplin antar bidang yang relatif sedikit berbasis pada inti geografinya (Gambar 1).
Gambar 1. Geografi terpadu, geografi fisik dan geografi manusia, dan spesialisasi geografi dalam hubungannya dengan bidang Geografi periperi dan antar bidang. Sumber Mattews et al., 2004.
Gambar 1 tersebut menunjukkan bahwa spesialisasi dalam Geografi dapat dibedakan menjadi : spesialisasi geografi secara utuh, dalam geografi fisik dan geografi manusia dengan kadar inti geografi relatif lebih sedikit dan spesialisasi antar bidang dengan basis inti geografi lebih kecil lagi.
7. KOMPETENSI DALAM BIDANG GEOGRAFI FISIK
Seseorang yang belajar geografi kompetensi yang dimiliki akan sejalan dengan jenjang pendidikan yang diikuti. Kompetensi ideal bagi orang yang mempelajari geografi tercapai apabila yang bersangkutan belajar hingga perguruan tinggi atau telah menjadi geograf. Berikut ini disampaikan kompetensi ideal bagi orang yang mempelajari geografi hingga perguruan tinggi, namun demikian sebagian dari kompetensi tersebut dapat juga dimiliki oleh orang yang hanya mempelajari geografi dalam jenjang pendidikan tertentu saja (Sutikno, 2002).
Kompetensi Dalam Pengertian dan Pemahaman
Setelah mempelajari geografi seseorang diharapkan memperoleh pengertian dan pemahaman sebagai berikut:
Hubungan timbal balik antara aspek fisik dan manusia dari lingkungan dan bentanglahan;
Konsep variasi spasial;
1. Perbedaan utama dari wilayah /daerah tertentu yang selalu mengalami perubahan akibat proses: fisik, lingkungan, biotik, sosial, ekonomi dan budaya;
2. Konsepsualisasi terhadap pola, proses, interaksi dan perubahan lingkungan, sebagai suatu sistem dengan skala yang bervariasi;
3. Kekritisan terhadap aspek spasial dan temporal dari proses-proses fisikal, manusia dan interaksinya;
4. Perubahan yang terus terjadi pada komponen lingkungan fisik dan manusia, termasuk interaksi dan interdependensinya;
5. Perbedaan menurut ruang, tempat dan waktu dalam masyarakat manusia;
6. Sifat dari disiplin ilmu itu dinamik, prural dan bersaing;
7. Cara representasi data geografi: aspek fisik maupun aspek manusianya;
8. Strategi dalam analisis dan interpretasi informasi geografis;
9. Metode penelitan geografis: observasi, survai, pengukuran lapangan, analisis laboratorium, analisis kuantitatif dan kualitatif;
10. Aplikasi konsep dan teknik geografi untuk pemecahan masalah, kesejahteraan manusia, perbaikan lingkungan hidup, perencanaan perkotaan, kebencanaan alam, keberlanjutan dan konservasi.
Kompetensi Dalam Keahlian/Ketrampilan Praktis
Pendidikan geografi dapat memberikan keahlian praktis dalam bidang/hal berikut:
1. Mampu melakukan perencanaan, perancangan dan pelaksanaan riset, termasuk penyusunan laporan akhir;
2. Mampu melaksanakan kerja lapangan yang efektif, dalam konteks keamanan dan keselamatan;
3. Mampu melakukan kerja laboratoris dengan aman dengan memperhatikan prosedur baku;
4. Mampu melaksanakan survai dan metode penelitian untuk pengumpulan, analisis dan pemahaman informasi aspek manusia;
5. Mampu melakasanakan variasi teknik dan metode analisis laboratorium untuk pengumpulan dan analisis data spasial dan informasi lingkungan;
6. Mampu mengkombinasikan dan menginterpretasikan kejadian geografis yang berbeda tipenya;
7. Mampu mengenali isu-isu moral dan etika yang diperdebatkan.
Kompetensi Dalam Keahlian/Ketrampilan Kunci ( Key Skills)
Siswa /mahasiswa geografi harus mengembangkan kemampuan sebagai berikut:
1. Belajar dan mengkaji,
2. Komunikasi tertulis,
3. Presentasi data geografis,
4. Penilaian dan perhitungan,
5. Kesadaran spasial dan observasi,
6. Keja lapangan dan laboratoris,
7. Tehnologi informasi,
8. Penanganan dan penyimpanan data/informasi,
9. Situasi personal, kerja sama
Uraian tersebut menujukkan bahwa pembelajaran geografi penuh dengan kandungan kompetensi khususnya dalam aspek spasial, lingkungan dan kewilayahan dari sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya binaan. Kompetensi yang disebutkan di atas kurang spesifik dalam artian praktis atau terapannya, berikut ini disampaikan kompetensi Geografi Fisik yang lebih aplikatif antara lain:
1. Survey komponen lingkungan fisikal: cuaca, iklim, geomorfologi, tanah, hidrologi dan biogeografi;
2. Inventarisasi dan evaluasi potensi sumberdaya alam;
3. Mitigasi dan evaluasi bahaya dan bencana alam;
4. Evaluasi risiko bahaya/bencana alam;
5. Penataan ruang dari aspek fisikalnya
6. Pengeolaan sumberdaya alam,
7. Konservasi sumberdaya alam,
8. Penilaian degradasi lingkungan,
9. Pengelolaan daaerah aliran sungai.
8. PENUTUP
Geografi terpadu lebih sesuai untuk dikembangkan di Indonesia ke depan, mengingat kondisi lingkungan alamnya sangat bervariasi dan berpenduduk padat dengan banyak etnik, sehingga banyak permasalahan lingkungan yang perlu penanganan secara terpadu.
Geografi sebagai disiplin ilmu perlu label komponen inti Geografi, yang terdiri dari ruang, tempat, lingkungan dan peta, dengan dimensi kualifikasi waktu, proses, keterbukaan dan skala.
Dalam geografi terpadu spesialisasi tetap eksis, yang meliputi spesialisasi inti, periperi dan antar bidang; baik dalam bidang kajian geografi manusia maupun geografi fisik.
REFERENSI
Bintarto, 1981. Suatu Tijauan Filsafat Geografi. Seminar Peningkatan Relevansi Metode
Penelitian Geografi. Fakultas Geogari UGM. Yogyakarta 24 Oktober 1981.
Matthews J. A; D. T. Herbert. 2004. Unifying Geography. Common heritage, share future.London: Routlege. Taylor&Francis Group.
Widoyo Alfandi. 2001. Epistemologi Geografi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sutikno. 2002. Peran Geografi dalam Pemberdayaan Sumberdaya Wilayah. Makalah dipresentasikan dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan dan Kongres Ikatan Geograf Indonesia di UPI Bandung tanggal 28-29 Oktober 2002.
Peranan Sistem Informasi Geografis Kesehatan dalam Bencana
Apr 5, '08 5:45 AM
for everyone
Akhir-akhir ini, Indonesia berbagai bencana bertubi-tubi menimpa Indonesia. Sebelum tsunami di Aceh, berbagai bencana alam seperti banjir, longsor, kebakaran hutan, gunung meletus, kekeringan, gempa bumi maupun tsunami juga pernah menimpa beberapa bagian di Indonesia. Selain bencana alam, Indonesia juga langganan dengan kejadian luar biasa seperti demam berdarah, dan akhir-akhir ini, semua orang meributkan tentang polio. Jika menilik definisi bencana (disaster) menurut WHO, kita akan menemukan definisi yang menarik. Bencana dapat didefinisikan sebagai setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena. Hal ini mengimplikasikan bahwa KLB pun dapat dikateogrikan sebagai suatu bencana.
Upaya penganggulangan bencana secara umum meliputi 2 hal yaitu, pre-disaster dan post-disaster. Seperti kita ketahui, upaya penanggulangan post disaster akan membutuhkan biaya serta alokasi sumber daya yang sangat besar. Upaya penanggulangan ini akan semakin besar lagi apabila masyarakat dan negara tidak memiliki sistem manajemen pre disaster yang baik. Oleh karena itu saat ini digalakkan penyadaran pentingnya emergency preparedness sebagai suatu program jangka panjang yang bertujuan untuk memperkuat kapasitas dan kemampuan bangsa untuk me-manage semua jenis bencana serta memulihkan keadaan pasca bencana hingga ke kondisi pengembangan berkelanjuntan.
Peran sistem informasi geografis kesehatan dalam manajemen bencana
Sistem informasi geografis merupakan penggunaan teknologi informasi untuk mengumpulkan, mengolah, dan memvisualisasikan data spatial serta data tabular lain. Penerapan pertama kali sistem informasi geografis dipelopori oleh John Snow ketika membuat peta pompa air pada saat wabah kolera pada abad 19. Semenjak era komputer dan Internet, SIG semakin populer dan terjangkau.
Perangkat lunak sistem informasi geografis tersedia secara komersial (misalnya, ArcView, MapInfo dll) maupun gratis (Epimap, dll). Pengalaman menunjukkan bahwa pengembangan sistem informasi geografis di Indonesia telah menginvestasikan cukup tinggi untuk pembelian perangkat lunak komersial. Di sisi lain, beberapa perangkat lunak gratis seperti Epimap tersedia, tetapi jarang dikupas. Selain itu, banyak yang mengungkapkan bahwa tidak semua praktisi kesehatan masyarakat harus menggunakan perangkat lunak sistem informasi geografis yang mahal, karena sebagian besar aplikasi di kesehatan masyarakat lebih banyak untuk pengembangan peta tematik.
Analisis sistem informasi geografis yang lebih canggih, seperti disease clustering, maupun disease modelling memang harus menggunakan perangkat komersial. Epi Info 3.3.2 merupakan perangkat lunak yang sangat populer untuk epidemiologi yang dilengkapi dengan modul Epimap untuk SIG. Selain itu, WHO juga memiliki Healthmap.
Sistem informasi geografis memiliki peran penting dalam siklus manajemen bencana, mulai dari pencegahan, mitigasi, tanggap darurat hingga rehabilitasi. Peta merupakan salah satu cara terbaik untuk memvisualisasikan hasil penilaian kerawanan (vulnerabilitas). Peta dapat memadukan dimensi keruangan (spasial), karakteristik dari hazard serta berbagai informasi lainnya seperti gambaran lingkungan maupuan data masyarakat yang relevan.
Costa Rica’s Integrated Emergency Information System merupakan salah satu contoh penerapan system informasi geografis dalam setiap siklus manajemen bencana. Sistem ini memiliki database yang cukup penting bagi proses perencanaan yaitu peta tentang bencana alam dan manusia serta inventory sumber daya strategis untuk kesiapan, tanggap serta rehabilitasi bencana. Saat ini, Badan Meteorologi dan Geofisika memiliki peta interaktif yang memuat informasi mengenai bencana yang cukup update. Peta yang terdapat di Internet tersebut menampilkan titik lokasi 30 gempa terakhir, skala gempa, waktu kejadian, serta posisinya (latitude dan longitude).
Pada saat dan setelah bencana terjadi, berbagai aktivitas kesehatan harus dilakukan untuk mengatasi masalah kesehatan para korban serta mencegah memburuknya derajat kesehatan masyarakat yang terkena bencana. Pada tahapan tanggap darurat, energi yang cukup besar biasanya dicurahkan untuk evakuasi korban. Kegiatan lain yang juga sudah harus dimulai segera meliputi kesehatan lingkungan, surveilans dan pemberantasan penyakit, pelayanan kesehatan serta distribusi logistik kesehatan dan bahan makanan. Problem yang seringkali terjadi kemudian adalah persoalan manajemen dan koordinasi kegiatan serta sumber daya. Alokasi tenaga kesehatan, obat-obatan dan bahan makanan memerlukan informasi yang akurat mengenai jumlah populasi dan lokasi penampungan korban.
Setiap bencana memerlukan tindakan prioritas dan kebutuhan informasi yang relatif berbeda. Prioritas tindakan dan kebutuhan informasi pada waktu bencana gempa bumi akan berbeda dengan bencana banjir (lihat gambar 1 dan 2). Namun secara umum, informasi yang dibutuhkan pada waktu penanganan bencana adalah: (1) wilayah serta lokasi geografis bencana dan perkiraan populasi, (2)status jalur transportasi dan sisem komunikasi, (3)ketersediaan air bersih, bahan makanan, fasilitas sanitasi dan tempat hunian, (4)jumlah korban, (5)kerusakan, kondisi pelayanan, ketersediaan obat-obatan, peralatan medis serta tenaga di fasilitas kesehatan, (6)lokasi dan jumlah penduduk yang menjadi pengungsi dan (7) estimasi jumlah yang mennggal dan hilang. Pada tahap awal, tindakan kemanusiaan dan pengumpulan informasi dilakukan secara simultan. Pengumpulan data harus dilakukan secara cepat untuk menentukan tindakan prioritas yang harus dilakukan oleh manajemen bencana.
Penggunaan Global Positioning Systems (GPS) berperan penting dalam menentukan lokasi kamp pengungsi maupun fasilitas kesehatan. Data tersebut dapat digabungkan dengan data spatial dari satelit. Pada awal kejadian tsunami di Aceh, gambar satelit dari Quick Birds sangat bermanfaat untuk mengestimasikan cakupan bencana serta perkiraan sarana transportasi yang rusak. Data spatial tersebut selanjutnya digabungkan dengan informasi mengenai jumlah maupun distribusi pengungsi, ketersediaan air bersih serta bahan makanan akan memberikan masukan penting bagi koordinasi dan manajemen pada fase tanggap darurat.
Proses pengumpulan data dan informasi akan menjadi lebih mudah jika informasi dasar tersedia. Sayangnya, inilah kelemahan di negara kita. Informasi spasial yang lengkap mengenai suatu wilayah kadang-kadang sulit diperoleh. Pada waktu tim UGM berangkat ke Aceh, satu-satunya peta digital yang dimiliki berasal dari BPS tahun 2000 yang waktu hanya mencakup 20 kabupaten (tidak termasuk kabupaten pemekaran). Akhirnya, peta digital yang lengkap justru diperoleh dari komunitas RSGISForum (remote sensing and GIS forum) yang menyediakan peta digital aceh di Internet.
Oleh karena itu, peranan GIS untuk manajemen bencana akan lebih optimal jika sudah dikembangkan sebagai bagian dari pre-disaster plan. Hal inilah yang sekarang sedang dicoba bekerjasama WHO dengan membuat layer dasar fasilitas kesehatan. UGM saat ini sudah menyelesaikan peta fasilitas kesehatan di Aceh dan Jogjakarta. Kegiatan yang sekarang sedang berjalan adalah di Jawa Tengah dan Sumatera Utara. Pengumpulan data fasilitas kesehatan tersebut relatif lebih mudah dan dapat dilakukan sendiri oleh tenaga kesehatan. Langkah selanjutnya adalah menggabungkan informasi spasial tersebut dengan data yang berasal dari sektor lain seperti, jalur komunikasi dan topografi, jumlah dan distribusi penduduk, serta daerah dan lokasi rawan bencana.
Upaya pengembangan ke depan
Sharing informasi merupakan kata kunci di era netwroking seperti saat ini. Hasil pemetaan fasilitas kesehatan yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada diletakkan di server Pusdatin (yang dapat diakses di http://map.depkes.go.id) yang saat ini memiliki infrastruktur server Internet yang cukup memadai.
Untuk menjamin sustainabilitas, pengembangan sistem informasi geografis memerlukan dua hal:
Investasi untuk pengembangan. Investasi ini diperlukan untuk pengadaan perangkat lunak, perangkat keras, pengumpulan sumber data, serta pelatihan bagi perancang serta pengguna sistem informasi geografis (SDM)
Updating. Sistem informasi geografis yang hanya mengumpulkan data sewaktu tidak akan bermanfaat banyak. Oleh karena itu, langkah yang terpenting adalah proses updating. Hal ini memerlukan kerjasama lintas sektoral serta fasilitas networking yang memungkinkan updating secara paralel. Dengan adanya Internet, mekanisme updating akan menjadi lebih mudah. Hal inilah yang mendorong populernya perkembangan webmapping (pemetaan di Internet)
Informasi mengenai fasilitas kesehatan merupakan layer pertama dalam tampilan webmapping tersebut. Langkah selanjutnya adalah melengkapi dengan berbagai layer lainnya, seperti indikator kesehatan, faktor risiko (lingkungan), sumber daya kesehatan. Akan tetapi, penerapan webmapping tersebut sebenarnya merupakan tingkatan tertinggi karena berasal dari berbagai data di level di bawahnya, khususnya kabupaten dan propinsi serta berbagai unit di departemen kesehatan. Oleh karena itu, pengembangan sistem informasi geografis di tingkat kabupaten dan propinsi sebaiknya menjadi bagian penting dalam pengemabangan sistem informasi kesehatan daerah.
Pengalaman menunjukkan bahwa, meskipun upaya pengembangan sistem informasi geografis di sektor kesehatan sudah dirintis sejak lama, khususnya untuk pemberantasan dan pencegahan penyakit menular. Namun, hingga saat ini dampak dan manfaatnya belum terasa. Semoga dengan semakin meningkatnya kesadaran kita terhadap bencana, sistem informasi geografis bukan lagi menjadi sesuatu yang eksklusif dan dimiliki oleh kalangan tertentu saja, tetapi menajdi bagian dari sistem kesehatan dalam setiap pengambilan keputusan.
Senin, 15 Maret 2010
PERAN ILMU GEOGRAFI DALAM MINIMISASI AKIBAT KENAIKAN PARAS LAUT DAN BANJIR DAMPAK PEMANASAN GLOBAL
PERAN ILMU GEOGRAFI DALAM
MINIMISASI AKIBAT KENAIKAN PARAS LAUT DAN BANJIR
DAMPAK PEMANASAN GLOBAL
Oleh
Ignas. Suban Angin
Staf Pengajar Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Keguruan dan IImu Pendidikan Universitas Nusa Cendana Kupang
ABSTRAK
Pemanasan global (global warming) pada dasamya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (C02), metana (CH4) , dinitrooksida (N20) dan Chlorofluorocarbon (CFC) sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Fenomena ini mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik dan aktivitas sosial-ekonomi masyarakat. Ada beberapa skenario dapat terjadi dengan naiknya paras laut: meningkatnya erosi pantai, banjir di wilayah pesisir yang lebih buruk, terbenamnya wilayah lahan basah pesisir, perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan hutan mangrove, meluasnya intrusi air laut, perubahan lokasi penumpukan sedimen dari sungai, tenggelamnya terumbu karang. Selain itu terjadi ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir.llmu Geografi mengkaji fenomena permukaan bumi, yaitu ruang di permukaan bumi yang terbentuk oleh unsur-unsur geosfer (atmosfer, litosfer, pedosfer, hidrosfer, biosfer, dan antroposfer) yang berupa wilayah, dipelajari dengan menggunakan pendekatan spasial (keruangan), ekologis, dan kompleks wilayah. Makalah ini bertujuan untuk mengkaji peran ilmu geografi dalam minimisasi dampak pemanasan global berupa kenaikan paras air laut (sea level rise) dan banjir. IImu geografi mempelajari wilayah secara utuh menyeluruh mempunyai peran dalam menentukan kerangka kebijakan makro dan mikro operasional yang strategis dalam penataan ruang Daerah Aliran Sungai dan wilayah pesisir terpadu dan berkelanjutan, dengan menggunakan ketiga pendekatan ilmu geografi.
Kata-Kata kunci: IImu Geografi, pemanasan global. kenaikan paras air laut, banjir
PENDAHULUAN
Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (C02), metana (CH4), dinitrooksida (N20) dan Chlorofluorocarbon (CFC) sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global, termasuk Indonesia yang terjadi pada kisaran 1,5°- 40° C pada akhir abad 21. Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik
* Makalah disajikan pada Seminar Nasional dan PIT XI Ikatan Geograf Indonesia (IGI). Kerjasama IGI Pusat dengan IGI Wilayah Sumatera Barat. Jurusan Geografi Fakultas Imu Sosial Universitas Negeri Padang. Padang 22-23 November 2008.
seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb. Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial¬ekonomi masyarakat meliputi: ganggu~n terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara gangguan terhadap permukiman penduduk, pengurangan produktivitas lahan pertanian, peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb. Makalah ini bertujuan untuk mengkaji peran ilmu geografi dalam minimisasi dampak pemanasan global berupa kenaikan paras air laut (sea level rise) dan banjir.
ILMU GEOGRAFI
IImu Geografi mempelajari fenomena permukaan bumi, yaitu ruang di permukaan bumi yang terbentuk oleh unsur-unsur geosfer (Iitosfer, atmosfer, hidrosfer, pedosfer, biosfer, dan antroposfer), yang berupa wilayah dan isinya, dipelajari dengan pendekatan spasial (keruangan), ekologi (kelingkungan), dan kompleks wilayah (kewilayahan), untuk keperluan pengelolaan wilayah secara optimal dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kelangsungan hidup umat manusia. Obyek material ilmu geografi adalah fenomena permukaan bumi. Fenomena permukaan bumi merupakan suatu perwujudan atau face permukaan bumi yang dibentuk oleh unsur-unsur geosfer, dan terwujud dari hasil hubungan, interaksi dan interdependensi antara unsur-unsur geosfer. Ruang di permukaan bumi atau wilayah sebagai fenomena permukaan bumi dapat terbentuk mulai dari yang sederhana hingga yang kompleks. Geosfer merupakan substansi yang menyelubungi bumi mulai dari atmosfer, litosfer, hidrosfer, pedosfer, biosfer, dan antroposfer. Unsur geosfer terdiri atas (1) litosfer atau batuan terluar dari bumi, yakni kulit bumi; (2) atmosfer, yakni udara yang meliput bumi; (3) hidrosfer, adalah air yang menyelubungi bumi; (4) pedosfer, tanah yang menyelubungi bumi baik di darat maupun di laut; (5) biosfer, adalah makhluk hidup baik tetumbuhan maupun hewan; (6) antroposfer, masyarakat manusia dengan segala aspek dan aktivitasnya yang menghuni bumi. Obyek formal ilmu geografi adalah pendekatan spasial, ekologis, dan kompleks wilayah. Pendekatan ilmu geografi bermakna suatu cara berpikir dan melihat kompleksitas fenomena permukaan bumi dalam konteks ruang, lingkungan, dan wilayah.
IImu geografi dengan obyek kompleksitas fenomena atau gejala permukaan bumi menggunakan pendekatan spasial, ekologi, dan kompleks wilayah. Pendekatan spasial (keruangan) merupakan suatu kajian untuk mempelajari fenomena permukaan bumi dengan. menggunakan ruang sebagai media untuk analisis. Dimensi spasial yang dimunculkan lebih menonjolkan sebaran, pola, struktur, organisasi, proses, tendensi, asosiasi, interaksi, asosiasi, komparasi dan sinergis elemen-elemen fenomena permukaan bumi. yang dibentuk oleh unsur-unsur geosfer yang berupa wilayah dan potensinya. Penekanan pendekatan spasial adalah pembandingan kekhasan lokasional ruang. Pendekatan ini akan memperhatikan unsur jarak, pola, site dan situation, aksesibiltas dan keterkaitan.
Berbeda dari pendekatan spasial yang bertolak dari perbedaan fenomena permukaan bumi yang terbentuk oleh unsur-unsur geosfer (Iitosfer, atmosfer, hidrosfer, pedosfer, biosfer, dan antroposfer) dari satu tempat ke tempat lainnya, pendekatan ekologi memandang rangkaian fenomena permukaan bumi dalam satu kesatuan ruang. Fenomena permukaan bumi membentuk satu rangkaian yang saling berkaitan (sinergis) dalam sebuah ekosistem dengan manusia sebagai unsur utama. Penekanan utama pendekatan ekologi adalah mengelaborasi secara lebih intens tentang keterkaitan elemen-elemen lingkungan dengan manusia dan matra kehidupannya. Ada beberapa tema yang dikembangkankan dalam pendekatan ekologi yaitu keterkaitan antara manusia (perilaku, persepsi) dengan elemen-elemen lingkungan geografi dan keterkaitan antara kearifan lokal, guyub tutur masyarakat dengan elemen-elemen lingkungan geografi (unsur fisik, unsur manusia, dan aksesibiltas).
Pendekatan kompleks wilayah merupakan kombinasi pendekatan spasial, dan pendekatan ekologi. Pendekatan kompleks wilayah didasarkan pad a pemahaman yang mendalam mengenai keberadaan suatu wilayah sebagai suatu sistem, di mana di dalamnya terdapat banyak sekali subsistem dan elemen¬
elemen wilayah yang saling berkaitan (sinergis). Keterkaitan tersebut dapat berbentuk keterkaitan mempengaruhi, keterkaitan saling mempengaruhi, keterkaitan tergantung, dan keterkaitan saling tergantung.
DAMPAK KENAIKAN PARAS AIR LAUT DAN BANJIR TERHADAP KONDISI
LINGKUNGAN BIO-GEOFISIK DAN SOSIAL-EKONOMI MASYARAKAT
Kenaikan paras air laut seear:a umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut : (a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan hutan mangrove, (e) meluasnya intrusi air laut, (d) aneaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau keeil. Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang aeak dan musim hujan yang pendek sementara eurah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia
Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir meneapai 2 juta mil persegi. Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan paras air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.
Kenaikan paras air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang pada sa at ini saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove :f: 50% dari total luasan semula. Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, peneemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture pun akan teraneam dengan sendirinya.
Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara.
Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah : (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera ; (b) genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua; (c) hilangnya lahan-Iahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih 'buram' apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional, dan (d) penurunan produktivitas lahan pad a sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia. Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya pulau¬pulau kecil yang dapat mencapai angka 2.000 hingga 4.000 pulau, tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran' garis pantai sejauh 25 meter, pad a akhir abad 21 lahan pesisir yang hilang mencapai 202.500 hektar.
Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran maupun akibat penggundulan. Data yang dihimpun dari The Georgetown - International Environmental Law Review (1999) menunjukkan bahwa pad a kurun waktu 1997 - 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan akibat pengaruh EI Nino. Bahkan \NWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5 juta hektar pad a periode yang sama. Apabila tidak diambil langkah-Iangkah yang tepat maka
kerusakan hutan, khususnya yang berfungsi lindung, akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir , serta memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang.
PERAN ILMU GEOGRAFI DALAM MINIMISASI AKIBAT KENAIKAN PARAS LAUT DAN BANJIR SEBAGAI DAMPAK PEMANASAN GLOBAL
IImu geografi mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan,
khususnya pembangunan yang berbasis wilayah. Tugas utama seorang geograf adalah mengidentifikasi masalah wilayah, mengenali faktor-faktor lingkungan hidup yang saling berpengaruh langsung maupun tidak langsung, mengidentifikasi hubungan antar variabel yang berpengaruh dan menentukan munculnya masalah wilayah, mengidentifikasi dampak negatif maupun positif dari masalah yang timbul baik pada saat ini maupun saat yang akan datang, dan akhirnya menemukan alternatif pemecahannya baik secara preventif, kuratif maupun inovatif.
Dengan memperhatikan dampak pemanasan global yang memiliki skala nasional dan dimensi waktu yang berjangka panjang, IImu geografi mempelajari wilayah secara utuh menyeluruh mempunyai peran dalam menentukan kerangka kebijakan makro dan mikro operasional yang strategis dalam penataan ruang wilayah pesisir dan Daerah Aliran Sungai secara terpadu dan berkelanjutan, dengan menggunakan ketiga pendekatan ilmu geografi.
Dalam upaya mengantisipasi dampak kenaikan paras air laut dan banjir maka perlu dilakukan rencana tata ruang wilayah pesisir dan daerah aliran sungai. Selain antisipasi yang bersifat makro-strategis tersebut, diperlukan pula antisipasi dampak kenaikan muka air laut dan banjir yang bersifat mikro-operasional. Pad a tataran mikro, pengembangan kawasan budidaya pada kawasan pesisir selayaknya dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa alternatif sebagai berikut. Pertama, relokasi, alternatif ini dikembangkan apabila dampak ekonomi dan lingkungan akibat kenaikan muka air laut dan banjir sangat besar sehingga kawasan budidaya perlu dialihkan lebih menjauh dari garis pantai. Dalam kondisi ekstrim, bahkan, perlu dipertimbangkan untuk menghindari sama sekali kawasan¬kawasan yang memiliki kerentanan sangat tinggi. Kedua, akomodasi, alternatif ini bersifat penyesuaian terhadap perubahan alam atau resiko dampak yang mungkin te~adi seperti reklamasi, peninggian bangunan atau perubahan agriculture menjadi budidaya air payau (aquaculture) ; area-area yang tergenangi tidak terhindarkan, namun diharapkan tidak menimbulkan ancaman yang serius bagi keselamatan jiwa, asset dan aktivitas sosial-ekonomi serta lingkungan sekitar. Ketiga, proteksi,
alternatif ini memiliki dua kemungkinan, yakni yang bersifat hard structure seperti pembangunan penahan gelombang (breakwater) atau tanggul banjir (seawalls) dan yang bersifat soft structure seperti revegetasi mangrove atau penimbunan pasir (beach nourishment). Walaupun cenderung defensif terhadap perubahan alam, alternatif ini perlu dilakukan secara hati-hati dengan tetap mempertimbangkan proses alam yang te~adi sesuai dengan prinsip "working with nature". Sedangkan untuk kawasan lindung, prioritas penanganan perlu diberikan untuk sempadan pantai, sempadan sungai, mangrove, terumbu karang, suaka alam margasatwa/cagar alam/habitat flora-fauna, dan kawasan-kawasan yang sensitif secara ekologis atau memiliki kerentanan tinggi terhadap perubahan alam atau kawasan yang bermasalah. Untuk pulau-pulau kecil maka perlindungan perlu diberikan untuk pulau-pulau yang memiliki fungsi khusus, seperti tempat transit fauna, habitat flora dan fauna langka/dilindungi, kepentingan hankam, dan sebagainya. Agar prinsip keterpaduan pengelolaan pembangunan kawasan pesisir benar-benar dapat diwujudkan, maka pelestarian kawasan lindung pada bagian hulu, khususnya hutan tropis perlu pula mendapatkan perhatian. Hal ini penting agar laju pemanasan global dapat dikurangi, sekaligus mengurangi peningkatan skala dampak pad a kawasan pesisir yang berada di kawasan hilir.
PENUTUP
Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik dan aktivitas sosial-ekonomi masyarakat. Kenaikan paras air laut secara umum akan mengakibatkan meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan hutan mangrove, meluasnya intrusi air laut, ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil. Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh te~adinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat te~adinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat.
Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi: gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara
gangguan terhadap permukiman penduduk, pengurangan produktivitas lahan pertanian, peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb.
IImu geografi mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan,
khususnya pembangunan yang berbasis wilayah. Tugas utama seorang geograf adalah mengidentifikasi masalah wilayah, mengenali faktor-faktor lingkungan hidup yang saling berpengaruh langsung maupun tidak langsung, mengidentifikasi hubungan antar variabel yang berpengaruh dan menentukan munculnya masalah wilayah, mengidentifikasi dampak negatif maupun positif dari masalah yang timbul baik pada saat ini maupun sa at yang akan datang, dan akhirnya menemukan alternatif pemecahannya baik secara preventif, kuratif maupun inovatif.
Dalam upaya mengantisipasi dampak kenaikan paras air laut dan banjir maka perlu dilakukan rencana tata ruang wilayah pesisir dan daerah aliran sungai. Selain antisipasi yang bersifat makro-strategis tersebut, diperlukan pula antisipasi dampak kenaikan muka air laut dan banjir yang bersifat mikro-operasional. Pada tataran mikro, pengembangan kawasan budidaya pada kawasan pesisir selayaknya dilakukan dengan relokasi, akomodasi, dan proteksi.
DAFTAR PUSTAKA
Angin, Ignas. Suban., 2008, Tinjauan Filosofis Sains Geografi, Makalah Seminar Nasional Filsafat Sains Geografi, Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta 12 Juli 2008.
Dibyosaputro, Suprapto,2008, Aksi%gi Geografi Fisik, Makalah Seminar Nasional
Filsafat Sains Geografi, Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta 12 Juli 2008.
Sutikno, 2007, Peran IImu Geografi Dalam Era Otonomi Daerah dan Globalisasi, Makalah Seminar Nasional Peluang dan Tantangan Geograf Dalam Era Otonomi Daerah dan Globalisasi, Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Keguruan dan IImu Pendidikan Universitas Nusa Cendana, Kupang 31 Oktober 2007.
MINIMISASI AKIBAT KENAIKAN PARAS LAUT DAN BANJIR
DAMPAK PEMANASAN GLOBAL
Oleh
Ignas. Suban Angin
Staf Pengajar Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Keguruan dan IImu Pendidikan Universitas Nusa Cendana Kupang
ABSTRAK
Pemanasan global (global warming) pada dasamya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (C02), metana (CH4) , dinitrooksida (N20) dan Chlorofluorocarbon (CFC) sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Fenomena ini mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik dan aktivitas sosial-ekonomi masyarakat. Ada beberapa skenario dapat terjadi dengan naiknya paras laut: meningkatnya erosi pantai, banjir di wilayah pesisir yang lebih buruk, terbenamnya wilayah lahan basah pesisir, perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan hutan mangrove, meluasnya intrusi air laut, perubahan lokasi penumpukan sedimen dari sungai, tenggelamnya terumbu karang. Selain itu terjadi ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir.llmu Geografi mengkaji fenomena permukaan bumi, yaitu ruang di permukaan bumi yang terbentuk oleh unsur-unsur geosfer (atmosfer, litosfer, pedosfer, hidrosfer, biosfer, dan antroposfer) yang berupa wilayah, dipelajari dengan menggunakan pendekatan spasial (keruangan), ekologis, dan kompleks wilayah. Makalah ini bertujuan untuk mengkaji peran ilmu geografi dalam minimisasi dampak pemanasan global berupa kenaikan paras air laut (sea level rise) dan banjir. IImu geografi mempelajari wilayah secara utuh menyeluruh mempunyai peran dalam menentukan kerangka kebijakan makro dan mikro operasional yang strategis dalam penataan ruang Daerah Aliran Sungai dan wilayah pesisir terpadu dan berkelanjutan, dengan menggunakan ketiga pendekatan ilmu geografi.
Kata-Kata kunci: IImu Geografi, pemanasan global. kenaikan paras air laut, banjir
PENDAHULUAN
Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (C02), metana (CH4), dinitrooksida (N20) dan Chlorofluorocarbon (CFC) sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global, termasuk Indonesia yang terjadi pada kisaran 1,5°- 40° C pada akhir abad 21. Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik
* Makalah disajikan pada Seminar Nasional dan PIT XI Ikatan Geograf Indonesia (IGI). Kerjasama IGI Pusat dengan IGI Wilayah Sumatera Barat. Jurusan Geografi Fakultas Imu Sosial Universitas Negeri Padang. Padang 22-23 November 2008.
seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb. Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial¬ekonomi masyarakat meliputi: ganggu~n terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara gangguan terhadap permukiman penduduk, pengurangan produktivitas lahan pertanian, peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb. Makalah ini bertujuan untuk mengkaji peran ilmu geografi dalam minimisasi dampak pemanasan global berupa kenaikan paras air laut (sea level rise) dan banjir.
ILMU GEOGRAFI
IImu Geografi mempelajari fenomena permukaan bumi, yaitu ruang di permukaan bumi yang terbentuk oleh unsur-unsur geosfer (Iitosfer, atmosfer, hidrosfer, pedosfer, biosfer, dan antroposfer), yang berupa wilayah dan isinya, dipelajari dengan pendekatan spasial (keruangan), ekologi (kelingkungan), dan kompleks wilayah (kewilayahan), untuk keperluan pengelolaan wilayah secara optimal dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kelangsungan hidup umat manusia. Obyek material ilmu geografi adalah fenomena permukaan bumi. Fenomena permukaan bumi merupakan suatu perwujudan atau face permukaan bumi yang dibentuk oleh unsur-unsur geosfer, dan terwujud dari hasil hubungan, interaksi dan interdependensi antara unsur-unsur geosfer. Ruang di permukaan bumi atau wilayah sebagai fenomena permukaan bumi dapat terbentuk mulai dari yang sederhana hingga yang kompleks. Geosfer merupakan substansi yang menyelubungi bumi mulai dari atmosfer, litosfer, hidrosfer, pedosfer, biosfer, dan antroposfer. Unsur geosfer terdiri atas (1) litosfer atau batuan terluar dari bumi, yakni kulit bumi; (2) atmosfer, yakni udara yang meliput bumi; (3) hidrosfer, adalah air yang menyelubungi bumi; (4) pedosfer, tanah yang menyelubungi bumi baik di darat maupun di laut; (5) biosfer, adalah makhluk hidup baik tetumbuhan maupun hewan; (6) antroposfer, masyarakat manusia dengan segala aspek dan aktivitasnya yang menghuni bumi. Obyek formal ilmu geografi adalah pendekatan spasial, ekologis, dan kompleks wilayah. Pendekatan ilmu geografi bermakna suatu cara berpikir dan melihat kompleksitas fenomena permukaan bumi dalam konteks ruang, lingkungan, dan wilayah.
IImu geografi dengan obyek kompleksitas fenomena atau gejala permukaan bumi menggunakan pendekatan spasial, ekologi, dan kompleks wilayah. Pendekatan spasial (keruangan) merupakan suatu kajian untuk mempelajari fenomena permukaan bumi dengan. menggunakan ruang sebagai media untuk analisis. Dimensi spasial yang dimunculkan lebih menonjolkan sebaran, pola, struktur, organisasi, proses, tendensi, asosiasi, interaksi, asosiasi, komparasi dan sinergis elemen-elemen fenomena permukaan bumi. yang dibentuk oleh unsur-unsur geosfer yang berupa wilayah dan potensinya. Penekanan pendekatan spasial adalah pembandingan kekhasan lokasional ruang. Pendekatan ini akan memperhatikan unsur jarak, pola, site dan situation, aksesibiltas dan keterkaitan.
Berbeda dari pendekatan spasial yang bertolak dari perbedaan fenomena permukaan bumi yang terbentuk oleh unsur-unsur geosfer (Iitosfer, atmosfer, hidrosfer, pedosfer, biosfer, dan antroposfer) dari satu tempat ke tempat lainnya, pendekatan ekologi memandang rangkaian fenomena permukaan bumi dalam satu kesatuan ruang. Fenomena permukaan bumi membentuk satu rangkaian yang saling berkaitan (sinergis) dalam sebuah ekosistem dengan manusia sebagai unsur utama. Penekanan utama pendekatan ekologi adalah mengelaborasi secara lebih intens tentang keterkaitan elemen-elemen lingkungan dengan manusia dan matra kehidupannya. Ada beberapa tema yang dikembangkankan dalam pendekatan ekologi yaitu keterkaitan antara manusia (perilaku, persepsi) dengan elemen-elemen lingkungan geografi dan keterkaitan antara kearifan lokal, guyub tutur masyarakat dengan elemen-elemen lingkungan geografi (unsur fisik, unsur manusia, dan aksesibiltas).
Pendekatan kompleks wilayah merupakan kombinasi pendekatan spasial, dan pendekatan ekologi. Pendekatan kompleks wilayah didasarkan pad a pemahaman yang mendalam mengenai keberadaan suatu wilayah sebagai suatu sistem, di mana di dalamnya terdapat banyak sekali subsistem dan elemen¬
elemen wilayah yang saling berkaitan (sinergis). Keterkaitan tersebut dapat berbentuk keterkaitan mempengaruhi, keterkaitan saling mempengaruhi, keterkaitan tergantung, dan keterkaitan saling tergantung.
DAMPAK KENAIKAN PARAS AIR LAUT DAN BANJIR TERHADAP KONDISI
LINGKUNGAN BIO-GEOFISIK DAN SOSIAL-EKONOMI MASYARAKAT
Kenaikan paras air laut seear:a umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut : (a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan hutan mangrove, (e) meluasnya intrusi air laut, (d) aneaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau keeil. Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang aeak dan musim hujan yang pendek sementara eurah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia
Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir meneapai 2 juta mil persegi. Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan paras air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.
Kenaikan paras air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang pada sa at ini saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove :f: 50% dari total luasan semula. Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, peneemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture pun akan teraneam dengan sendirinya.
Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara.
Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah : (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera ; (b) genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua; (c) hilangnya lahan-Iahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih 'buram' apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional, dan (d) penurunan produktivitas lahan pad a sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia. Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya pulau¬pulau kecil yang dapat mencapai angka 2.000 hingga 4.000 pulau, tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran' garis pantai sejauh 25 meter, pad a akhir abad 21 lahan pesisir yang hilang mencapai 202.500 hektar.
Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran maupun akibat penggundulan. Data yang dihimpun dari The Georgetown - International Environmental Law Review (1999) menunjukkan bahwa pad a kurun waktu 1997 - 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan akibat pengaruh EI Nino. Bahkan \NWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5 juta hektar pad a periode yang sama. Apabila tidak diambil langkah-Iangkah yang tepat maka
kerusakan hutan, khususnya yang berfungsi lindung, akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir , serta memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang.
PERAN ILMU GEOGRAFI DALAM MINIMISASI AKIBAT KENAIKAN PARAS LAUT DAN BANJIR SEBAGAI DAMPAK PEMANASAN GLOBAL
IImu geografi mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan,
khususnya pembangunan yang berbasis wilayah. Tugas utama seorang geograf adalah mengidentifikasi masalah wilayah, mengenali faktor-faktor lingkungan hidup yang saling berpengaruh langsung maupun tidak langsung, mengidentifikasi hubungan antar variabel yang berpengaruh dan menentukan munculnya masalah wilayah, mengidentifikasi dampak negatif maupun positif dari masalah yang timbul baik pada saat ini maupun saat yang akan datang, dan akhirnya menemukan alternatif pemecahannya baik secara preventif, kuratif maupun inovatif.
Dengan memperhatikan dampak pemanasan global yang memiliki skala nasional dan dimensi waktu yang berjangka panjang, IImu geografi mempelajari wilayah secara utuh menyeluruh mempunyai peran dalam menentukan kerangka kebijakan makro dan mikro operasional yang strategis dalam penataan ruang wilayah pesisir dan Daerah Aliran Sungai secara terpadu dan berkelanjutan, dengan menggunakan ketiga pendekatan ilmu geografi.
Dalam upaya mengantisipasi dampak kenaikan paras air laut dan banjir maka perlu dilakukan rencana tata ruang wilayah pesisir dan daerah aliran sungai. Selain antisipasi yang bersifat makro-strategis tersebut, diperlukan pula antisipasi dampak kenaikan muka air laut dan banjir yang bersifat mikro-operasional. Pad a tataran mikro, pengembangan kawasan budidaya pada kawasan pesisir selayaknya dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa alternatif sebagai berikut. Pertama, relokasi, alternatif ini dikembangkan apabila dampak ekonomi dan lingkungan akibat kenaikan muka air laut dan banjir sangat besar sehingga kawasan budidaya perlu dialihkan lebih menjauh dari garis pantai. Dalam kondisi ekstrim, bahkan, perlu dipertimbangkan untuk menghindari sama sekali kawasan¬kawasan yang memiliki kerentanan sangat tinggi. Kedua, akomodasi, alternatif ini bersifat penyesuaian terhadap perubahan alam atau resiko dampak yang mungkin te~adi seperti reklamasi, peninggian bangunan atau perubahan agriculture menjadi budidaya air payau (aquaculture) ; area-area yang tergenangi tidak terhindarkan, namun diharapkan tidak menimbulkan ancaman yang serius bagi keselamatan jiwa, asset dan aktivitas sosial-ekonomi serta lingkungan sekitar. Ketiga, proteksi,
alternatif ini memiliki dua kemungkinan, yakni yang bersifat hard structure seperti pembangunan penahan gelombang (breakwater) atau tanggul banjir (seawalls) dan yang bersifat soft structure seperti revegetasi mangrove atau penimbunan pasir (beach nourishment). Walaupun cenderung defensif terhadap perubahan alam, alternatif ini perlu dilakukan secara hati-hati dengan tetap mempertimbangkan proses alam yang te~adi sesuai dengan prinsip "working with nature". Sedangkan untuk kawasan lindung, prioritas penanganan perlu diberikan untuk sempadan pantai, sempadan sungai, mangrove, terumbu karang, suaka alam margasatwa/cagar alam/habitat flora-fauna, dan kawasan-kawasan yang sensitif secara ekologis atau memiliki kerentanan tinggi terhadap perubahan alam atau kawasan yang bermasalah. Untuk pulau-pulau kecil maka perlindungan perlu diberikan untuk pulau-pulau yang memiliki fungsi khusus, seperti tempat transit fauna, habitat flora dan fauna langka/dilindungi, kepentingan hankam, dan sebagainya. Agar prinsip keterpaduan pengelolaan pembangunan kawasan pesisir benar-benar dapat diwujudkan, maka pelestarian kawasan lindung pada bagian hulu, khususnya hutan tropis perlu pula mendapatkan perhatian. Hal ini penting agar laju pemanasan global dapat dikurangi, sekaligus mengurangi peningkatan skala dampak pad a kawasan pesisir yang berada di kawasan hilir.
PENUTUP
Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik dan aktivitas sosial-ekonomi masyarakat. Kenaikan paras air laut secara umum akan mengakibatkan meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan hutan mangrove, meluasnya intrusi air laut, ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil. Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh te~adinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat te~adinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat.
Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi: gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara
gangguan terhadap permukiman penduduk, pengurangan produktivitas lahan pertanian, peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb.
IImu geografi mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan,
khususnya pembangunan yang berbasis wilayah. Tugas utama seorang geograf adalah mengidentifikasi masalah wilayah, mengenali faktor-faktor lingkungan hidup yang saling berpengaruh langsung maupun tidak langsung, mengidentifikasi hubungan antar variabel yang berpengaruh dan menentukan munculnya masalah wilayah, mengidentifikasi dampak negatif maupun positif dari masalah yang timbul baik pada saat ini maupun sa at yang akan datang, dan akhirnya menemukan alternatif pemecahannya baik secara preventif, kuratif maupun inovatif.
Dalam upaya mengantisipasi dampak kenaikan paras air laut dan banjir maka perlu dilakukan rencana tata ruang wilayah pesisir dan daerah aliran sungai. Selain antisipasi yang bersifat makro-strategis tersebut, diperlukan pula antisipasi dampak kenaikan muka air laut dan banjir yang bersifat mikro-operasional. Pada tataran mikro, pengembangan kawasan budidaya pada kawasan pesisir selayaknya dilakukan dengan relokasi, akomodasi, dan proteksi.
DAFTAR PUSTAKA
Angin, Ignas. Suban., 2008, Tinjauan Filosofis Sains Geografi, Makalah Seminar Nasional Filsafat Sains Geografi, Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta 12 Juli 2008.
Dibyosaputro, Suprapto,2008, Aksi%gi Geografi Fisik, Makalah Seminar Nasional
Filsafat Sains Geografi, Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta 12 Juli 2008.
Sutikno, 2007, Peran IImu Geografi Dalam Era Otonomi Daerah dan Globalisasi, Makalah Seminar Nasional Peluang dan Tantangan Geograf Dalam Era Otonomi Daerah dan Globalisasi, Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Keguruan dan IImu Pendidikan Universitas Nusa Cendana, Kupang 31 Oktober 2007.
Redevelope Sumber Daya Hutan di Lereng Muria
Redevelope Sumber Daya Hutan di Lereng Muria
Eva Banowati
Jurusan Geografi Unnes
E-mail: evabanowati @ ymail.co.id
PENDAHULUAN
Awal dekade 1980-an kerusakan hutan yang lebih nyata mulai terjadi, pada hal sebelumnya pemerintah mengandalkan hutan (sumber daya) sebagai salah satu pemasok devisa non migas yang memberikan sumbangan cukup berarti bagi perekonomian di Indonesia. Kini hal itu tidak lagi karena kerusakan hutan Indonesia amat parah bahkan dikatakan setiap hari kerusakan mencapai dua belas kali lapangan bola. Kerusakan hutan adalah perubahan yang terjadi didalam ekosistem hutan sehingga menyebabkan mundurnya nilai dan fungsi hutan. Kerusakan hutan merupakan sebuah fenomena yang terjadi karena hasil interaksi keruangan antara faktor manusia dengan faktor alam (hutan itu sendiri).
Seperti dikatakan oleh Simon (1993), bahwasanya interaksi antara manusia dengan lingkungan alam tidak semata-mata hanya terwujud sebagai hubungan ketergantungan manusia terhadap lingkungan alamnya saja, melainkan terwujud sebagai hubungan dimana manusia mempengaruhi dan merubah lingkungan alam. Zein (1997) menyebutkan empat bentuk kerusakan hutan yang disebabkan oleh tindakan manusia, yaitu penyerobotan kawasan, penebangan liar, pencurian hasil hutan, dan pembakaran hutan. Situasi ini menyangkut masalah sosial-ekonomi, sengketa tata guna lahan dan tapal batas secara umum berdampak pada penurunan sumber daya lingkungan. Pemulihan hutan yang rusak harus segera dilakukan pembangunan secara serius, terpadu, multi temporal dan sektoral oleh stakeholders.
Melihat perananan hutan yang begitu penting, maka segala bentuk pemanfaatan hutan merupakan persoalan yang menyangkut berbagai segi, diantaranya adalah persoalan ekologi dan ekonomi. Hal ini penting karena apabila pembangunan melalaikan pertimbangan ekologis menimbulkan rusaknya lingkungan alam, hilangnya kesuburan tanah, gundulnya hutan, yang berarti semakin sulitnya manusia untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Kerusakah hutan pada paper ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada akhir tahun 2007 dan awal tahun 2008 di Lereng Gunungapi Muria tepatnya di daerah administrasi Kecamatan Cluwak Kabupaten Pati (Jawa Tengah). Dapat diketahui bahwa kerusakan hutan berupa penyerobotan lahan yang dilakukan masyarakat setempat karena lahan hutan yang telah kosong sebagai dampak dari penebangan liar yang marak di awal reformasi.
Sumber: Data Primer, Tahun 2008
Gambar 1. Lapangan Bola Hasil Alih Orientasi Pemanfaatan Lahan Hutan
Baik buruknya keadaan sumber daya hutan akan berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan sebaliknya peran serta masyarakat sekitar hutan dalam menjaga kelestarian hutan sangat dibutuhkan. Pengelola hutan amat menyadarinya maka pengelolaan hutan harus memperhitungkan keberadaan masyarakat sekitar yang hidupnya mempunyai ketergantungan tinggi terhadap hutan (Dephutbun, 1999). Oleh karena itu, masyarakat dijadikan sebagai basis dalam pembangunan sumber daya hutan setempat yang kini kondisi sudah sangat memprihatinkan. Tingkat kerusakan hutan sudah mencapai 4950,2 ha (99%) dari luas keseluruhan 4952,2 ha hutan di Kecamatan Cluwak. (Neraca Potensi Daya Hutan BKPH Ngarengan, 2000).
Letak desa di wilayah Kecamatan Cluwak pada umumnya berdekatan dengan hutan maka tidak mengherankan jika mereka memiliki ketergantungan tinggi terhadap sumber daya hutan. Masyarakat di sekitar kawasan hutan memilih sektor pertanian sebagai mata pencaharian karena dekat dengan permukimannya, dan tanahnya subur sebagai akibat serasah dedaunan yang menghumus. Mereka tidak sepenuhnya mengandalkan sumber daya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti mengambil kayu bahan bakar, aneka bahan pangan, dedaunan, pakan ternak karena hutan telah gundul. Keadaan demikian mendorong penduduk disekitar hutan harus mencari jalan keluar untuk pemanfaatan lahan hutan agar tidak gundul, sekaligus untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan jalan memanfaat (penyerobotan) lahan hutan untuk lahan pertanian dalam istilah lokal dinamakan borgan.
Sumber: Data Primer, Tahun 2008
Gambar 2. Pemanfaatan Lahan oleh Pesanggem di Petak 102
Pendekatan persuasif yang dilakukan pengelola dengan jalan mengajak masyarakat dalam program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHMB). Dilakukan dengan jiwa berbagi antara PT.Perhutani (Persero) KPH Pati, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan, sehingga kepentingan kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan profesional. Realisasinya adalah menggunakan lahan borgan untuk bertani tumpangsari di bawah tegakan jati ataupun mindi.
Berdasarkan kondisi tersebut perlu diteliti kesiapan masyarakat dalam membangun kembali (Redevelopment) hutan setempat. Faktor apa yang mendukung serta penghambatnya. Menemukan solusi efektif untuk menyiapkan masyarakat sehingga mampu membangun kembali hutannya sendiri adalah manfaat yang ingin dicapai penelitian ini.
Hutan merupakan lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang secara menyeluruh merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya. Dijelaskan menurut Undang-Undang N0. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (Dephutbun, 1999), ”Pengertian hutan adalah suatu kesatuan ekosistem yang berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
Berdasarkan Undang-Undang No.5 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan Pasal 2 hal pemilikan pemilikan hutan dibedakan atas: hutan negara, hutan milik atau disebut hutan rakyat. Pasal 3, disebutkan bahwa berdasarkan fungsinya, hutan ditetapkan sebagai hutan lindung, hutan produksi, hutan suaka alam, dan hutan wisata. Selanjutnya Pasal 4 menurut peruntukannya dibedakan atas: hutan tetap, hutan cadangan, hutan lainnya, yaitu hutan yang berada di luar kawasan hutan dan hutan cadangan misalnya hutan yang berda pada tanah milik.
Kerusakan hutan adalah setiap perubahan yang terjadi di dalam ekosistem hutan sehingga menyebabkan mundurnya nilai dan fungsi hutan yang dapat berbentuk hilangnya tanaman pokok hutan maupun menurunnya potensi hutan. Dikategorikan rendah bila hilangnya sekitar 25%, tinggi bila hilangnya tanaman pokok lebih dari 25 %. Selain itu kerusakan hutan dapat diketahui dari persentase absolut hutan yang rusak didapat dari luas hutan yang rusak dibagi luas hutan (Zein, 1997). Bentuk kerusakan hutan yang terjadi di lokasi penelitian berupadisebabkan oleh tindakan manusia dapat berupa alih orientasi pemanfaatan lahan dari hutan menjadi areal pertanian awalanya pendudukan tidak syah (okupulasi illegal) oleh masyarakat untuk tujuan penanaman pangan yang tidak sesuai dengan tata guna hutan. Perusakan hasil hutan yaitu suatu perbuatan yang dilakukan di dalam suatu kawasan hutan dengan merusak tegakan hutan dengan mengupas kulit kayu, dan merusak batang.
Sejalan dengan pertambahan penduduk Indonesia dengan laju pertumbuhan 1,98% dari 213 Juta orang (Sensus Penduduk, 2000) salah satunya berdampak pada berkurangnya luasan hutan yang tersuksesi menjadi lahan pertanian tanaman pangan ini berarti pula berkurangnya kemampuan sumber daya hutan. Dilihat dari pemenuhan kebutuhan sesaat kegiatan alih fungsi lahan ini seakan menguntungkan namun bila hal ini dibiarkan tanpa aturan di waktu mendatang pasti terjadi defisit di berbagai bidang seperti yang telah di kemukakan oleh beberapa pendapat tersebut di atas. Temuan data tersebut harus segera disambut dengan berbagai tindakan yang mengarah pada pembangunan hutan sebagai sumber daya baik melalui penelitian maupun implemenatasinya. Menurunnya sumber daya hutan dapat berdampak langsung pada manusia yang berdomisili di sekitarnya walaupun mereka buka pelaku perusakan, misalnya kekeringan, angin ribut dan lain sebagainya. Rusaknya sumber daya hutan karena tindakan manusia oleh sebab itulah manusia perlu membangunnya kembali.
Pada dasa warsa 1970-an memunculkan pandangan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), intinya adalah memperhatikan sistem biologis alam yang menopang ekonomi dunia. Satu dekade kemudian muncul ide tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yang berakar pada pemikiran untuk mengintegrasikan ekonomi dan ekologi (WCED, 1987; Boesler, 1994; Panayotou, 1994; dan Baiquni, 2004). Dikatakan oleh Soemarwoto (2005), bahwa pembangunan terlanjutkan diartikan sebagai pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan kini, tanpa mengurangi kemampuan generasi yang mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka. Seperti yang telah ia kutip dari laporan komisi sedunia tentang lingkungan dan pembangunan (World Commission on Environment and Development) yang menekankan perlunya pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Menurut Cincin-Sain and Knecht (1998), pembangunan berkelanjutan mempunyai tiga penekanan utama, yaitu: 1) pembangunan ekonomi untuk memperbaiki kualitas hidup manusia sebagai pusat perhatian, 2) pembangunan yang mempertimbangkan lingkungan, baik dalam pemanfaatan sumber daya, perlindungan proses ekologi, sistem pendukung kehidupan maupun keanekaragaman hayati, dan 3) pembangunan secara adil baik dalam distribusi keuntungan pembangunan, yang meliputi keadilan antar masyarakat, antar generasi dan antar negara.
Apa yang telah dikemukakan tersebut pada dasarnya sejalan dengan pembangunan sumber daya hutan yang dilakukan dalam kegiatan penelitian ini. Penekanan yang dilontarkan telah terkonsepkan dalam tujuan yang dikemukakan maupun yang tersirat dalam kalimat berbasis masyarakat dapat dipersamakan dengan penekanan pada manusia sebagai pusat perhatian (human oriented). Pembangunan sumber daya hutan, berarti membangun keaneka ragaman hayati hutan yang teragih di lereng tengah Gunungapi Muria untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia (masyarakat), sebagai penghasil devisa negara non migas, dan memperhatikan kelestarian lingkungan. Penekanan yang ke tiga sejalan dengan kesiapan masyarakat berdasarkan karakteristik dan variasi keruangannya.
Berbasis masyarakat merupakan tindakan atau kegiatan bersama (co management) antara masyarakat, pemerintah setempat dan stakeholder di desa. Keberhasilan pendekatan ini semakin banyak didokumentasikan secara baik (Pomeroy, 1994; Buhat, 1994; World Bank, 1999). Tujuan, rencana, pelaksanaan kegiatan atau tindakan ditentukan oleh masyarakat setempat berdasarkan dan menyangkut kebijakan/aturan/pedoman yang dibuat dan disepakati oleh pemerintah setempat. Pendekatan berbasis masyarakat didasarkan pada pemikiran/ hipotesa bahwa pendekatan partisipatif dan desentralistik mengarah pada lebih berkelanjutan dan adil/ seimbang (Crawford, 1999).
Partisipasi berarti ambil bagian dalam satu tahap atau lebih dari suatu proses, pendapat yang senada ditunjukkan pula oleh Hoofsteede (1990), dalam Banowati (1999). Lebih spesifik dan sesuai dengan penelitian ini adalah “partisipasi sebagai kesediaan penduduk untuk ikut ambil bagian dalam kegiatan bersama dalam rangka membantu keberhasilan program pembangunan, tanpa mengorbankan kepentingan pribadi (Mubyarto dan Kartodirjo, 1989)”. Dengan demikian partisipasi penduduk dapat disimpulkan sebagai bentuk keikutsertaan penduduk sekitar hutan dalam proses pembangunan dan mempengaruhinya untuk mencapai suatu keberhasilan pengelolaan sumber daya hutan.
Paparan di atas pembangunan kembali sumber daya hutan dapat direalisasikan apabila terlebih dahulu dibangun komunikasi dengan memberikan penjelasan yang berkaitan dengan kepentingan mereka dan bermanfaatan secara luas karena hal itu diyakini oleh “Mubyarto (1984), untuk dapat menggerakkan penduduk dalam berpartisipasi perlu memerincinya dalam beberapa hal”, yaitu: 1) ada dalam penduduk, 2) partisipasi untuk dapat memberikan manfaat langsung dan dapat memperbaiki kondisi dan memenuhui kebutuhan kehidupan mereka, 3) dalam proses partisipasi itu, terjamin adanya kontrol oleh penduduk, 4) penduduk itu berperan dalam pembangunan. Timbulnya suatu partisipasi penduduk dalam pelaksanaan proses pembangunan sumber daya hutan, jika mereka dilibatkan secara mental dan emosional di berbagai kegiatan yang terkait.
Kegiatan pemberdayaan penduduk ini tujuannnya untuk lebih meningkatkan fungsi personal di suatu wilayah dalam rangka hidup lebih bermakna dan berguna bagi dirinya dan lingkungannya. Pemberdayaan penduduk dapat dikelompokkan menjadi 3 bidang, yaitu: 1) mengenal sasaran, di dalam melaksanakan kegiatan pemberdayaan perlu mengenal sasaran yang berkarakteristik setempat (unik), hal ini diperlukan agar terapi dan action yang dilakukan tepat, 2), upaya untuk membantu apa yang menjadi permasalahan setempat baik personal maupun kelompok, dan 3) membangun immaterial, berupa memotivasi bahwa mereka adalah mempunyai sesuatu yang berguna, untuk mengkristalkan kepercayaan penduduk akan kemampuannya sendiri dibutuhkan kegiatan yang berkesinambungan. Dengan kata lain kegiatan pemberdayaan tidak cukup hanya sekali dilakukan, namun dibutuhkan secara bertahap dari hal yang paling sederhana ke hal yang komplek, tujuan akhir adalah kemandirian.
METODE PENELITIAN
Pertumbuhan penduduk, makin bertambahnya kebutuhan berdampak pada kecepatan laju mengakses sumber daya hutan setempat. Atas dasar itu maka perlu membangun hutan agar tetap tercipta sebagai sumber daya yang terbatas secara berkelanjutan. Popolasi penelitian ini adalah penduduk pesanggem desa Gesengan yang berjumlah 400 KK Kecamatan Cluwak, yang kemudian dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif.
Pemilihan lokasi lapangan (field sites) didasarkan pada beberapa faktor antara lain: sumber daya hutan merupakan unsur vital yang menyangkut hajat hidup manusia, hutan di Kecamatan Cluwak merupakan lokasi yang ditunjuk pemerintah untuk dikenakan program pembangunan hutan bersama masyarakat (PHBM), aspek demografis, angka pertumbuhan penduduk tinggi, menurunnya kualitas dan kuantitas sumber daya hutan akibat alih fungsi lahan dari lahan hutan menjadi lahan kosong maupun lahan pertanian, kerusakan hutan berakibat pada rentan terhadap bencana alam dan kemiskinan, banyak kegiatan of farm di sekitar lokasi yang memanfaatkan sebagai raw material recources, dan sebagai antisipasi perubahan paradigma yang terjadi di Indonesia, pertikaian antar warga maupun dengan pemerintah yang sewaktu-waktu timbul maka diperlukan pembangunan sumber daya hutan berbasis masyarakat.
Dari 13 desa yang ada di Kecamatan Cluwak dipilih desa Gesengan sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan desa tersebut berbatasan dengan hutan negara, penduduknya banyak yang bekerja di lahan hutan. Bila di lihat lebih jauh ke arah luar sektor farm (perdagangan hasil ertanian), off farm (industri tepung tapioka, penggilingan beras), dan non farm (aneka jasa dan transportasi), banyak mendapat pasokan dari sumber daya di sini.
Sampel Responden, dalam penelitian ini adalah pesanggem anggota Lembaga Masyarakat desa Hutan (LMDH) yang dalam tahun 2007 ini berjumlah 80 KK menandatangani Surat Perjanjian Kerjasama dengan Perum Perhutani pada lokasi PHBM. Penetapan sampel dengan metode acak (at random) karena karakteristik responden homogen. Jadi setiap pesanggem mempunyai peluang sama untuk menjadi responden.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, alat yang dipakai adalah pedoman wawancara. Selain itu dilakukan dengan menggunakan angket. Data atau informasi yang dihimpun yaitu tentang kesiapan masyarakat dalam membangun kembali hutan setempat. Data ini didapat dari masyarakat (pesanggem), aparat pengelola, tokoh masyarakat dan aparat setempat. Untuk memberikan makna atas data yang terkumpul maka dilakukan analisis penelitian deskriptif persentase.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kesiapan Masyarakat Membangun Kembali (Redevelope) Hutan
Secara keseluruhan luas wilayah Desa Gesengan adalah 670,902 Ha. Menurut penggunaannya luas wilayah Desa Gesengan terdiri dari 127,079 Ha lahan basah atau sawah. Sedangkan lahan kering 202,973 Ha yang terdiri atas: pekarangan sebesar 95,495 Ha, hutan negara sebesar 245,1 Ha, lainnya sebesar 0,255 Ha. Jumlah penduduk Desa Gesengan secara keseluruhan adalah 3.249 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebesar 1.642 jiwa dan penduduk perempuan sebesar 1.607 jiwa. Mata pencaharian yang paling dominan di Desa Gesengan adalah petani atau pesanggem1.600 atau 49.25% (BPS Kecamatan, 2005). Kerusakan hutan di Desa Gesengan mencapai 99% atau kerusakan total disebabkan pencurian kayu secara besar-besaran, gundul tanpa sisa.
Kesiapan masyarakat untuk membangun sumber daya hutan ditunjukkan dari kehadirannya mengikuti penyuluhan yang dilakukan oleh Perhutani merupakan modal dasar sehingga dapat optimis mengembalikan kelestarian hutan setempat. Kehadiran penduduk pesanggem sebagian besar atau 53,75% selalu mengikuti dengan seksama penyuluhan yang diberikan baik oleh aparat perhutani maupun aparat gabungan antara unsur tripika, sedangkan 26, 25% lainnya jarang mengikuti, dan 20% tidak pernah mengikuti penyuluhan. Tingkat pendidikan rendah, hasil penelitian yang menujukkan bahwa sebagian besar tidak tamat SD sebesar 68,75% atau 55 orang, dan sisanya adalah tamat SD sebesar 6,25%, SLTP tidak tamat sebesar 12,50%, SLTA tamat sebesar 12,50%. Menyimak dari tingkat pendidikan yang rata-rata rendah berpengaruh terhadap tingkat pemahaman tentang fungsi hutan sebagai pengatur tata iklim juga rendah. Dari 80 responden yang pemahamannya tinggi hanya sebesar 25% atau 20 orang, 40 orang lainnya atau 50% mengaku tidak paham yang dipentingkan adalah tercukupinya kebuituhan hariannya saja. 25% mengetahui fungsi hutan optimal namum mereka terbentur oleh tuntutan jaman. Responden dalam kategori usia produktif yaitu 65,50% berusia 26 -50, selebihnya 31,25% berusia 51 – 75th. Usia KK (Kepala Keluarga) yang produktif ini memiliki tanggung jawab yang lebih untuk menghidupi perekonomian keluarganya. Kesiapan mereka untuk membangun sumber daya hutan yang ada dilihat dari strategi yang dijalankan pengelola menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hal itu dilihat dari jawaban responden sebagian besar 58,75% setuju tanpa syarat mengganti tanaman ketela dengan tanaman yang disarankan pengelola, 16,25% lainnya setuju dengan syarat mereka diberi tambahan luasan lahan borgan. 25% lainnya atau 20 orang tidak setuju mengganti tanaman ketela. Keterampilan merata di bidang pertanian mendorong untuk memanfaatkan lahan hutan sebagai lahan pertanian. Penguasaan borgan terluas mencapai 4,1 – 8 ha atau dikuasai 2,50% pesanggem. Luasan 2,1 – 4 ha oleh 3,75% dan 75% pesanggem menguasai borgan sebesar antara < 0,5 ha, lainnnya antara 0,6 ha hingga 2 ha.
Faktor Pendukung dan Penghambatnya.
Hasil dari tanaman ketela atau ubi kayu tersebut sangatlah menguntungkan pesanggem, selain mudah dalam penanamannya, ketela juga mudah dalam penjualannya hal ini didukung oleh banyaknya pabrik tepung tapioka yang beroperasi di wilayah Kecamatan Cluwak. Hasil penelitian 62,50% responden dengan luasan borgan antara 0,25 ha-0,5 ha mampu menghasilkan ketela seberat 1001 – 2000 kg. Harga satuan per kg sekitar Rp 600, 00. hasil yang terbanyak dari luasan yang sama bahkan mampu menghasilkan ketela sekitar 5.000 kg.
Hal ini dikarenakan penduduk sangat terampil dalam mengelola lahan khususnya di bidang pertanian dan penduduk juga dapat memanfaatkan lahan hutan yang kosong untuk mencari pengahasilan sesuai dengan keahliannya sekaligus mempunyai tujuan dapat mengembalikan hutan dan memanfaatkannya. Sehingga penduduk lebih memilih bekerja sebagai pesanggem dan memanfaatkan lahan hutan tersebut dari pada mencari pekerjaan lain.
Selain bekerja sebagai pesanggem, penduduk sekitar hutan juga mempunyai mata pencaharian lain untuk sampingan dalam mencukupi kebutuhan selain pekerjaan pokok. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menujukkan sebagian besar mempunyai pekerjaan sampingan sebagai pedagang di pasar lokal sebesar 46,25%, pengepul ketela pohon sebesar 7,5%, sebagai buruh bangunan 23,75%, sopir 6,25%, buruh tani sebesar 12,50%, .
Dampak perubahan pemanfaatan lahan hutan oleh penduduk sangat berdampak positif bagi keselarasan lingkungan hidup, hal ini dikarenakan lahan yang tidak berfungsi atau gundul ditanamai ketela pohon sebagai land cover, harapannya dapat menghambat laju erosi sekaligus memperbaiki kondisi perekonomian yang mampu menjaga kestabilan secara umum. Selain berdampak pada lahan hutan atau lingkungan hidup untuk kedepannya, nilai tambah juga dilakukan oleh penduduk sekitar hutan karena penduduk dapat berkerja secara maksimal tanpa meninggalkan desa (tidak menambah urbanisasi). Manfaat lain dari perubahan lahan hutan oleh penduduk sangat berdampak besar bagi kehidupan masyarakat desa sekitar hutan yang bekerja sebagai pesanggem yaitu penduduk dilatih agar bisa mandiri dan tidak mengganggu hutan.
Solusi Yang Efektif
Dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bersama membangun kembali hutan setempat yang rusak demi pengembalian dan perbaikan kondisi hutan agar lestari dan dapat berfungsi optimal dengan jalan agroforestry. Melalui program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dibutuhkan kerjasama antar instansi, LMDH dan pesanggem dengan meningkatkan intensitas komunikasi, dan mendengarkan aspirasi masyarakat. Pembenahan perlu dilakukan utamanya yang berhubungan dengan transparansi dalam pembagian hasil, pembagian volume dan jenis pekerjaan, pembagian tanggung jawab, dan arah komando yang jelas.
Peran LMDH dalam menjembatani antara pengelola dan masyarakat dan pengelolaan hutan sudah teruji, seperti yang telah didokumenkan pengelola dapat dilihat pada grafik berikut.
Perhutani, 2004
Gambar 3. Peran LMDH dalam Pembangunan SDH
Menurut Perhutani kesuksesan LMDH dalam melestarikan hutan tergantung dari kerapatan tanaman pokok. Semakin rapat tanaman pokok, semakin sukses program LMDH tersebut. Untuk pembagian kerja, waktu dan tanggung jawab telah diatur dan ditetapkan sesuai seksi yang telah disetujui bersama antar stakeholder. Ketentuan untuk pembagian hasil hutan dari program PHBM usaha produktif yang dapat berupa barang atau uang berdasarkan hasil kesepakatan yang diatur bedasarkan musyawarah atau kesepakatan sesuai kontribusi yang diberikan masing-masing pihak dalam suatu perjanjian. Pesanggem wajib untuk menanam dan merawat tegakan hutan Gesengan berupa jati, mindi, dan akasia. Bibit dari tanaman pokok diperoleh dari Perhutani, hasil dari penjarangan dilakukan jika tanaman jati berusia 10-20 tahun dan untuk non jati (akasia ataupun mindi) jika berusia 8-10 tahun disesuaikan dengan kesuksesan potensi hutan yang telah tercantum dalam perjanjian tertulis yang telah disepakati. Untuk pesanggem diberi pajak Rp 80 ribu/tahun, untuk tanaman jati Rp 40 ribu/tahun untuk tanaman non jati yaitu tanaman akasia ataupun mindi.
Keterangan: Tanaman tegakan
1m 1m Tanaman PLDT
Gambar 4. Pola Tanam
Hasil pendapatan dari pajak tanaman pokok di gunakan untuk kas LMDH dan Desa. Perjanjian atau kesepakatan yang dibuat di tiap-tiap LMDH tidak sama atau berbeda-beda, hal ini dikarenakan LMDH diberi suatu kewenangan oleh Perhutani untuk mengatur kegiatan rumah tangga sendiri (lembaga) seperti dalam melakukan perjanjian pembagian hasil atau pemilihan bibit Pemanfaatan Lahan Dibawah Tegakan (PLDT) yang telah disepakati dengan jarak 1 meter antara tanaman pokok dan tanaman penyela.
Untuk tanaman PLDT bibit didapat dari pesanggem dan pemilihan bibit disepakati bersama oleh LMDH. Desa Gesengan dan sekitarnya tanaman PLDT berupa tanaman ketela. Hasil dari tanaman PLDT digunakan untuk mensejahterakan pesanggem pada masing-masing petak dalam melakukan penanaman dan perawatan tanaman pokok.
Pencurian secara besar-besaran oleh masyarakat, berbekal pendapatan dan pendidikan yang rendah menyebabkan para pesanggem berusaha memanfatkan lahan hutan bertani ketela pohon dengan memperpendek jarak antara tegakan hutan dan tanaman pertanian. Untuk membangun hutan optimal diperlukan pendekatan persuasif untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang perlunya melestarikan hutan.
DAFTAR PUSTAKA
Baiquni, M., 2007. Strategi Penghidupan di Masa Krisis. IdeAs Media, Yogyakarta
Indriyanto, 2008. Pengantar Budi Daya Hutan, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Nazir Moh., 1999. Metode Penelitian, Jakarta, Ghalia Indonesia.
Purwanto, Teguh. 1989. Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Desa Hutan Dalam Pembangunan dan Pelestarian Hutan.
Pamulardi Bambang, 1995. Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, Jakarta: CV.Eko Jaya.
Salim, 2006. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta, Sinar Grafika.
Simon, Hasanu, 1993. Hutan Jati dan Kemakmuran. Adtya media, Yogyakarta.
Perum Perhutani, 1996. Penerapan Pembinaan Masyarakat Desa Hutan Dalam Pengelolaan Hutan. Semarang: Perum Perhutani Unit I Jateng.
................, 1999. Pedoman Pembinaan Masyarakat Desa Hutan Dalam Pengelolaan Hutan. Perum Perhutani Unit I Jateng.
................, 2000. Neraca Potensi Daya Hutan BKPH Ngarengan. Perum Perhutani Kesatuan Peangkuan Hutan Pati.
................, 2001. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Semarang: Perum Perhutani Unit I Jateng.
..............., 2002. Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Semarang: Perum Perhutani Unit I Jateng.
..............., 2002. Pedoman Berbagi Hasil Hutan Kayu. Jakarta.
..............., 2003. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Pati: Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Pati.
..............., 2007. Petunjuk Pelaksanaan Evaluasi Potensi Sumberdaya Hutan. Semarang: Perum Perhutani Unit I Jateng.
................, 2007. Pedoman Pengamanan Hutan Lestari. Jakarta
Zain, Alam Setia, 1997. Hukum Lingkungan Konservasi Hutan, Jakarta: Rineka Cipta.
Eva Banowati
Jurusan Geografi Unnes
E-mail: evabanowati @ ymail.co.id
PENDAHULUAN
Awal dekade 1980-an kerusakan hutan yang lebih nyata mulai terjadi, pada hal sebelumnya pemerintah mengandalkan hutan (sumber daya) sebagai salah satu pemasok devisa non migas yang memberikan sumbangan cukup berarti bagi perekonomian di Indonesia. Kini hal itu tidak lagi karena kerusakan hutan Indonesia amat parah bahkan dikatakan setiap hari kerusakan mencapai dua belas kali lapangan bola. Kerusakan hutan adalah perubahan yang terjadi didalam ekosistem hutan sehingga menyebabkan mundurnya nilai dan fungsi hutan. Kerusakan hutan merupakan sebuah fenomena yang terjadi karena hasil interaksi keruangan antara faktor manusia dengan faktor alam (hutan itu sendiri).
Seperti dikatakan oleh Simon (1993), bahwasanya interaksi antara manusia dengan lingkungan alam tidak semata-mata hanya terwujud sebagai hubungan ketergantungan manusia terhadap lingkungan alamnya saja, melainkan terwujud sebagai hubungan dimana manusia mempengaruhi dan merubah lingkungan alam. Zein (1997) menyebutkan empat bentuk kerusakan hutan yang disebabkan oleh tindakan manusia, yaitu penyerobotan kawasan, penebangan liar, pencurian hasil hutan, dan pembakaran hutan. Situasi ini menyangkut masalah sosial-ekonomi, sengketa tata guna lahan dan tapal batas secara umum berdampak pada penurunan sumber daya lingkungan. Pemulihan hutan yang rusak harus segera dilakukan pembangunan secara serius, terpadu, multi temporal dan sektoral oleh stakeholders.
Melihat perananan hutan yang begitu penting, maka segala bentuk pemanfaatan hutan merupakan persoalan yang menyangkut berbagai segi, diantaranya adalah persoalan ekologi dan ekonomi. Hal ini penting karena apabila pembangunan melalaikan pertimbangan ekologis menimbulkan rusaknya lingkungan alam, hilangnya kesuburan tanah, gundulnya hutan, yang berarti semakin sulitnya manusia untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Kerusakah hutan pada paper ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada akhir tahun 2007 dan awal tahun 2008 di Lereng Gunungapi Muria tepatnya di daerah administrasi Kecamatan Cluwak Kabupaten Pati (Jawa Tengah). Dapat diketahui bahwa kerusakan hutan berupa penyerobotan lahan yang dilakukan masyarakat setempat karena lahan hutan yang telah kosong sebagai dampak dari penebangan liar yang marak di awal reformasi.
Sumber: Data Primer, Tahun 2008
Gambar 1. Lapangan Bola Hasil Alih Orientasi Pemanfaatan Lahan Hutan
Baik buruknya keadaan sumber daya hutan akan berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan sebaliknya peran serta masyarakat sekitar hutan dalam menjaga kelestarian hutan sangat dibutuhkan. Pengelola hutan amat menyadarinya maka pengelolaan hutan harus memperhitungkan keberadaan masyarakat sekitar yang hidupnya mempunyai ketergantungan tinggi terhadap hutan (Dephutbun, 1999). Oleh karena itu, masyarakat dijadikan sebagai basis dalam pembangunan sumber daya hutan setempat yang kini kondisi sudah sangat memprihatinkan. Tingkat kerusakan hutan sudah mencapai 4950,2 ha (99%) dari luas keseluruhan 4952,2 ha hutan di Kecamatan Cluwak. (Neraca Potensi Daya Hutan BKPH Ngarengan, 2000).
Letak desa di wilayah Kecamatan Cluwak pada umumnya berdekatan dengan hutan maka tidak mengherankan jika mereka memiliki ketergantungan tinggi terhadap sumber daya hutan. Masyarakat di sekitar kawasan hutan memilih sektor pertanian sebagai mata pencaharian karena dekat dengan permukimannya, dan tanahnya subur sebagai akibat serasah dedaunan yang menghumus. Mereka tidak sepenuhnya mengandalkan sumber daya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti mengambil kayu bahan bakar, aneka bahan pangan, dedaunan, pakan ternak karena hutan telah gundul. Keadaan demikian mendorong penduduk disekitar hutan harus mencari jalan keluar untuk pemanfaatan lahan hutan agar tidak gundul, sekaligus untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan jalan memanfaat (penyerobotan) lahan hutan untuk lahan pertanian dalam istilah lokal dinamakan borgan.
Sumber: Data Primer, Tahun 2008
Gambar 2. Pemanfaatan Lahan oleh Pesanggem di Petak 102
Pendekatan persuasif yang dilakukan pengelola dengan jalan mengajak masyarakat dalam program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHMB). Dilakukan dengan jiwa berbagi antara PT.Perhutani (Persero) KPH Pati, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan, sehingga kepentingan kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan profesional. Realisasinya adalah menggunakan lahan borgan untuk bertani tumpangsari di bawah tegakan jati ataupun mindi.
Berdasarkan kondisi tersebut perlu diteliti kesiapan masyarakat dalam membangun kembali (Redevelopment) hutan setempat. Faktor apa yang mendukung serta penghambatnya. Menemukan solusi efektif untuk menyiapkan masyarakat sehingga mampu membangun kembali hutannya sendiri adalah manfaat yang ingin dicapai penelitian ini.
Hutan merupakan lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang secara menyeluruh merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya. Dijelaskan menurut Undang-Undang N0. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (Dephutbun, 1999), ”Pengertian hutan adalah suatu kesatuan ekosistem yang berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
Berdasarkan Undang-Undang No.5 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan Pasal 2 hal pemilikan pemilikan hutan dibedakan atas: hutan negara, hutan milik atau disebut hutan rakyat. Pasal 3, disebutkan bahwa berdasarkan fungsinya, hutan ditetapkan sebagai hutan lindung, hutan produksi, hutan suaka alam, dan hutan wisata. Selanjutnya Pasal 4 menurut peruntukannya dibedakan atas: hutan tetap, hutan cadangan, hutan lainnya, yaitu hutan yang berada di luar kawasan hutan dan hutan cadangan misalnya hutan yang berda pada tanah milik.
Kerusakan hutan adalah setiap perubahan yang terjadi di dalam ekosistem hutan sehingga menyebabkan mundurnya nilai dan fungsi hutan yang dapat berbentuk hilangnya tanaman pokok hutan maupun menurunnya potensi hutan. Dikategorikan rendah bila hilangnya sekitar 25%, tinggi bila hilangnya tanaman pokok lebih dari 25 %. Selain itu kerusakan hutan dapat diketahui dari persentase absolut hutan yang rusak didapat dari luas hutan yang rusak dibagi luas hutan (Zein, 1997). Bentuk kerusakan hutan yang terjadi di lokasi penelitian berupadisebabkan oleh tindakan manusia dapat berupa alih orientasi pemanfaatan lahan dari hutan menjadi areal pertanian awalanya pendudukan tidak syah (okupulasi illegal) oleh masyarakat untuk tujuan penanaman pangan yang tidak sesuai dengan tata guna hutan. Perusakan hasil hutan yaitu suatu perbuatan yang dilakukan di dalam suatu kawasan hutan dengan merusak tegakan hutan dengan mengupas kulit kayu, dan merusak batang.
Sejalan dengan pertambahan penduduk Indonesia dengan laju pertumbuhan 1,98% dari 213 Juta orang (Sensus Penduduk, 2000) salah satunya berdampak pada berkurangnya luasan hutan yang tersuksesi menjadi lahan pertanian tanaman pangan ini berarti pula berkurangnya kemampuan sumber daya hutan. Dilihat dari pemenuhan kebutuhan sesaat kegiatan alih fungsi lahan ini seakan menguntungkan namun bila hal ini dibiarkan tanpa aturan di waktu mendatang pasti terjadi defisit di berbagai bidang seperti yang telah di kemukakan oleh beberapa pendapat tersebut di atas. Temuan data tersebut harus segera disambut dengan berbagai tindakan yang mengarah pada pembangunan hutan sebagai sumber daya baik melalui penelitian maupun implemenatasinya. Menurunnya sumber daya hutan dapat berdampak langsung pada manusia yang berdomisili di sekitarnya walaupun mereka buka pelaku perusakan, misalnya kekeringan, angin ribut dan lain sebagainya. Rusaknya sumber daya hutan karena tindakan manusia oleh sebab itulah manusia perlu membangunnya kembali.
Pada dasa warsa 1970-an memunculkan pandangan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), intinya adalah memperhatikan sistem biologis alam yang menopang ekonomi dunia. Satu dekade kemudian muncul ide tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yang berakar pada pemikiran untuk mengintegrasikan ekonomi dan ekologi (WCED, 1987; Boesler, 1994; Panayotou, 1994; dan Baiquni, 2004). Dikatakan oleh Soemarwoto (2005), bahwa pembangunan terlanjutkan diartikan sebagai pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan kini, tanpa mengurangi kemampuan generasi yang mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka. Seperti yang telah ia kutip dari laporan komisi sedunia tentang lingkungan dan pembangunan (World Commission on Environment and Development) yang menekankan perlunya pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Menurut Cincin-Sain and Knecht (1998), pembangunan berkelanjutan mempunyai tiga penekanan utama, yaitu: 1) pembangunan ekonomi untuk memperbaiki kualitas hidup manusia sebagai pusat perhatian, 2) pembangunan yang mempertimbangkan lingkungan, baik dalam pemanfaatan sumber daya, perlindungan proses ekologi, sistem pendukung kehidupan maupun keanekaragaman hayati, dan 3) pembangunan secara adil baik dalam distribusi keuntungan pembangunan, yang meliputi keadilan antar masyarakat, antar generasi dan antar negara.
Apa yang telah dikemukakan tersebut pada dasarnya sejalan dengan pembangunan sumber daya hutan yang dilakukan dalam kegiatan penelitian ini. Penekanan yang dilontarkan telah terkonsepkan dalam tujuan yang dikemukakan maupun yang tersirat dalam kalimat berbasis masyarakat dapat dipersamakan dengan penekanan pada manusia sebagai pusat perhatian (human oriented). Pembangunan sumber daya hutan, berarti membangun keaneka ragaman hayati hutan yang teragih di lereng tengah Gunungapi Muria untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia (masyarakat), sebagai penghasil devisa negara non migas, dan memperhatikan kelestarian lingkungan. Penekanan yang ke tiga sejalan dengan kesiapan masyarakat berdasarkan karakteristik dan variasi keruangannya.
Berbasis masyarakat merupakan tindakan atau kegiatan bersama (co management) antara masyarakat, pemerintah setempat dan stakeholder di desa. Keberhasilan pendekatan ini semakin banyak didokumentasikan secara baik (Pomeroy, 1994; Buhat, 1994; World Bank, 1999). Tujuan, rencana, pelaksanaan kegiatan atau tindakan ditentukan oleh masyarakat setempat berdasarkan dan menyangkut kebijakan/aturan/pedoman yang dibuat dan disepakati oleh pemerintah setempat. Pendekatan berbasis masyarakat didasarkan pada pemikiran/ hipotesa bahwa pendekatan partisipatif dan desentralistik mengarah pada lebih berkelanjutan dan adil/ seimbang (Crawford, 1999).
Partisipasi berarti ambil bagian dalam satu tahap atau lebih dari suatu proses, pendapat yang senada ditunjukkan pula oleh Hoofsteede (1990), dalam Banowati (1999). Lebih spesifik dan sesuai dengan penelitian ini adalah “partisipasi sebagai kesediaan penduduk untuk ikut ambil bagian dalam kegiatan bersama dalam rangka membantu keberhasilan program pembangunan, tanpa mengorbankan kepentingan pribadi (Mubyarto dan Kartodirjo, 1989)”. Dengan demikian partisipasi penduduk dapat disimpulkan sebagai bentuk keikutsertaan penduduk sekitar hutan dalam proses pembangunan dan mempengaruhinya untuk mencapai suatu keberhasilan pengelolaan sumber daya hutan.
Paparan di atas pembangunan kembali sumber daya hutan dapat direalisasikan apabila terlebih dahulu dibangun komunikasi dengan memberikan penjelasan yang berkaitan dengan kepentingan mereka dan bermanfaatan secara luas karena hal itu diyakini oleh “Mubyarto (1984), untuk dapat menggerakkan penduduk dalam berpartisipasi perlu memerincinya dalam beberapa hal”, yaitu: 1) ada dalam penduduk, 2) partisipasi untuk dapat memberikan manfaat langsung dan dapat memperbaiki kondisi dan memenuhui kebutuhan kehidupan mereka, 3) dalam proses partisipasi itu, terjamin adanya kontrol oleh penduduk, 4) penduduk itu berperan dalam pembangunan. Timbulnya suatu partisipasi penduduk dalam pelaksanaan proses pembangunan sumber daya hutan, jika mereka dilibatkan secara mental dan emosional di berbagai kegiatan yang terkait.
Kegiatan pemberdayaan penduduk ini tujuannnya untuk lebih meningkatkan fungsi personal di suatu wilayah dalam rangka hidup lebih bermakna dan berguna bagi dirinya dan lingkungannya. Pemberdayaan penduduk dapat dikelompokkan menjadi 3 bidang, yaitu: 1) mengenal sasaran, di dalam melaksanakan kegiatan pemberdayaan perlu mengenal sasaran yang berkarakteristik setempat (unik), hal ini diperlukan agar terapi dan action yang dilakukan tepat, 2), upaya untuk membantu apa yang menjadi permasalahan setempat baik personal maupun kelompok, dan 3) membangun immaterial, berupa memotivasi bahwa mereka adalah mempunyai sesuatu yang berguna, untuk mengkristalkan kepercayaan penduduk akan kemampuannya sendiri dibutuhkan kegiatan yang berkesinambungan. Dengan kata lain kegiatan pemberdayaan tidak cukup hanya sekali dilakukan, namun dibutuhkan secara bertahap dari hal yang paling sederhana ke hal yang komplek, tujuan akhir adalah kemandirian.
METODE PENELITIAN
Pertumbuhan penduduk, makin bertambahnya kebutuhan berdampak pada kecepatan laju mengakses sumber daya hutan setempat. Atas dasar itu maka perlu membangun hutan agar tetap tercipta sebagai sumber daya yang terbatas secara berkelanjutan. Popolasi penelitian ini adalah penduduk pesanggem desa Gesengan yang berjumlah 400 KK Kecamatan Cluwak, yang kemudian dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif.
Pemilihan lokasi lapangan (field sites) didasarkan pada beberapa faktor antara lain: sumber daya hutan merupakan unsur vital yang menyangkut hajat hidup manusia, hutan di Kecamatan Cluwak merupakan lokasi yang ditunjuk pemerintah untuk dikenakan program pembangunan hutan bersama masyarakat (PHBM), aspek demografis, angka pertumbuhan penduduk tinggi, menurunnya kualitas dan kuantitas sumber daya hutan akibat alih fungsi lahan dari lahan hutan menjadi lahan kosong maupun lahan pertanian, kerusakan hutan berakibat pada rentan terhadap bencana alam dan kemiskinan, banyak kegiatan of farm di sekitar lokasi yang memanfaatkan sebagai raw material recources, dan sebagai antisipasi perubahan paradigma yang terjadi di Indonesia, pertikaian antar warga maupun dengan pemerintah yang sewaktu-waktu timbul maka diperlukan pembangunan sumber daya hutan berbasis masyarakat.
Dari 13 desa yang ada di Kecamatan Cluwak dipilih desa Gesengan sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan desa tersebut berbatasan dengan hutan negara, penduduknya banyak yang bekerja di lahan hutan. Bila di lihat lebih jauh ke arah luar sektor farm (perdagangan hasil ertanian), off farm (industri tepung tapioka, penggilingan beras), dan non farm (aneka jasa dan transportasi), banyak mendapat pasokan dari sumber daya di sini.
Sampel Responden, dalam penelitian ini adalah pesanggem anggota Lembaga Masyarakat desa Hutan (LMDH) yang dalam tahun 2007 ini berjumlah 80 KK menandatangani Surat Perjanjian Kerjasama dengan Perum Perhutani pada lokasi PHBM. Penetapan sampel dengan metode acak (at random) karena karakteristik responden homogen. Jadi setiap pesanggem mempunyai peluang sama untuk menjadi responden.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, alat yang dipakai adalah pedoman wawancara. Selain itu dilakukan dengan menggunakan angket. Data atau informasi yang dihimpun yaitu tentang kesiapan masyarakat dalam membangun kembali hutan setempat. Data ini didapat dari masyarakat (pesanggem), aparat pengelola, tokoh masyarakat dan aparat setempat. Untuk memberikan makna atas data yang terkumpul maka dilakukan analisis penelitian deskriptif persentase.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kesiapan Masyarakat Membangun Kembali (Redevelope) Hutan
Secara keseluruhan luas wilayah Desa Gesengan adalah 670,902 Ha. Menurut penggunaannya luas wilayah Desa Gesengan terdiri dari 127,079 Ha lahan basah atau sawah. Sedangkan lahan kering 202,973 Ha yang terdiri atas: pekarangan sebesar 95,495 Ha, hutan negara sebesar 245,1 Ha, lainnya sebesar 0,255 Ha. Jumlah penduduk Desa Gesengan secara keseluruhan adalah 3.249 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebesar 1.642 jiwa dan penduduk perempuan sebesar 1.607 jiwa. Mata pencaharian yang paling dominan di Desa Gesengan adalah petani atau pesanggem1.600 atau 49.25% (BPS Kecamatan, 2005). Kerusakan hutan di Desa Gesengan mencapai 99% atau kerusakan total disebabkan pencurian kayu secara besar-besaran, gundul tanpa sisa.
Kesiapan masyarakat untuk membangun sumber daya hutan ditunjukkan dari kehadirannya mengikuti penyuluhan yang dilakukan oleh Perhutani merupakan modal dasar sehingga dapat optimis mengembalikan kelestarian hutan setempat. Kehadiran penduduk pesanggem sebagian besar atau 53,75% selalu mengikuti dengan seksama penyuluhan yang diberikan baik oleh aparat perhutani maupun aparat gabungan antara unsur tripika, sedangkan 26, 25% lainnya jarang mengikuti, dan 20% tidak pernah mengikuti penyuluhan. Tingkat pendidikan rendah, hasil penelitian yang menujukkan bahwa sebagian besar tidak tamat SD sebesar 68,75% atau 55 orang, dan sisanya adalah tamat SD sebesar 6,25%, SLTP tidak tamat sebesar 12,50%, SLTA tamat sebesar 12,50%. Menyimak dari tingkat pendidikan yang rata-rata rendah berpengaruh terhadap tingkat pemahaman tentang fungsi hutan sebagai pengatur tata iklim juga rendah. Dari 80 responden yang pemahamannya tinggi hanya sebesar 25% atau 20 orang, 40 orang lainnya atau 50% mengaku tidak paham yang dipentingkan adalah tercukupinya kebuituhan hariannya saja. 25% mengetahui fungsi hutan optimal namum mereka terbentur oleh tuntutan jaman. Responden dalam kategori usia produktif yaitu 65,50% berusia 26 -50, selebihnya 31,25% berusia 51 – 75th. Usia KK (Kepala Keluarga) yang produktif ini memiliki tanggung jawab yang lebih untuk menghidupi perekonomian keluarganya. Kesiapan mereka untuk membangun sumber daya hutan yang ada dilihat dari strategi yang dijalankan pengelola menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hal itu dilihat dari jawaban responden sebagian besar 58,75% setuju tanpa syarat mengganti tanaman ketela dengan tanaman yang disarankan pengelola, 16,25% lainnya setuju dengan syarat mereka diberi tambahan luasan lahan borgan. 25% lainnya atau 20 orang tidak setuju mengganti tanaman ketela. Keterampilan merata di bidang pertanian mendorong untuk memanfaatkan lahan hutan sebagai lahan pertanian. Penguasaan borgan terluas mencapai 4,1 – 8 ha atau dikuasai 2,50% pesanggem. Luasan 2,1 – 4 ha oleh 3,75% dan 75% pesanggem menguasai borgan sebesar antara < 0,5 ha, lainnnya antara 0,6 ha hingga 2 ha.
Faktor Pendukung dan Penghambatnya.
Hasil dari tanaman ketela atau ubi kayu tersebut sangatlah menguntungkan pesanggem, selain mudah dalam penanamannya, ketela juga mudah dalam penjualannya hal ini didukung oleh banyaknya pabrik tepung tapioka yang beroperasi di wilayah Kecamatan Cluwak. Hasil penelitian 62,50% responden dengan luasan borgan antara 0,25 ha-0,5 ha mampu menghasilkan ketela seberat 1001 – 2000 kg. Harga satuan per kg sekitar Rp 600, 00. hasil yang terbanyak dari luasan yang sama bahkan mampu menghasilkan ketela sekitar 5.000 kg.
Hal ini dikarenakan penduduk sangat terampil dalam mengelola lahan khususnya di bidang pertanian dan penduduk juga dapat memanfaatkan lahan hutan yang kosong untuk mencari pengahasilan sesuai dengan keahliannya sekaligus mempunyai tujuan dapat mengembalikan hutan dan memanfaatkannya. Sehingga penduduk lebih memilih bekerja sebagai pesanggem dan memanfaatkan lahan hutan tersebut dari pada mencari pekerjaan lain.
Selain bekerja sebagai pesanggem, penduduk sekitar hutan juga mempunyai mata pencaharian lain untuk sampingan dalam mencukupi kebutuhan selain pekerjaan pokok. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menujukkan sebagian besar mempunyai pekerjaan sampingan sebagai pedagang di pasar lokal sebesar 46,25%, pengepul ketela pohon sebesar 7,5%, sebagai buruh bangunan 23,75%, sopir 6,25%, buruh tani sebesar 12,50%, .
Dampak perubahan pemanfaatan lahan hutan oleh penduduk sangat berdampak positif bagi keselarasan lingkungan hidup, hal ini dikarenakan lahan yang tidak berfungsi atau gundul ditanamai ketela pohon sebagai land cover, harapannya dapat menghambat laju erosi sekaligus memperbaiki kondisi perekonomian yang mampu menjaga kestabilan secara umum. Selain berdampak pada lahan hutan atau lingkungan hidup untuk kedepannya, nilai tambah juga dilakukan oleh penduduk sekitar hutan karena penduduk dapat berkerja secara maksimal tanpa meninggalkan desa (tidak menambah urbanisasi). Manfaat lain dari perubahan lahan hutan oleh penduduk sangat berdampak besar bagi kehidupan masyarakat desa sekitar hutan yang bekerja sebagai pesanggem yaitu penduduk dilatih agar bisa mandiri dan tidak mengganggu hutan.
Solusi Yang Efektif
Dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bersama membangun kembali hutan setempat yang rusak demi pengembalian dan perbaikan kondisi hutan agar lestari dan dapat berfungsi optimal dengan jalan agroforestry. Melalui program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dibutuhkan kerjasama antar instansi, LMDH dan pesanggem dengan meningkatkan intensitas komunikasi, dan mendengarkan aspirasi masyarakat. Pembenahan perlu dilakukan utamanya yang berhubungan dengan transparansi dalam pembagian hasil, pembagian volume dan jenis pekerjaan, pembagian tanggung jawab, dan arah komando yang jelas.
Peran LMDH dalam menjembatani antara pengelola dan masyarakat dan pengelolaan hutan sudah teruji, seperti yang telah didokumenkan pengelola dapat dilihat pada grafik berikut.
Perhutani, 2004
Gambar 3. Peran LMDH dalam Pembangunan SDH
Menurut Perhutani kesuksesan LMDH dalam melestarikan hutan tergantung dari kerapatan tanaman pokok. Semakin rapat tanaman pokok, semakin sukses program LMDH tersebut. Untuk pembagian kerja, waktu dan tanggung jawab telah diatur dan ditetapkan sesuai seksi yang telah disetujui bersama antar stakeholder. Ketentuan untuk pembagian hasil hutan dari program PHBM usaha produktif yang dapat berupa barang atau uang berdasarkan hasil kesepakatan yang diatur bedasarkan musyawarah atau kesepakatan sesuai kontribusi yang diberikan masing-masing pihak dalam suatu perjanjian. Pesanggem wajib untuk menanam dan merawat tegakan hutan Gesengan berupa jati, mindi, dan akasia. Bibit dari tanaman pokok diperoleh dari Perhutani, hasil dari penjarangan dilakukan jika tanaman jati berusia 10-20 tahun dan untuk non jati (akasia ataupun mindi) jika berusia 8-10 tahun disesuaikan dengan kesuksesan potensi hutan yang telah tercantum dalam perjanjian tertulis yang telah disepakati. Untuk pesanggem diberi pajak Rp 80 ribu/tahun, untuk tanaman jati Rp 40 ribu/tahun untuk tanaman non jati yaitu tanaman akasia ataupun mindi.
Keterangan: Tanaman tegakan
1m 1m Tanaman PLDT
Gambar 4. Pola Tanam
Hasil pendapatan dari pajak tanaman pokok di gunakan untuk kas LMDH dan Desa. Perjanjian atau kesepakatan yang dibuat di tiap-tiap LMDH tidak sama atau berbeda-beda, hal ini dikarenakan LMDH diberi suatu kewenangan oleh Perhutani untuk mengatur kegiatan rumah tangga sendiri (lembaga) seperti dalam melakukan perjanjian pembagian hasil atau pemilihan bibit Pemanfaatan Lahan Dibawah Tegakan (PLDT) yang telah disepakati dengan jarak 1 meter antara tanaman pokok dan tanaman penyela.
Untuk tanaman PLDT bibit didapat dari pesanggem dan pemilihan bibit disepakati bersama oleh LMDH. Desa Gesengan dan sekitarnya tanaman PLDT berupa tanaman ketela. Hasil dari tanaman PLDT digunakan untuk mensejahterakan pesanggem pada masing-masing petak dalam melakukan penanaman dan perawatan tanaman pokok.
Pencurian secara besar-besaran oleh masyarakat, berbekal pendapatan dan pendidikan yang rendah menyebabkan para pesanggem berusaha memanfatkan lahan hutan bertani ketela pohon dengan memperpendek jarak antara tegakan hutan dan tanaman pertanian. Untuk membangun hutan optimal diperlukan pendekatan persuasif untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang perlunya melestarikan hutan.
DAFTAR PUSTAKA
Baiquni, M., 2007. Strategi Penghidupan di Masa Krisis. IdeAs Media, Yogyakarta
Indriyanto, 2008. Pengantar Budi Daya Hutan, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Nazir Moh., 1999. Metode Penelitian, Jakarta, Ghalia Indonesia.
Purwanto, Teguh. 1989. Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Desa Hutan Dalam Pembangunan dan Pelestarian Hutan.
Pamulardi Bambang, 1995. Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, Jakarta: CV.Eko Jaya.
Salim, 2006. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta, Sinar Grafika.
Simon, Hasanu, 1993. Hutan Jati dan Kemakmuran. Adtya media, Yogyakarta.
Perum Perhutani, 1996. Penerapan Pembinaan Masyarakat Desa Hutan Dalam Pengelolaan Hutan. Semarang: Perum Perhutani Unit I Jateng.
................, 1999. Pedoman Pembinaan Masyarakat Desa Hutan Dalam Pengelolaan Hutan. Perum Perhutani Unit I Jateng.
................, 2000. Neraca Potensi Daya Hutan BKPH Ngarengan. Perum Perhutani Kesatuan Peangkuan Hutan Pati.
................, 2001. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Semarang: Perum Perhutani Unit I Jateng.
..............., 2002. Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Semarang: Perum Perhutani Unit I Jateng.
..............., 2002. Pedoman Berbagi Hasil Hutan Kayu. Jakarta.
..............., 2003. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Pati: Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Pati.
..............., 2007. Petunjuk Pelaksanaan Evaluasi Potensi Sumberdaya Hutan. Semarang: Perum Perhutani Unit I Jateng.
................, 2007. Pedoman Pengamanan Hutan Lestari. Jakarta
Zain, Alam Setia, 1997. Hukum Lingkungan Konservasi Hutan, Jakarta: Rineka Cipta.
PEMANFAATAN PANTAI KARST KABUPATEN GUNUNGKIDUL
PEMANFAATAN PANTAI KARST KABUPATEN GUNUNGKIDUL
Dra. Astrid Damayanti, M.Si , Ranum Ayuningtyas, S.Si, Anindita Dyah K, S.Si
e-mail : astridd_maya@yahoo.com, ranum.tiga@gmail.com, misao_sikepang@yahoo.com
Departemen Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia
ABSTRAK
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dan memiliki panjang pantai 95.181 km (Anonim, 2006) menempati posisi ke-4 setelah Kanada, Amerika Serikat, dan Rusia. Pantai di Indonesia menawarkan beragam keindahan alamnya yang bernilai jual tinggi untuk kegiatan pariwisata, olahraga kebaharian, dan sangat potensial bagi pengembangan ekonomi nasional baik karena potensi ruang dan kekayaan alamnya maupun nilai estetikanya. Walaupun memiliki potensi yang besar, kegiatan ekonomi penduduk Indonesia di wilayah pantai masih berorientasi ke daratan (Damayanti, 2001).
Pulau Jawa yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi menyebabkan tingginya kepekaan pantai terhadap pencemaran dan gangguan lingkungan lainnya akibat pembangunan perkotaan, permukiman, perikanan dan pelabuhan serta pengrusakan lain yang mungkin ditimbulkan oleh pemanasan global. Kondisi tersebut juga berpotensi terjadi pada Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak di selatan Pulau Jawa yang pantainya menghadap ke Samudera Hindia. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki kondisi pantai yang berbeda jika dibandingkan kondisi pantai di utara Jawa. Walaupun demikian, pantai di selatan Yogyakarta memiliki potensi yang sama dengan pantai di utara Jawa namun harus dibedakan cara pembangunan dan pemanfaatannya karena pantai di selatan Yogyakarta kondisi memiliki karakteristik yang berbeda dalam hal kondisi lokasi (menghadap ke Samudera Hindia), geologi dan bathimetri pantai. Oleh karena itu informasi akan karakteristik lingkungan pantai sangat diperlukan agar pemanfaatan kekayaan alam menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan sehingga perubahan tataguna ruang tidak melebihi daya dukungnya
Kabupaten Gunungkidul, adalah salah satu kabupaten yang memiliki pantai yang menghadap langsung ke Samudera Hindia. Pantai di Kabupaten Gunungkidul merupakan daerah yang memiliki karakteristik yang sangat khas dan berbeda dengan daerah lainnya, Gunungkidul merupakan daerah karst dan di bagian utaranya merupakan daerah alluvial yang keduanya memiliki karakteristik masing-masing. Wilayah karst yang terkenal tandus memiliki pantai yang juga memiliki sifat karst menyimpan banyak potensi untuk berbagai kegiatan ekonomi.
Pantai karst di Kabupaten Gunungkidul tepatnya Pantai Objek Wisata Baron, Kukup, Sepanjang, Drini, Krakal, Ngandong, dan Sundak memiliki persamaan dalam hal kondisi geologi, genesa, dan proses pembentukan morfologi pantai, namun demikian untuk setiap pantainya memiliki karakteristik lingkungan pantai yang berbeda-beda. Perbedaan karakteristik lingkungan dibuktikan dengan terdapatnya perbedaan bentuk pantai dan diameter butir sedimen, perbedaan ini juga harus diketahui kaitannya dengan kondisi gelombang, arus laut, suhu, salinitas, dan pH laut pada masing-masing pantainya. Dengan mengetahui kaitan antara kondisi fisik dan kimia pantai, maka kelak juga diketahui potensi masing-masing pantai. Dengan demikian diharapkan daerah tersebut dapat membangun dan mengembangkan kemampuan ekonomi disesuaikan dengan kondisi lingkungannya, berkelanjutan dengan memperhatikan kondisi dan menjaga keseimbangan lingkungan hidup.
1.2 Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Pantai yang menjadi daerah penelitian masing-masing memiliki persamaan dalam hal kondisi geologi, genesa, dan proses pembentukan morfologi pantai, namun memiliki perbedaan karakteristik lingkungan secara fisik dan kimiawi. Adapun pertanyaan penelitian yaitu :
1. Bagaimanakah karakteristik lingkungan pantai karst di daerah penelitian ?
2. Bagaimana pemanfaatan pantai karst di daerah penelitian saat ini dan dimasa yang akan datang ?
1.3 Tujuan Penelitian
Mengetahui dan memahami keadaan atau kondisi morfologi lingkungan dan proses yang terjadi pada pantai karst yang menjadi daerah penelitian. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan masyarakat sekitar pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya, agar pemanfaatan dan pengembangan potensi kawasan pantai di daerah karst tetap mempertimbangkan kelestarian lingkungannya.
Sedangkan sasaran penelitian ini adalah :
1. Mengetahui karakteristik lingkungan pantai karst di daerah penelitian
2. Mengetahui pemanfaatan pantai karst di daerah penelitian
1.4 Batasan dan Definisi Oprasional
1. Pantai adalah bagian dari muka bumi yang merupakan garis khayal tempat bertemunya daratan dan perairan, dari muka air laut rata-rata terendah sampai muka air laut rata-rata tertinggi (Sandy, 1996).
2. Karst adalah adalah bentukan muka bumi yang sangat unik yang merupakan hasil dari erosi bawah tanah yang memiliki batuan induk seperti limestone dan marbel yang terlarutkan oleh air.
3. Pantai karst adalah bagian dari muka bumi mulai dari muka air laut rata-rata terendah sampai muka air laut rata-rata tertinggi. Pada bagian tersebut terdapat akumulasi dari sedimen lepas seperti kerikil, pasir, yang memiliki karakteristik bentukan dari hasil pelarutan kapur oleh agen air yang memiliki bahan batuan induk kebanyakan seperti limestone, marbel dan dolomite.
4. Karakteristik lingkungan pantai adalah gambaran kondisi lingkungan pantai yang khas mencakup kondisi fisik dan kimianya berupa : lereng gisik, energi gelombang, diameter butir sedimen, salinitas air laut, suhu air laut, dan pH air laut.
5. Lereng Gisik/pantai adalah besar sudut yang terbentuk antara permukaan pantai dengan sumbu garis datar dalam satuan derajat.
6. Energi gelombang adalah daya hasil dari gangguan yang merambat pada media air laut yang berpindah dari satu tempat kepada tempat lain tanpa mengakibatkan partikel medium berpindah secara permanen; yaitu tidak ada perpindahan secara masal dalam satuan joule.
7. Diameter butir sedimen adalah ukuran segmen garis yang melalui titik pusat dan menghubungkan dua titik pada butir sedimen dalam satuan milimeter.
8. Salinitas air laut adalah kadar garam yang terkandung dalam air laut dalam satuan permil (‰)
9. Suhu air laut adalah indikasi jumlah energi (panas) yang terdapat dalam satu sistem atau massa dalam satuan derajat celcius (°C)
10. pH air laut adalah derajat keasaman air laut
1.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Daerah penelitian meliputi pantai Baron, Kukup, Sepanjang, Drini, Krakal, Ngandong dan Sundak di Kabupaten Gunungkidul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif dengan menekankan pada pendekatan kualitatif sebagai penunjang dari hasil analisis spasial.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
1. lereng pantai, dengan parameter besar sudut lereng gisik/pantai dalam satuan derajat (°) kemudian dikonvert ke dalam satuan persen (%);
2. energi gelombang, dengan parameter :
a. besar energi gelombang dalam satuan joule;
b. tipe gelombangnya;
3. butir sedimen, dengan parameter :
a. diameter butir sedimennya dalam satuan millimeter (mm);
b. warna butir sedimen untuk mengetahui asal sedimennya.
4. Salinitas air laut, dengan parameter banyaknya garam yang terlarut dalam 1 iter air laut
5. Suhu air laut, dengan parameter jumlah energi (panas) yang terdapat pada luasan area tertentu dalam satuan derajat celcius (°C)
6. Derajat keasaman air laut, dengan parameter kandungan elektrolit H+ yang terdapat pada air laut pada luasan area tertentu
Setelah mendapatkan data sebagai parameter dari variabel-variabel, data yang didapatkan kemudian dikelaskan dan dapat dibuat matriksnya. Pengkelasan datanya seperti berikut :
Tabel 1. Kelas Lereng Gisik/pantai
Lereng Gisik
Presentase Lereng (%) Kategori
0 - 2 Datar
2 - 15 Datar Bergelombang
15 - 25 Bergelombang
25 - 40 Terjal
> 40 Curam
Sumber : Pethick, 1984
Tabel 2. Kelas Energi Gelombang
Energi Gelombang
Joule Kategori
≥ 1871 Kuat
< 1871 Lemah
Sumber : Pethick, 1984
Tabel 3. Kelas Diameter Butir Sedimen
Diameter Butir Sedimen
Phi Kategori
-1 – 0 Sangat Kasar
0 - +1 Kasar
+1 - + 2 Medium
+2 - +3 Halus
+3 - +4 Sangat Halus
Sumber : Wenthworth dalam Pethick, 1984
Tabel 4. Kelas Salinitas Air Laut
Salinitas
‰ Kategori
< 28 ‰ Rendah
28 - 34 ‰ Sedang
> 34 ‰ Tinggi
Sumber: Direktorat Jendral Perikanan Budidaya Dinas Perikanan dan Kelautan
Tabel 5. Kelas Suhu Air Laut
Suhu
°C Kategori
> 35 °C Tinggi
26 - 35 °C Sedang
< 26 °C Rendah
Sumber: Direktorat Jendral Perikanan Budidaya Dinas Perikanan dan Kelautan
Tabel 6. Kelas Keasaman Air Laut
Derajat Keasaman
pH Kategori
8,5 - 9 Basa tinggi
7,5 - 8,5 Basa rendah
7 Netral
Sumber: Direktorat Jendral Perikanan Budidaya Dinas Perikanan dan Kelautan
1.6 Analisis Data
Penelitian mengkaji data-data yang sudah diolah secara spasial yang kemudian dianalis lebih lanjut untuk dapat menjawab pertanyaan penelitian dengan cara analisis deskriptif secara spasial untuk mengetahui karakteristik lingkungan masing-masing pantai dengan mendeskripsikan bagaimana kondisi lereng gisik/pantai, butir sedimen, energi gelombang, salinitas air laut, suhu air laut dan pH air laut pada masing masing pantai dan kaitan dengan pemafaatannya.
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil survey lapang, pengolahan data dan hasil analisis spasial didapatkan informasi bahwa karakteristik lingkungan pantai karst pada wilayah penelitian dari barat ke timur memiliki karakteristik lingkungan pantai yang berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pemanfaatan pantai oleh warga yang tinggal di sekitar pantai. Berikut akan dibahas secara rinci karakteristik lingkungan dan pemanfaatan masing-masing pantai :
2.1 Karakteristik Lingkungan Pantai Baron dan Pemanfaatannya
Pantai Baron adalah pantai yang letaknya paling barat pada daerah penelitian. Pantai Baron memiliki kemiringan lereng pantai atau gisik sebesar 4,86° atau 8,5% yang termasuk jenis lereng datar bergelombang (lihat Peta 4). Pantai Baron memiliki jenis batuan gamping dengan tingkat pelapukan fisik sedang hingga kuat. Dengan jenis batuan dasar berupa gamping, tanah yang terbentuk di pantai ini termasuk jenis Mediteran.
Lebar sedimen pada pantai Baron adalah 61 m, lebar sedimen Pantai Baron adalah lebar sedimen yang paling besar pada daerah penelitian. Hal ini didukung dengan kondisi Pantai Baron yang berlereng landai sehingga membuat jangkauan pasang surut litoral pantai sangat jauh. Berdasarkan hasil observasi dan perhitungan, jangkauan pasang surut litoral pada Pantai Baron sekitar 61 meter.
Jangkauan pasang surut yang cukup panjang memberikan banyak energi tambahan gelombang laut pada Pantai Baron untuk mengikis pantainya. Energi gelombang pada Pantai Baron adalah 2193 joule (termasuk kedalam kelas energi gelombang kuat, lihat Peta 5), energi gelombang tersebut berasal dari hempasan gelombang laut yang pecah di pantai pada breaker zone yang tidak terlalu jauh jaraknya terhadap garis pantai. Gelombang tersebut tidak lepas dari kontribusi angin yang berhembus pada Pantai Baron yang kecepatannya sebesar 44,2 meter tiap detik. Pantai Baron yang yang bentuk pantainya menjorok ke darat dan memiliki muara sungai membuat pantainya memiliki fluktuasi yang cukup tinggi terhadap perubahan bentuk aliran sungainya. Muara sungai memberikan pengaruh yang cukup kuat pada karakteristik sedimen pada pantai dan aliran sungai menuju samudera. Pengaruh ombak dan tidak terdapatnya halangan pada pantai (barrier) membuat Pantai Baron sangat mudah tererosi namun dengan tenaga yang jauh lebih kecil karena lereng gisik pantai yang landai.
Diameter butir sedimen pantai Baron sebesar 0,515 mm, ukuran butir sedimen yang cukup halus untuk pantai karst. Butir sedimen Pantai Baron termasuk ke dalam jenis sedimen pasir medium (lihat Peta 3) dengan Φ = 0.957 (skala Wenthworth) yang merupakan hasil bentukan dari 2 (dua) hal, yaitu sedimentasi materi yang diendapkan sungai bawah tanah yang bermuara ke pantai dan hasil pengikisan laut. Namun jika dibandingkan dengan kondisi butir sedimen pada pantai lain, butir sedimen pada Pantai Baron memiliki ciri khas, yaitu lebih halus dan berwarna lebih gelap (hitam). Warna butir sedimen Pantai Baron yang gelap menunjukkan bahwa butir sedimen tersebut berasal dari sungai yang bermuara di pantainya.
Pantai Baron memiliki kisaran salinitas antara 28 – 31 ‰. Bagian selatan memiliki nilai salinitas yang rendah. Hal ini disebabkan karena di pantai Baron terdapat muara sungai bawah tanah. Pada muara sungai ini terjadi pertemuan antara air tawar dari sungai dengan air laut sehingga salinitas airnnya pun menjadi lebih kecil dibandingkan dengan salinitas air di pantai-pantai lainnya di wilayah penelitian.
Suhu air laut di pantai Baron berkisar antara 26 - 30˚ C. Suhu udara di bagian utara dimana terdapat muara sungai bawah tanah lebih rendah dibanding bagian selatan.
Derajat keasaman air laut di pantai Baron merupakan yang terendah diantara pantai-pantai di Gunungkidul yaitu sebesar 7,5. Hal ini disebabkan oleh adanya muara sungai bawah tanah di pantai Baron yang menyebabkan terjadinya percampuran antara air tawar dengan air laut. Keasaman air laut di bagian selatan pantai Baron atau di dekat muara sungai bawah tanah mendekati 7. Sedangkan di bagian utaranya yaitu wilayah yang jauh dari muara sungai besarnya PH berkisar antara 7,5 dan 8.
Pantai Baron yang memiliki jangkauan pasang surut yang cukup panjang serta kondisi lereng pantai yang landai menjadikan pantai ini mudah untuk dilewati perahu nelayan penduduk sekitar, oleh karena itu kegiatan perikanan laut tangkap menjadi salah satu pemanfaatan pantai oleh warga sekitar yang mendatangkan kesejahteraan penduduk sekitarnya. Selain itu pula, terdapatnya fenomena muara sungai di pantai yang memiliki debit air yang deras dapat dimanfaatkan oleh penduduk sekitar sebagai sumber air bersih dan pembangkit tenaga listrik. Pemanfaatan pantai Baron lainnya adalah untuk pariwisata, karena kondisi alam pantai Baron yang indah dengan butir sedimen yang halus. Dengan adanya pemanfaatan pantai sebagai pariwisata, penduduk juga memiliki kesempatan lebih untuk menambah pendapatan dengan menjadi penjual souvenir pariwisata pantai serta fasilitas penunjang pariwisata lainnya seperti restoran atau rumah makan, penginapan atau resort dan lainnya.
2.2 Karakteristik Lingkungan Pantai Kukup dan Pemanfaatannya
Pantai Kukup memiliki topografi yang tergolong berombak (undulating) dengan kemiringan lereng pantai atau gisik sebesar 6,74° atau 11,8% yang termasuk ke dalam kelas lereng datar bergelombang. Pantai Kukup memiliki jenis batuan gamping dengan tingkat pelapukan fisik sedang hingga kuat. Dengan jenis batuan dasar berupa gamping, tanah yang terbentuk di pantai ini termasuk jenis Mediteran.
Lebar sedimen pada Pantai Kukup adalah 18,5 meter, dan jangkauan pasang surut litoral pada pantainya 18,4 meter. Jangkauan pasang surut litoral sangat pendek jika dibandingkan dengan Pantai Baron, hal ini disebabkan oleh lereng Pantai Kukup yang curam.
Energi gelombang pada Pantai Kukup adalah 3560 joule termasuk ke dalam kelas energi gelombang kuat. Energi gelombang tersebut berasal dari hempasan gelombang laut yang pecah di pantai pada breaker zone, akibat gelombang, arus laut dan kecepatan anginnya sebesar 69 meter perdetik.
Pantai Kukup memiliki diameter butir sedimen sebesar 1,225 mm dengan warna sedimen yang cerah, butir sedimen Pantai Kukup termasuk kedalam jenis sedimen pasir sangat kasar (lihat Peta 3) yaitu Φ = -0.293 (skala Wenthworth). Warna butir sedimen yang cerah diakibatkan karena tidak adanya muara sungai pada pantai Kukup, hal ini menunjukkan bahwa butir sedimen dari Pantai Kukup berasal dari kikisan dasar laut. Namun berdasarkan hasil pengolahan data di laboratorium terdapat butir sedimen yang berwarna hitam yang jumlahnya sangat sedikit (minoritas). Hal ini disebabkan sampel sedimen tersebut diambil dekat dengan karang pantai. Hal ini juga menunjukkan bahwa butir sedimen yang dekat dengan cliff berasal dari hasil kikisan tebing pantai tersebut.
Berdasarkan pengambilan sampel air laut di sekitar pantai Kukup, maka didapatkan salinitas air laut sekitar 33 ‰. Suhu air laut di perairan pantai Kukup berkisar antara 32 – 35 ˚ C. Suhu air perairan yang terlindung oleh pulau-pulau karang lebih rendah dibanding dengan suhu air di perairan yang terbuka. Derajat keasaman air laut di perairan pantai Kukup adalah sebesar 9.
Pantai Kukup adalah salah satu pantai tujuan wisata di Kabupaten Gunungkidul yang sangat menarik, pada pantai ini terdapat pulau karang dan memiliki karang yang menempel tepat pada pinggir pantainya. Pemanfaatan pantai sebagai kawasan tujuan pariwisata juga dapat dimanfaatkan penduduk dengan menyediakan fasilitas penunjang pariwisata seperti penginapan, restoran atau rumah makan, tempat belanja souvenir pantai, serta show room ikan hias, karena di pantai Kukup banyak nelayan ikan yang sengaja menangkan biota laut yang terjebak di karang-karang ketika pantai surut, biasanya biota ini memiliki kondisi fisik yang cantik dengan warna-warna yang bervariasi seperti ikan, bintang laut, dan bulu babi.
Selain pemanfaatan pantai sebagai tujuan pariwisata, dan ikan hias laut, pantai Kukup juga dapat dimafaatkan sebagai sumber budidaya rumput laut. Pantai Kukup yang memiliki karang yang menempel dengan pantai menjadi habitat yang baik bagi rumput laut didukung pula dengan kondisi kimia air laut pada pantai ini yang cocok untuk budidaya rumput laut. Namun pemanfaatan rumput laut saat ini tidak maksimal, dan pemanenannya masih menggunakan alat yang dapat merusak substratnya yaitu karang. Oleh karena itu hendaknya pemafaatan pantai sebagai budidaya rumput laut dapat diusahakan agar lebih maksimal lagi dengan menerapkan metode pengembagan budidaya rumput laut dengan alat pemanen yang tidak merusak karang sebagi substrat rumput lautnya.
2.3 Karakteristik Lingkungan Pantai Sepanjang dan Pemanfaatannya
Sesuai dengan namanya, Pantai Sepanjang adalah pantai yang bentuknya memanjang dari barat ke timur, dan tidak memiliki pulau karang yang menghalangi (tidak memiliki barrier). Pantai Sepanjang memiliki topografi yang tergolong berombak (undulating) dengan kemiringan lereng pantai atau gisik sebesar 21,28° atau 11,8% termasuk ke dalam kelas lereng curam. Pantai Sepanjang memiliki jenis batuan gamping dengan tingkat pelapukan fisik sedang hingga kuat. Dengan jenis batuan dasar berupa gamping, tanah yang terbentuk di pantai ini termasuk jenis Mediteran.
Lebar sedimen pada Pantai Sepanjang adalah 10,6 m, dengan jangkauan pasang surut litoral padanya hanya 9,82 meter. Jangkauan pasang surut litoral sangat pendek jika dibandingkan dengan pantai yang lainnya, hal ini disebabkan oleh lereng pantai Sepanjang yang curam.
Dengan kondisi jangkauan pasang surut yang kecil, pantai Sepanjang tidak mendapatkan kontribusi yang besar dalam menambah energi pada pantainya untuk proses pengikisan. Energi gelombang pada Pantai Sepanjang adalah 4036 joule, termasuk ke dalam kelas energi gelombang kuat. Energi gelombang tersebut berasal dari hempasan gelombang laut yang pecah di pantai pada breaker zone yang tidak terlalu jauh jaraknya terhadap garis pantai yang dipengaruhi juga oleh kecepatan angin yang berhembus dengan kecepatan 43.9 meter tiap detik.
Pantai Sepanjang memiliki diameter butir sedimen sebesar 1,225 mm, butir sedimen pantai ini termasuk kedalam jenis sedimen pasir sangat kasar (lihat Peta 3) yaitu Φ = -0.293 (skala Wenthworth). Butir sedimennya berwarna cerah merata hampir pada semua bagian pantainya yang merupakan hasil dari pengikisan dasar laut yang diendapkan pada pantai.
Besar salinitas air laut di perairan pantai Sepanjang berkisar antara 33 - 34 ‰. Semakin menjauhi garis pantai, salinitas air laut semakin tinggi. Suhu air laut perairan pantai Sepanjang berkisar antara 33 - 35 ˚ C. Derajat keasaman air laut perairan pantai Sepanjang berkisar antara 8 – 9.
Kondisi fisik pantai Sepanjang dengan lereng yang curam, jangkauan pasang surut yang pendek, energi gelombang yang kuat membuat pantai ini tidak dapat dimanfaatkan untuk bidang perikanan tangkap. Namun kondisi kimia air lautnya cocok untuk budidaya rumput laut, tetapi pemanfaatan rumput laut juga kurang dapat dimaksimalkan karena para petani rumput lautnya enggan datang ke pantai ini karena akses jalan menuju pantainya yang sulit. Dimasa yang akan datang hendaknya diadakan pembangunan jalan sebagai akses untuk menuju ke pantai sehingga dapat meningkatkan potensi pemanfaatan pantai sebagai kawasan pariwisata, budidaya rumput dan cagar alam pantai karst.
2.4 Karakteristik Lingkungan Pantai Drini dan Pemanfaatannya
Pantai Drini adalah pantai yang memiliki topografi berombak (undulating) dengan kemiringan lereng gisik sebesar 10° atau 17,63% termasuk ke dalam kelas lereng bergelombang. Jenis batuannya adalah batuan gamping dengan tingkat pelapukan fisik sedang hingga kuat yang membentuk jenis tanah Mediteran.
Energi gelombang pada Pantai Drini adalah 908 joule, termasuk ke dalam kelas energi gelombang lemah, hal ini juga didukung dengan kecepatan angin yang berhembus yaitu 55 meter tiap detik. Berdasarkan hasil perhitungan nilai indeks hempasan gelombang (K), maka diketahui bahwa gelombang laut pada Pantai Drini memiliki nilai 0,003 termasuk tipe plunging karena nilai indeksnya di antara 0,003 – 0,007 (lihat Peta 5).
Pantai Drini memiliki diameter butir sedimen sebesar 0,725 mm. Butir sedimen pantai ini termasuk ke dalam jenis sedimen pasir kasar (lihat Peta 3) yaitu Φ = 0.464 (skala Wenthworth). Butir sedimennya berwarna cerah merata hampir pada semua bagian pantainya, hal ini menunjukan bahwa butir sedimen pada Pantai Drini berasal dari hasil kikisan cliff dan dasar laut. Kecuali pada bagian tengah pantai terdapat pasir yang diameternya sangat halus dan berwarna hitam, sama seperti pasir yang terdapat pada Pantai Baron. Pasir tersebut terdapat pada bagian pantai Drini yang diperkirakan sebelumnya adalah sebuah muara sungai bawah tanah, yang saat ini muara sungainya sudah tidak lagi mengendapkan materi yang dikandungnya, karena debit airnya sangat kecil.
Sama seperti sebagian besar pantai di Gunungkidul, besar salinitas air laut di pantai Drini berkisar antara 33 - 34 ‰. Suhu air laut di pantai ini berkisar antara 33 – 36 ˚ C. Suhu air laut di bagian timur perairan pantai Drini lebih besar jika dibandingkan dengan suhu air laut pada bagian baratnya. Pada bagian barat perairan pantai Drini suhu air berkisar antara 33 – 34 ˚ C sedangkan pada bagian timur perairan suhu air laut berkisar antara 36 – 38 ˚ C. Derajat keasaman air laut di pantai Drini berkisar antara 8,5 – 9.
Pantai Drini dimanfaatkan sebagai pantai perikanan tangkap, walaupun kondisi fisik pantai Drini yang berlereng curam, namun bagian barat pantainya tidak memiliki karang yang menempel pada pantai, sehingga memudahkan nelayan untuk menangkap ikan menggunakan perahu. Oleh karena pantai Drini dapat menghasilkan komoditas perikanan, di pantai Drini terdapat pasar lelang ikan juga rumah makan. Bagian timur pantai yang terdapat karang yang menempel di pinggir pantai, sehingga pada bagian tersebut tidak dijadikan tempat menaruh perahu tetapi menjadi kawasan yang terlindung dari ombak yang didukung dengan kondisi kimia air laut yang cukup kondusif sehingga banyak ditumbuhi oleh rumput laut. Pemanfaatan budidaya rumput laut dapat dikembangkan dengan penanaman yang terawat serta metode pemanenan yang tetap menjaga kelestarian karang. Pemanfaatan pantai Drini juga dapat dikembangkan lagi ke bidang pertanian untuk budidaya tanaman drini yang merupakan tanaman khas dari pantai ini yang memiliki khasiat obat terhadap racun ular.
2.5 Karakteristik Lingkungan Pantai Krakal dan Pemanfaatannya
Pantai Krakal adalah pantai bentuk teluk yang membentuk sudut yang besar, sehingga memiliki pemandangan yang indah jika dilihat dari salah satu bagian ujung pantainya. Pantai Krakal memiliki topografi yang tergolong berombak (undulating) dengan kemiringan lereng pantai atau gisik sebesar 10,25° atau 18,08% termasuk ke dalam kondisi lereng pantai yang bergelombang. Pantai Krakal memiliki jenis batuan gamping dengan tingkat pelapukan fisik sedang hingga kuat, dengan jenis batuan dasar berupa gamping, maka tanah yang terbentuk di pantai ini termasuk jenis Mediteran.
Lebar sedimen pada pantai Krakal adalah 13.9 m, jangkauan pasang surut litoral pada pantai Krakal sekitar 13,4 meter. Jangkauan pasang surut litoral sangat pendek jika dibandingkan dengan Pantai Baron, hal ini disebabkan oleh lereng pantai Krakal yang curam.
Energi gelombang pada pantai Krakal adalah 166 joule, termasuk ke dalam kelas energi gelombang lemah. Energi gelombang tersebut berasal dari hempasan gelombang laut yang pecah di pantai pada breaker zone yang tidak terlalu jauh jaraknya dari garis pantai. Kecepatan angin di pantai Krakal adalah 73.4 meter per detik.
Pantai Krakal memiliki diameter butir sedimen sebesar 1,225 mm, butir sedimen pantai ini termasuk kedalam jenis sedimen pasir sangat kasar (lihat Peta 3) yaitu Φ = -0.293 (skala Wenthworth). Butir sedimennya berwarna cerah merata hampir pada semua bagian pantainya. Hal ini menunjukkan bahwa butir sedimen pada pantai Krakal berasal dari hasil kikisan dasar laut yang diendapkan di pantai.
Air laut di perairan pantai Krakal memiliki salinitas sebesar 33 ‰. Suhu air laut di perairan pantai Krakal berkisar antara 33 – 36 ˚ C. Semakin menjauhi garis pantai, suhu air laut semakin kecil. Besar derajat keasaman perairan pantai Krakal berkisar antara 8 – 8,5. nilai derajat keasaman di sepanjang pantai Krakal tidak memiliki variasi yang besar.
Pantai Krakal merupakan pantai yang memiliki bentuk menjorok ke darat seperti teluk yang besar, dengan karang yang menempel pada pinggir pantainya. Kondisi ini membuat pantai Krakal memiliki energy gelombang yang kecil sehingga energy yang sampai pada garis pantainya juga kecil, hal tersebut membuat pantai krakal mudah untuk dijadikan habitat hidup rumput laut. Hal ini juga didukung dengan terdapatnya karang yang menjadi substrat hidupnya rumput laut. Pemanfaatan rumput laut pada pantai Krakal dibilang sudah lebih maju dibandingkan dengan pantai yang lain, karena sudah dikelola dengan baik oleh Universitas Gadjah Mada untuk dimanfaatkan sebagai sumber protein.
Namun pantai Krakal belum memiliki akses listrik yang membuat pantai indah ini belum dapat mengembangkan pemanfaatannya ke bidang pariwisata. Pemanfaatan lain pantai Krakal adalah bidang pertanian ikan tangkap tanpa kapal dan tambang pasir serta cangkang kerang untuk dijual ke pengrajin souvenir pariwisata pantai yang biasanya terdapat di pantai Baron.
2.6 Karakteristik Lingkungan Pantai Ngandong dan Pemanfaatannya
Pantai Ngandong adalah pantai kecil yang terletak di antara pantai Krakal dan Sundak. Pantai Ngandong memiliki topografi yang tergolong berombak (undulating) dengan kemiringan lereng pantai atau gisik sebesar 13° atau 23,08% termasuk ke dalam kelas lereng pantai bergelombang (lihat gambar 9). Pantai Ngandong memiliki jenis batuan gamping dengan tingkat pelapukan fisik sedang hingga kuat. Dengan jenis batuan dasar berupa gamping, tanah yang terbentuk di pantai ini termasuk jenis Mediteran.
Lebar sedimen pada Pantai Ngandong adalah 12,33 meter, dengan jangkauan pasang surut litoral pada Pantai Ngandong sekitar 12 meter. Hal ini disebabkan oleh lereng Pantai Ngandong yang curam. Jangkauan pasang surut yang pendek tidak memberikan kontibusi banyak untuk tambahan energi gelombang pada pantainya.
Energi gelombang pada Pantai Ngandong adalah 2193 joule termasuk ke dalam kelas energi gelombang kuat. Energi gelombang tersebut berasal dari hempasan gelombang laut yang pecah di pantai pada breaker zone yang tidak terlalu jauh jaraknya terhadap garis pantai. Akibat dari kekerasan batuan yang tidak homogen, membuat Pantai Ngandong memiliki bentuk pantai yang tidak teratur. Hal ini juga diperkuat dengan tidak terdapatnya penghalang (barrier) di muka pantai yang membuat daratan pada pantai mudah tererosi oleh ombak.
Pantai Ngandong memiliki diameter butir sedimen sebesar 0,725 mm, butir sedimen pantai ini termasuk ke dalam jenis sedimen pasir kasar (lihat Peta 3) yaitu Φ = 0.464 (skala Wenthworth). Butir sedimennya berwarna cerah merata hampir pada semua bagian pantainya. Hal ini menunjukkan bahwa butir sedimen pada Pantai Ngandong berasal dari hasil kikisan dasar laut yang kemudian diendapkan di pantai.
Pantai Ngandong memiliki salinitas air laut sebesar 33 ‰. Suhu air laut di perairan pantai Ngandong rata-rata sebesar 33 ˚ C. Nilai derajat keasaman perairan pantai Ngandong sebagian besar bernilai 8.
Pemanfaatan pantai Ngandong sangat terbatas, yaitu hanya dibidang perikanan tangkap saja, karena hamper setengah daerah pantai Ngandong merupakan pantai pribadi (private beach) yang kurang dapat diakses oleh masyarakat umum. Pantai Ngandong tidak memiliki banyak karang yang menempel pada garis pantainya sehingga memudahkan nelayan untuk menjalankan perahunya. Kondisi inilah yang membuat pantai Ngandong cukup produktif dalam memanfaatakan potensi pantai dibidang perikanan sampai memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
2.7 Karakteristik Lingkungan Pantai Sundak dan Pemanfaatannya
Pantai Sundak adalah pantai yang terletak paling timur pada daerah penelitian. Pantai Sundak memiliki topografi yang tergolong berombak (undulating) dengan kemiringan lereng pantai atau gisik sebesar 19.87° atau 36,02% termasuk ke dalam kelas lereng terjal (lihat gambar 10a dan 10b). Pantai Sundak memiliki jenis batuan gamping dengan tingkat pelapukan fisik sedang hingga kuat. Dengan jenis batuan dasar berupa gamping, tanah yang terbentuk di pantai ini termasuk jenis Mediteran.
Lebar sedimen pada Pantai Sundak adalah 12,7 meter, dan jangkauan pasang surut litoral pada Pantai Sundak sekitar 12,685 meter. Jangkauan pasang surut litoral sangat pendek jika dibandingkan dengan Pantai Baron padahal lereng Pantai Sundak cukup landai. Jangkauan pasang surut yang pendek khusus untuk Pantai Sundak dikarenakan oleh Pantai Sundak memiliki karang yang menempel tepat di pinggir pantainya, sehingga bagian sedimen yang terdapat di pantai lebih sedikit dibandingkan dengan panjang sedimen yang terdapat di karangnya. Jangkauan pasang surut Pantai Sundak tidak memberikan kontribusi yang besar pada penambahan energi gelombang di Pantai Sundak.
Energi gelombang pada Pantai Sundak adalah 293,22 joule termasuk ke dalam kelas energi gelombang lemah. Energi gelombang tersebut berasal dari hempasan gelombang laut yang pecah di pantai yang menghancurkan daratan (abrasi pantai atau erosi laut) yang diperkuat dengan tidak adanya halangan (barrier) pada pantainya. Pantai Sundak memiliki kekerasan batuan yang cukup homogen. Hal ini terbukti dari bentuk Pantai Sundak yang memanjang teratur.
Pantai Sundak memiliki diameter butir sedimen sebesar 1,225 mm. Butir sedimen pantai ini termasuk kedalam jenis sedimen pasir sangat kasar (lihat Peta 3) yaitu Φ = -0.293 (skala Wenthworth). Butir sedimennya berwarna cerah merata hampir pada semua bagian pantainya. Butir sedimen Pantai Sundak berasal dari hasil kikisan dasar laut yang kemudian diendapkan di pantai.
Pantai Sundak memiliki salinitas air laut antara 32 – 33 ‰. Suhu perairan berkisar antara 33 – 36 ˚ C. Di perairan yang terlindungi suhu air laut lebih rendah dibanding dengan di perairan yang tidak terlindungi. Derajat keasaman perairan pantai Sundak berkisar antara 7,5 – 8,5. Pada bagian barat pantai Sundak dimana terdapat arch nilai derajat keasaman lebih rendah dibanding di bagian lainnya.
Pantai Sundak yang terdiri atas 2 bagian, yaitu pantai Sundak bagian barat yang dimanfatkan pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul sebagai kawasan pariwisata, dan pantai Sundak bagian timur yang merupakan pantai milik pribadi (private beach) yang sudah dimanfaatkan sebagai resort yang tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum. Pantai Sundak memiliki karang yang menempel pada pinggir pantainya sehingga pemanfaatan pantai untuk perikanan tidak dapat dilakukan, melainkan pemanfaatan budidaya rumput laut yang cukup besar dan tambang pasir serta cangkang kerang yang memang banyak terdapat pada pantai pantai Sundak (bagian barat) menjadikan pantai Sundak sebagai salah satu pemasok bahan mentah souvenir pariwisata pantai.
BAB III
KESIMPULAN
Karakteristik lingkungan pantai karst pada daerah penelitian dari barat ke timur memiliki karakteristik pantai yang berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pemanfaatan pantai oleh warga yang tinggal di sekitar pantai.
Pantai Karst di Kabupaten Gunungkidul dimanfaatakan untuk bidang perikanan tangkap, budidaya rumput laut, dan dijadikan cagar.
Peta – peta :
DAFTAR PUSTAKA
Bird, E. C. F. 1984. “An Introduction to Coastal Geomorphology” . Third edition.
Damayanti, Astrid. 2001. “Karakteristik beberapa Pantai Potensial di Daerah Istimewa Yogyakarta”, Jurnal Geografi, 02(7), hal 8-17, Departemen Geografi UI, Depok.
Kusnadi, Rachmat. 2001. “Geografi”, Grafindo Media Pratama, Bandung.
Longuet-higgins, M. 1970. “Longshore Currents Generated by Obluquely Incident Sea Waves” . J. Geopys Res
Pethick, John. 1984. “An Introduction to Coastal Geomorphology”, Edward Arnold, Mariland.
Purnama, Setyawan. 1992. “Petunjuk Praktikum Oseanografi”, Laboratorium Geomorfologi Dasar, Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Sandy, I. M. 1996. “Pantai dan Wilayah Pesisir. Dalam seminar sehari penerapan teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan pesisir ”, Jurusan Geografi FMIPA Universitas Indonesia, Jakarta.
Sullivan, Dr. Donald. 2001. Coastal Geological Materials . National Park Service, Additional image courtesy of, University of Denver. http://www.teachersdomain.org/resources/ess05/sci/ess/earthsys/coastenv/index.html (25 Okt. 2007)
Dra. Astrid Damayanti, M.Si , Ranum Ayuningtyas, S.Si, Anindita Dyah K, S.Si
e-mail : astridd_maya@yahoo.com, ranum.tiga@gmail.com, misao_sikepang@yahoo.com
Departemen Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia
ABSTRAK
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dan memiliki panjang pantai 95.181 km (Anonim, 2006) menempati posisi ke-4 setelah Kanada, Amerika Serikat, dan Rusia. Pantai di Indonesia menawarkan beragam keindahan alamnya yang bernilai jual tinggi untuk kegiatan pariwisata, olahraga kebaharian, dan sangat potensial bagi pengembangan ekonomi nasional baik karena potensi ruang dan kekayaan alamnya maupun nilai estetikanya. Walaupun memiliki potensi yang besar, kegiatan ekonomi penduduk Indonesia di wilayah pantai masih berorientasi ke daratan (Damayanti, 2001).
Pulau Jawa yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi menyebabkan tingginya kepekaan pantai terhadap pencemaran dan gangguan lingkungan lainnya akibat pembangunan perkotaan, permukiman, perikanan dan pelabuhan serta pengrusakan lain yang mungkin ditimbulkan oleh pemanasan global. Kondisi tersebut juga berpotensi terjadi pada Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak di selatan Pulau Jawa yang pantainya menghadap ke Samudera Hindia. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki kondisi pantai yang berbeda jika dibandingkan kondisi pantai di utara Jawa. Walaupun demikian, pantai di selatan Yogyakarta memiliki potensi yang sama dengan pantai di utara Jawa namun harus dibedakan cara pembangunan dan pemanfaatannya karena pantai di selatan Yogyakarta kondisi memiliki karakteristik yang berbeda dalam hal kondisi lokasi (menghadap ke Samudera Hindia), geologi dan bathimetri pantai. Oleh karena itu informasi akan karakteristik lingkungan pantai sangat diperlukan agar pemanfaatan kekayaan alam menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan sehingga perubahan tataguna ruang tidak melebihi daya dukungnya
Kabupaten Gunungkidul, adalah salah satu kabupaten yang memiliki pantai yang menghadap langsung ke Samudera Hindia. Pantai di Kabupaten Gunungkidul merupakan daerah yang memiliki karakteristik yang sangat khas dan berbeda dengan daerah lainnya, Gunungkidul merupakan daerah karst dan di bagian utaranya merupakan daerah alluvial yang keduanya memiliki karakteristik masing-masing. Wilayah karst yang terkenal tandus memiliki pantai yang juga memiliki sifat karst menyimpan banyak potensi untuk berbagai kegiatan ekonomi.
Pantai karst di Kabupaten Gunungkidul tepatnya Pantai Objek Wisata Baron, Kukup, Sepanjang, Drini, Krakal, Ngandong, dan Sundak memiliki persamaan dalam hal kondisi geologi, genesa, dan proses pembentukan morfologi pantai, namun demikian untuk setiap pantainya memiliki karakteristik lingkungan pantai yang berbeda-beda. Perbedaan karakteristik lingkungan dibuktikan dengan terdapatnya perbedaan bentuk pantai dan diameter butir sedimen, perbedaan ini juga harus diketahui kaitannya dengan kondisi gelombang, arus laut, suhu, salinitas, dan pH laut pada masing-masing pantainya. Dengan mengetahui kaitan antara kondisi fisik dan kimia pantai, maka kelak juga diketahui potensi masing-masing pantai. Dengan demikian diharapkan daerah tersebut dapat membangun dan mengembangkan kemampuan ekonomi disesuaikan dengan kondisi lingkungannya, berkelanjutan dengan memperhatikan kondisi dan menjaga keseimbangan lingkungan hidup.
1.2 Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Pantai yang menjadi daerah penelitian masing-masing memiliki persamaan dalam hal kondisi geologi, genesa, dan proses pembentukan morfologi pantai, namun memiliki perbedaan karakteristik lingkungan secara fisik dan kimiawi. Adapun pertanyaan penelitian yaitu :
1. Bagaimanakah karakteristik lingkungan pantai karst di daerah penelitian ?
2. Bagaimana pemanfaatan pantai karst di daerah penelitian saat ini dan dimasa yang akan datang ?
1.3 Tujuan Penelitian
Mengetahui dan memahami keadaan atau kondisi morfologi lingkungan dan proses yang terjadi pada pantai karst yang menjadi daerah penelitian. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan masyarakat sekitar pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya, agar pemanfaatan dan pengembangan potensi kawasan pantai di daerah karst tetap mempertimbangkan kelestarian lingkungannya.
Sedangkan sasaran penelitian ini adalah :
1. Mengetahui karakteristik lingkungan pantai karst di daerah penelitian
2. Mengetahui pemanfaatan pantai karst di daerah penelitian
1.4 Batasan dan Definisi Oprasional
1. Pantai adalah bagian dari muka bumi yang merupakan garis khayal tempat bertemunya daratan dan perairan, dari muka air laut rata-rata terendah sampai muka air laut rata-rata tertinggi (Sandy, 1996).
2. Karst adalah adalah bentukan muka bumi yang sangat unik yang merupakan hasil dari erosi bawah tanah yang memiliki batuan induk seperti limestone dan marbel yang terlarutkan oleh air.
3. Pantai karst adalah bagian dari muka bumi mulai dari muka air laut rata-rata terendah sampai muka air laut rata-rata tertinggi. Pada bagian tersebut terdapat akumulasi dari sedimen lepas seperti kerikil, pasir, yang memiliki karakteristik bentukan dari hasil pelarutan kapur oleh agen air yang memiliki bahan batuan induk kebanyakan seperti limestone, marbel dan dolomite.
4. Karakteristik lingkungan pantai adalah gambaran kondisi lingkungan pantai yang khas mencakup kondisi fisik dan kimianya berupa : lereng gisik, energi gelombang, diameter butir sedimen, salinitas air laut, suhu air laut, dan pH air laut.
5. Lereng Gisik/pantai adalah besar sudut yang terbentuk antara permukaan pantai dengan sumbu garis datar dalam satuan derajat.
6. Energi gelombang adalah daya hasil dari gangguan yang merambat pada media air laut yang berpindah dari satu tempat kepada tempat lain tanpa mengakibatkan partikel medium berpindah secara permanen; yaitu tidak ada perpindahan secara masal dalam satuan joule.
7. Diameter butir sedimen adalah ukuran segmen garis yang melalui titik pusat dan menghubungkan dua titik pada butir sedimen dalam satuan milimeter.
8. Salinitas air laut adalah kadar garam yang terkandung dalam air laut dalam satuan permil (‰)
9. Suhu air laut adalah indikasi jumlah energi (panas) yang terdapat dalam satu sistem atau massa dalam satuan derajat celcius (°C)
10. pH air laut adalah derajat keasaman air laut
1.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Daerah penelitian meliputi pantai Baron, Kukup, Sepanjang, Drini, Krakal, Ngandong dan Sundak di Kabupaten Gunungkidul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif dengan menekankan pada pendekatan kualitatif sebagai penunjang dari hasil analisis spasial.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
1. lereng pantai, dengan parameter besar sudut lereng gisik/pantai dalam satuan derajat (°) kemudian dikonvert ke dalam satuan persen (%);
2. energi gelombang, dengan parameter :
a. besar energi gelombang dalam satuan joule;
b. tipe gelombangnya;
3. butir sedimen, dengan parameter :
a. diameter butir sedimennya dalam satuan millimeter (mm);
b. warna butir sedimen untuk mengetahui asal sedimennya.
4. Salinitas air laut, dengan parameter banyaknya garam yang terlarut dalam 1 iter air laut
5. Suhu air laut, dengan parameter jumlah energi (panas) yang terdapat pada luasan area tertentu dalam satuan derajat celcius (°C)
6. Derajat keasaman air laut, dengan parameter kandungan elektrolit H+ yang terdapat pada air laut pada luasan area tertentu
Setelah mendapatkan data sebagai parameter dari variabel-variabel, data yang didapatkan kemudian dikelaskan dan dapat dibuat matriksnya. Pengkelasan datanya seperti berikut :
Tabel 1. Kelas Lereng Gisik/pantai
Lereng Gisik
Presentase Lereng (%) Kategori
0 - 2 Datar
2 - 15 Datar Bergelombang
15 - 25 Bergelombang
25 - 40 Terjal
> 40 Curam
Sumber : Pethick, 1984
Tabel 2. Kelas Energi Gelombang
Energi Gelombang
Joule Kategori
≥ 1871 Kuat
< 1871 Lemah
Sumber : Pethick, 1984
Tabel 3. Kelas Diameter Butir Sedimen
Diameter Butir Sedimen
Phi Kategori
-1 – 0 Sangat Kasar
0 - +1 Kasar
+1 - + 2 Medium
+2 - +3 Halus
+3 - +4 Sangat Halus
Sumber : Wenthworth dalam Pethick, 1984
Tabel 4. Kelas Salinitas Air Laut
Salinitas
‰ Kategori
< 28 ‰ Rendah
28 - 34 ‰ Sedang
> 34 ‰ Tinggi
Sumber: Direktorat Jendral Perikanan Budidaya Dinas Perikanan dan Kelautan
Tabel 5. Kelas Suhu Air Laut
Suhu
°C Kategori
> 35 °C Tinggi
26 - 35 °C Sedang
< 26 °C Rendah
Sumber: Direktorat Jendral Perikanan Budidaya Dinas Perikanan dan Kelautan
Tabel 6. Kelas Keasaman Air Laut
Derajat Keasaman
pH Kategori
8,5 - 9 Basa tinggi
7,5 - 8,5 Basa rendah
7 Netral
Sumber: Direktorat Jendral Perikanan Budidaya Dinas Perikanan dan Kelautan
1.6 Analisis Data
Penelitian mengkaji data-data yang sudah diolah secara spasial yang kemudian dianalis lebih lanjut untuk dapat menjawab pertanyaan penelitian dengan cara analisis deskriptif secara spasial untuk mengetahui karakteristik lingkungan masing-masing pantai dengan mendeskripsikan bagaimana kondisi lereng gisik/pantai, butir sedimen, energi gelombang, salinitas air laut, suhu air laut dan pH air laut pada masing masing pantai dan kaitan dengan pemafaatannya.
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil survey lapang, pengolahan data dan hasil analisis spasial didapatkan informasi bahwa karakteristik lingkungan pantai karst pada wilayah penelitian dari barat ke timur memiliki karakteristik lingkungan pantai yang berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pemanfaatan pantai oleh warga yang tinggal di sekitar pantai. Berikut akan dibahas secara rinci karakteristik lingkungan dan pemanfaatan masing-masing pantai :
2.1 Karakteristik Lingkungan Pantai Baron dan Pemanfaatannya
Pantai Baron adalah pantai yang letaknya paling barat pada daerah penelitian. Pantai Baron memiliki kemiringan lereng pantai atau gisik sebesar 4,86° atau 8,5% yang termasuk jenis lereng datar bergelombang (lihat Peta 4). Pantai Baron memiliki jenis batuan gamping dengan tingkat pelapukan fisik sedang hingga kuat. Dengan jenis batuan dasar berupa gamping, tanah yang terbentuk di pantai ini termasuk jenis Mediteran.
Lebar sedimen pada pantai Baron adalah 61 m, lebar sedimen Pantai Baron adalah lebar sedimen yang paling besar pada daerah penelitian. Hal ini didukung dengan kondisi Pantai Baron yang berlereng landai sehingga membuat jangkauan pasang surut litoral pantai sangat jauh. Berdasarkan hasil observasi dan perhitungan, jangkauan pasang surut litoral pada Pantai Baron sekitar 61 meter.
Jangkauan pasang surut yang cukup panjang memberikan banyak energi tambahan gelombang laut pada Pantai Baron untuk mengikis pantainya. Energi gelombang pada Pantai Baron adalah 2193 joule (termasuk kedalam kelas energi gelombang kuat, lihat Peta 5), energi gelombang tersebut berasal dari hempasan gelombang laut yang pecah di pantai pada breaker zone yang tidak terlalu jauh jaraknya terhadap garis pantai. Gelombang tersebut tidak lepas dari kontribusi angin yang berhembus pada Pantai Baron yang kecepatannya sebesar 44,2 meter tiap detik. Pantai Baron yang yang bentuk pantainya menjorok ke darat dan memiliki muara sungai membuat pantainya memiliki fluktuasi yang cukup tinggi terhadap perubahan bentuk aliran sungainya. Muara sungai memberikan pengaruh yang cukup kuat pada karakteristik sedimen pada pantai dan aliran sungai menuju samudera. Pengaruh ombak dan tidak terdapatnya halangan pada pantai (barrier) membuat Pantai Baron sangat mudah tererosi namun dengan tenaga yang jauh lebih kecil karena lereng gisik pantai yang landai.
Diameter butir sedimen pantai Baron sebesar 0,515 mm, ukuran butir sedimen yang cukup halus untuk pantai karst. Butir sedimen Pantai Baron termasuk ke dalam jenis sedimen pasir medium (lihat Peta 3) dengan Φ = 0.957 (skala Wenthworth) yang merupakan hasil bentukan dari 2 (dua) hal, yaitu sedimentasi materi yang diendapkan sungai bawah tanah yang bermuara ke pantai dan hasil pengikisan laut. Namun jika dibandingkan dengan kondisi butir sedimen pada pantai lain, butir sedimen pada Pantai Baron memiliki ciri khas, yaitu lebih halus dan berwarna lebih gelap (hitam). Warna butir sedimen Pantai Baron yang gelap menunjukkan bahwa butir sedimen tersebut berasal dari sungai yang bermuara di pantainya.
Pantai Baron memiliki kisaran salinitas antara 28 – 31 ‰. Bagian selatan memiliki nilai salinitas yang rendah. Hal ini disebabkan karena di pantai Baron terdapat muara sungai bawah tanah. Pada muara sungai ini terjadi pertemuan antara air tawar dari sungai dengan air laut sehingga salinitas airnnya pun menjadi lebih kecil dibandingkan dengan salinitas air di pantai-pantai lainnya di wilayah penelitian.
Suhu air laut di pantai Baron berkisar antara 26 - 30˚ C. Suhu udara di bagian utara dimana terdapat muara sungai bawah tanah lebih rendah dibanding bagian selatan.
Derajat keasaman air laut di pantai Baron merupakan yang terendah diantara pantai-pantai di Gunungkidul yaitu sebesar 7,5. Hal ini disebabkan oleh adanya muara sungai bawah tanah di pantai Baron yang menyebabkan terjadinya percampuran antara air tawar dengan air laut. Keasaman air laut di bagian selatan pantai Baron atau di dekat muara sungai bawah tanah mendekati 7. Sedangkan di bagian utaranya yaitu wilayah yang jauh dari muara sungai besarnya PH berkisar antara 7,5 dan 8.
Pantai Baron yang memiliki jangkauan pasang surut yang cukup panjang serta kondisi lereng pantai yang landai menjadikan pantai ini mudah untuk dilewati perahu nelayan penduduk sekitar, oleh karena itu kegiatan perikanan laut tangkap menjadi salah satu pemanfaatan pantai oleh warga sekitar yang mendatangkan kesejahteraan penduduk sekitarnya. Selain itu pula, terdapatnya fenomena muara sungai di pantai yang memiliki debit air yang deras dapat dimanfaatkan oleh penduduk sekitar sebagai sumber air bersih dan pembangkit tenaga listrik. Pemanfaatan pantai Baron lainnya adalah untuk pariwisata, karena kondisi alam pantai Baron yang indah dengan butir sedimen yang halus. Dengan adanya pemanfaatan pantai sebagai pariwisata, penduduk juga memiliki kesempatan lebih untuk menambah pendapatan dengan menjadi penjual souvenir pariwisata pantai serta fasilitas penunjang pariwisata lainnya seperti restoran atau rumah makan, penginapan atau resort dan lainnya.
2.2 Karakteristik Lingkungan Pantai Kukup dan Pemanfaatannya
Pantai Kukup memiliki topografi yang tergolong berombak (undulating) dengan kemiringan lereng pantai atau gisik sebesar 6,74° atau 11,8% yang termasuk ke dalam kelas lereng datar bergelombang. Pantai Kukup memiliki jenis batuan gamping dengan tingkat pelapukan fisik sedang hingga kuat. Dengan jenis batuan dasar berupa gamping, tanah yang terbentuk di pantai ini termasuk jenis Mediteran.
Lebar sedimen pada Pantai Kukup adalah 18,5 meter, dan jangkauan pasang surut litoral pada pantainya 18,4 meter. Jangkauan pasang surut litoral sangat pendek jika dibandingkan dengan Pantai Baron, hal ini disebabkan oleh lereng Pantai Kukup yang curam.
Energi gelombang pada Pantai Kukup adalah 3560 joule termasuk ke dalam kelas energi gelombang kuat. Energi gelombang tersebut berasal dari hempasan gelombang laut yang pecah di pantai pada breaker zone, akibat gelombang, arus laut dan kecepatan anginnya sebesar 69 meter perdetik.
Pantai Kukup memiliki diameter butir sedimen sebesar 1,225 mm dengan warna sedimen yang cerah, butir sedimen Pantai Kukup termasuk kedalam jenis sedimen pasir sangat kasar (lihat Peta 3) yaitu Φ = -0.293 (skala Wenthworth). Warna butir sedimen yang cerah diakibatkan karena tidak adanya muara sungai pada pantai Kukup, hal ini menunjukkan bahwa butir sedimen dari Pantai Kukup berasal dari kikisan dasar laut. Namun berdasarkan hasil pengolahan data di laboratorium terdapat butir sedimen yang berwarna hitam yang jumlahnya sangat sedikit (minoritas). Hal ini disebabkan sampel sedimen tersebut diambil dekat dengan karang pantai. Hal ini juga menunjukkan bahwa butir sedimen yang dekat dengan cliff berasal dari hasil kikisan tebing pantai tersebut.
Berdasarkan pengambilan sampel air laut di sekitar pantai Kukup, maka didapatkan salinitas air laut sekitar 33 ‰. Suhu air laut di perairan pantai Kukup berkisar antara 32 – 35 ˚ C. Suhu air perairan yang terlindung oleh pulau-pulau karang lebih rendah dibanding dengan suhu air di perairan yang terbuka. Derajat keasaman air laut di perairan pantai Kukup adalah sebesar 9.
Pantai Kukup adalah salah satu pantai tujuan wisata di Kabupaten Gunungkidul yang sangat menarik, pada pantai ini terdapat pulau karang dan memiliki karang yang menempel tepat pada pinggir pantainya. Pemanfaatan pantai sebagai kawasan tujuan pariwisata juga dapat dimanfaatkan penduduk dengan menyediakan fasilitas penunjang pariwisata seperti penginapan, restoran atau rumah makan, tempat belanja souvenir pantai, serta show room ikan hias, karena di pantai Kukup banyak nelayan ikan yang sengaja menangkan biota laut yang terjebak di karang-karang ketika pantai surut, biasanya biota ini memiliki kondisi fisik yang cantik dengan warna-warna yang bervariasi seperti ikan, bintang laut, dan bulu babi.
Selain pemanfaatan pantai sebagai tujuan pariwisata, dan ikan hias laut, pantai Kukup juga dapat dimafaatkan sebagai sumber budidaya rumput laut. Pantai Kukup yang memiliki karang yang menempel dengan pantai menjadi habitat yang baik bagi rumput laut didukung pula dengan kondisi kimia air laut pada pantai ini yang cocok untuk budidaya rumput laut. Namun pemanfaatan rumput laut saat ini tidak maksimal, dan pemanenannya masih menggunakan alat yang dapat merusak substratnya yaitu karang. Oleh karena itu hendaknya pemafaatan pantai sebagai budidaya rumput laut dapat diusahakan agar lebih maksimal lagi dengan menerapkan metode pengembagan budidaya rumput laut dengan alat pemanen yang tidak merusak karang sebagi substrat rumput lautnya.
2.3 Karakteristik Lingkungan Pantai Sepanjang dan Pemanfaatannya
Sesuai dengan namanya, Pantai Sepanjang adalah pantai yang bentuknya memanjang dari barat ke timur, dan tidak memiliki pulau karang yang menghalangi (tidak memiliki barrier). Pantai Sepanjang memiliki topografi yang tergolong berombak (undulating) dengan kemiringan lereng pantai atau gisik sebesar 21,28° atau 11,8% termasuk ke dalam kelas lereng curam. Pantai Sepanjang memiliki jenis batuan gamping dengan tingkat pelapukan fisik sedang hingga kuat. Dengan jenis batuan dasar berupa gamping, tanah yang terbentuk di pantai ini termasuk jenis Mediteran.
Lebar sedimen pada Pantai Sepanjang adalah 10,6 m, dengan jangkauan pasang surut litoral padanya hanya 9,82 meter. Jangkauan pasang surut litoral sangat pendek jika dibandingkan dengan pantai yang lainnya, hal ini disebabkan oleh lereng pantai Sepanjang yang curam.
Dengan kondisi jangkauan pasang surut yang kecil, pantai Sepanjang tidak mendapatkan kontribusi yang besar dalam menambah energi pada pantainya untuk proses pengikisan. Energi gelombang pada Pantai Sepanjang adalah 4036 joule, termasuk ke dalam kelas energi gelombang kuat. Energi gelombang tersebut berasal dari hempasan gelombang laut yang pecah di pantai pada breaker zone yang tidak terlalu jauh jaraknya terhadap garis pantai yang dipengaruhi juga oleh kecepatan angin yang berhembus dengan kecepatan 43.9 meter tiap detik.
Pantai Sepanjang memiliki diameter butir sedimen sebesar 1,225 mm, butir sedimen pantai ini termasuk kedalam jenis sedimen pasir sangat kasar (lihat Peta 3) yaitu Φ = -0.293 (skala Wenthworth). Butir sedimennya berwarna cerah merata hampir pada semua bagian pantainya yang merupakan hasil dari pengikisan dasar laut yang diendapkan pada pantai.
Besar salinitas air laut di perairan pantai Sepanjang berkisar antara 33 - 34 ‰. Semakin menjauhi garis pantai, salinitas air laut semakin tinggi. Suhu air laut perairan pantai Sepanjang berkisar antara 33 - 35 ˚ C. Derajat keasaman air laut perairan pantai Sepanjang berkisar antara 8 – 9.
Kondisi fisik pantai Sepanjang dengan lereng yang curam, jangkauan pasang surut yang pendek, energi gelombang yang kuat membuat pantai ini tidak dapat dimanfaatkan untuk bidang perikanan tangkap. Namun kondisi kimia air lautnya cocok untuk budidaya rumput laut, tetapi pemanfaatan rumput laut juga kurang dapat dimaksimalkan karena para petani rumput lautnya enggan datang ke pantai ini karena akses jalan menuju pantainya yang sulit. Dimasa yang akan datang hendaknya diadakan pembangunan jalan sebagai akses untuk menuju ke pantai sehingga dapat meningkatkan potensi pemanfaatan pantai sebagai kawasan pariwisata, budidaya rumput dan cagar alam pantai karst.
2.4 Karakteristik Lingkungan Pantai Drini dan Pemanfaatannya
Pantai Drini adalah pantai yang memiliki topografi berombak (undulating) dengan kemiringan lereng gisik sebesar 10° atau 17,63% termasuk ke dalam kelas lereng bergelombang. Jenis batuannya adalah batuan gamping dengan tingkat pelapukan fisik sedang hingga kuat yang membentuk jenis tanah Mediteran.
Energi gelombang pada Pantai Drini adalah 908 joule, termasuk ke dalam kelas energi gelombang lemah, hal ini juga didukung dengan kecepatan angin yang berhembus yaitu 55 meter tiap detik. Berdasarkan hasil perhitungan nilai indeks hempasan gelombang (K), maka diketahui bahwa gelombang laut pada Pantai Drini memiliki nilai 0,003 termasuk tipe plunging karena nilai indeksnya di antara 0,003 – 0,007 (lihat Peta 5).
Pantai Drini memiliki diameter butir sedimen sebesar 0,725 mm. Butir sedimen pantai ini termasuk ke dalam jenis sedimen pasir kasar (lihat Peta 3) yaitu Φ = 0.464 (skala Wenthworth). Butir sedimennya berwarna cerah merata hampir pada semua bagian pantainya, hal ini menunjukan bahwa butir sedimen pada Pantai Drini berasal dari hasil kikisan cliff dan dasar laut. Kecuali pada bagian tengah pantai terdapat pasir yang diameternya sangat halus dan berwarna hitam, sama seperti pasir yang terdapat pada Pantai Baron. Pasir tersebut terdapat pada bagian pantai Drini yang diperkirakan sebelumnya adalah sebuah muara sungai bawah tanah, yang saat ini muara sungainya sudah tidak lagi mengendapkan materi yang dikandungnya, karena debit airnya sangat kecil.
Sama seperti sebagian besar pantai di Gunungkidul, besar salinitas air laut di pantai Drini berkisar antara 33 - 34 ‰. Suhu air laut di pantai ini berkisar antara 33 – 36 ˚ C. Suhu air laut di bagian timur perairan pantai Drini lebih besar jika dibandingkan dengan suhu air laut pada bagian baratnya. Pada bagian barat perairan pantai Drini suhu air berkisar antara 33 – 34 ˚ C sedangkan pada bagian timur perairan suhu air laut berkisar antara 36 – 38 ˚ C. Derajat keasaman air laut di pantai Drini berkisar antara 8,5 – 9.
Pantai Drini dimanfaatkan sebagai pantai perikanan tangkap, walaupun kondisi fisik pantai Drini yang berlereng curam, namun bagian barat pantainya tidak memiliki karang yang menempel pada pantai, sehingga memudahkan nelayan untuk menangkap ikan menggunakan perahu. Oleh karena pantai Drini dapat menghasilkan komoditas perikanan, di pantai Drini terdapat pasar lelang ikan juga rumah makan. Bagian timur pantai yang terdapat karang yang menempel di pinggir pantai, sehingga pada bagian tersebut tidak dijadikan tempat menaruh perahu tetapi menjadi kawasan yang terlindung dari ombak yang didukung dengan kondisi kimia air laut yang cukup kondusif sehingga banyak ditumbuhi oleh rumput laut. Pemanfaatan budidaya rumput laut dapat dikembangkan dengan penanaman yang terawat serta metode pemanenan yang tetap menjaga kelestarian karang. Pemanfaatan pantai Drini juga dapat dikembangkan lagi ke bidang pertanian untuk budidaya tanaman drini yang merupakan tanaman khas dari pantai ini yang memiliki khasiat obat terhadap racun ular.
2.5 Karakteristik Lingkungan Pantai Krakal dan Pemanfaatannya
Pantai Krakal adalah pantai bentuk teluk yang membentuk sudut yang besar, sehingga memiliki pemandangan yang indah jika dilihat dari salah satu bagian ujung pantainya. Pantai Krakal memiliki topografi yang tergolong berombak (undulating) dengan kemiringan lereng pantai atau gisik sebesar 10,25° atau 18,08% termasuk ke dalam kondisi lereng pantai yang bergelombang. Pantai Krakal memiliki jenis batuan gamping dengan tingkat pelapukan fisik sedang hingga kuat, dengan jenis batuan dasar berupa gamping, maka tanah yang terbentuk di pantai ini termasuk jenis Mediteran.
Lebar sedimen pada pantai Krakal adalah 13.9 m, jangkauan pasang surut litoral pada pantai Krakal sekitar 13,4 meter. Jangkauan pasang surut litoral sangat pendek jika dibandingkan dengan Pantai Baron, hal ini disebabkan oleh lereng pantai Krakal yang curam.
Energi gelombang pada pantai Krakal adalah 166 joule, termasuk ke dalam kelas energi gelombang lemah. Energi gelombang tersebut berasal dari hempasan gelombang laut yang pecah di pantai pada breaker zone yang tidak terlalu jauh jaraknya dari garis pantai. Kecepatan angin di pantai Krakal adalah 73.4 meter per detik.
Pantai Krakal memiliki diameter butir sedimen sebesar 1,225 mm, butir sedimen pantai ini termasuk kedalam jenis sedimen pasir sangat kasar (lihat Peta 3) yaitu Φ = -0.293 (skala Wenthworth). Butir sedimennya berwarna cerah merata hampir pada semua bagian pantainya. Hal ini menunjukkan bahwa butir sedimen pada pantai Krakal berasal dari hasil kikisan dasar laut yang diendapkan di pantai.
Air laut di perairan pantai Krakal memiliki salinitas sebesar 33 ‰. Suhu air laut di perairan pantai Krakal berkisar antara 33 – 36 ˚ C. Semakin menjauhi garis pantai, suhu air laut semakin kecil. Besar derajat keasaman perairan pantai Krakal berkisar antara 8 – 8,5. nilai derajat keasaman di sepanjang pantai Krakal tidak memiliki variasi yang besar.
Pantai Krakal merupakan pantai yang memiliki bentuk menjorok ke darat seperti teluk yang besar, dengan karang yang menempel pada pinggir pantainya. Kondisi ini membuat pantai Krakal memiliki energy gelombang yang kecil sehingga energy yang sampai pada garis pantainya juga kecil, hal tersebut membuat pantai krakal mudah untuk dijadikan habitat hidup rumput laut. Hal ini juga didukung dengan terdapatnya karang yang menjadi substrat hidupnya rumput laut. Pemanfaatan rumput laut pada pantai Krakal dibilang sudah lebih maju dibandingkan dengan pantai yang lain, karena sudah dikelola dengan baik oleh Universitas Gadjah Mada untuk dimanfaatkan sebagai sumber protein.
Namun pantai Krakal belum memiliki akses listrik yang membuat pantai indah ini belum dapat mengembangkan pemanfaatannya ke bidang pariwisata. Pemanfaatan lain pantai Krakal adalah bidang pertanian ikan tangkap tanpa kapal dan tambang pasir serta cangkang kerang untuk dijual ke pengrajin souvenir pariwisata pantai yang biasanya terdapat di pantai Baron.
2.6 Karakteristik Lingkungan Pantai Ngandong dan Pemanfaatannya
Pantai Ngandong adalah pantai kecil yang terletak di antara pantai Krakal dan Sundak. Pantai Ngandong memiliki topografi yang tergolong berombak (undulating) dengan kemiringan lereng pantai atau gisik sebesar 13° atau 23,08% termasuk ke dalam kelas lereng pantai bergelombang (lihat gambar 9). Pantai Ngandong memiliki jenis batuan gamping dengan tingkat pelapukan fisik sedang hingga kuat. Dengan jenis batuan dasar berupa gamping, tanah yang terbentuk di pantai ini termasuk jenis Mediteran.
Lebar sedimen pada Pantai Ngandong adalah 12,33 meter, dengan jangkauan pasang surut litoral pada Pantai Ngandong sekitar 12 meter. Hal ini disebabkan oleh lereng Pantai Ngandong yang curam. Jangkauan pasang surut yang pendek tidak memberikan kontibusi banyak untuk tambahan energi gelombang pada pantainya.
Energi gelombang pada Pantai Ngandong adalah 2193 joule termasuk ke dalam kelas energi gelombang kuat. Energi gelombang tersebut berasal dari hempasan gelombang laut yang pecah di pantai pada breaker zone yang tidak terlalu jauh jaraknya terhadap garis pantai. Akibat dari kekerasan batuan yang tidak homogen, membuat Pantai Ngandong memiliki bentuk pantai yang tidak teratur. Hal ini juga diperkuat dengan tidak terdapatnya penghalang (barrier) di muka pantai yang membuat daratan pada pantai mudah tererosi oleh ombak.
Pantai Ngandong memiliki diameter butir sedimen sebesar 0,725 mm, butir sedimen pantai ini termasuk ke dalam jenis sedimen pasir kasar (lihat Peta 3) yaitu Φ = 0.464 (skala Wenthworth). Butir sedimennya berwarna cerah merata hampir pada semua bagian pantainya. Hal ini menunjukkan bahwa butir sedimen pada Pantai Ngandong berasal dari hasil kikisan dasar laut yang kemudian diendapkan di pantai.
Pantai Ngandong memiliki salinitas air laut sebesar 33 ‰. Suhu air laut di perairan pantai Ngandong rata-rata sebesar 33 ˚ C. Nilai derajat keasaman perairan pantai Ngandong sebagian besar bernilai 8.
Pemanfaatan pantai Ngandong sangat terbatas, yaitu hanya dibidang perikanan tangkap saja, karena hamper setengah daerah pantai Ngandong merupakan pantai pribadi (private beach) yang kurang dapat diakses oleh masyarakat umum. Pantai Ngandong tidak memiliki banyak karang yang menempel pada garis pantainya sehingga memudahkan nelayan untuk menjalankan perahunya. Kondisi inilah yang membuat pantai Ngandong cukup produktif dalam memanfaatakan potensi pantai dibidang perikanan sampai memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
2.7 Karakteristik Lingkungan Pantai Sundak dan Pemanfaatannya
Pantai Sundak adalah pantai yang terletak paling timur pada daerah penelitian. Pantai Sundak memiliki topografi yang tergolong berombak (undulating) dengan kemiringan lereng pantai atau gisik sebesar 19.87° atau 36,02% termasuk ke dalam kelas lereng terjal (lihat gambar 10a dan 10b). Pantai Sundak memiliki jenis batuan gamping dengan tingkat pelapukan fisik sedang hingga kuat. Dengan jenis batuan dasar berupa gamping, tanah yang terbentuk di pantai ini termasuk jenis Mediteran.
Lebar sedimen pada Pantai Sundak adalah 12,7 meter, dan jangkauan pasang surut litoral pada Pantai Sundak sekitar 12,685 meter. Jangkauan pasang surut litoral sangat pendek jika dibandingkan dengan Pantai Baron padahal lereng Pantai Sundak cukup landai. Jangkauan pasang surut yang pendek khusus untuk Pantai Sundak dikarenakan oleh Pantai Sundak memiliki karang yang menempel tepat di pinggir pantainya, sehingga bagian sedimen yang terdapat di pantai lebih sedikit dibandingkan dengan panjang sedimen yang terdapat di karangnya. Jangkauan pasang surut Pantai Sundak tidak memberikan kontribusi yang besar pada penambahan energi gelombang di Pantai Sundak.
Energi gelombang pada Pantai Sundak adalah 293,22 joule termasuk ke dalam kelas energi gelombang lemah. Energi gelombang tersebut berasal dari hempasan gelombang laut yang pecah di pantai yang menghancurkan daratan (abrasi pantai atau erosi laut) yang diperkuat dengan tidak adanya halangan (barrier) pada pantainya. Pantai Sundak memiliki kekerasan batuan yang cukup homogen. Hal ini terbukti dari bentuk Pantai Sundak yang memanjang teratur.
Pantai Sundak memiliki diameter butir sedimen sebesar 1,225 mm. Butir sedimen pantai ini termasuk kedalam jenis sedimen pasir sangat kasar (lihat Peta 3) yaitu Φ = -0.293 (skala Wenthworth). Butir sedimennya berwarna cerah merata hampir pada semua bagian pantainya. Butir sedimen Pantai Sundak berasal dari hasil kikisan dasar laut yang kemudian diendapkan di pantai.
Pantai Sundak memiliki salinitas air laut antara 32 – 33 ‰. Suhu perairan berkisar antara 33 – 36 ˚ C. Di perairan yang terlindungi suhu air laut lebih rendah dibanding dengan di perairan yang tidak terlindungi. Derajat keasaman perairan pantai Sundak berkisar antara 7,5 – 8,5. Pada bagian barat pantai Sundak dimana terdapat arch nilai derajat keasaman lebih rendah dibanding di bagian lainnya.
Pantai Sundak yang terdiri atas 2 bagian, yaitu pantai Sundak bagian barat yang dimanfatkan pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul sebagai kawasan pariwisata, dan pantai Sundak bagian timur yang merupakan pantai milik pribadi (private beach) yang sudah dimanfaatkan sebagai resort yang tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum. Pantai Sundak memiliki karang yang menempel pada pinggir pantainya sehingga pemanfaatan pantai untuk perikanan tidak dapat dilakukan, melainkan pemanfaatan budidaya rumput laut yang cukup besar dan tambang pasir serta cangkang kerang yang memang banyak terdapat pada pantai pantai Sundak (bagian barat) menjadikan pantai Sundak sebagai salah satu pemasok bahan mentah souvenir pariwisata pantai.
BAB III
KESIMPULAN
Karakteristik lingkungan pantai karst pada daerah penelitian dari barat ke timur memiliki karakteristik pantai yang berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pemanfaatan pantai oleh warga yang tinggal di sekitar pantai.
Pantai Karst di Kabupaten Gunungkidul dimanfaatakan untuk bidang perikanan tangkap, budidaya rumput laut, dan dijadikan cagar.
Peta – peta :
DAFTAR PUSTAKA
Bird, E. C. F. 1984. “An Introduction to Coastal Geomorphology” . Third edition.
Damayanti, Astrid. 2001. “Karakteristik beberapa Pantai Potensial di Daerah Istimewa Yogyakarta”, Jurnal Geografi, 02(7), hal 8-17, Departemen Geografi UI, Depok.
Kusnadi, Rachmat. 2001. “Geografi”, Grafindo Media Pratama, Bandung.
Longuet-higgins, M. 1970. “Longshore Currents Generated by Obluquely Incident Sea Waves” . J. Geopys Res
Pethick, John. 1984. “An Introduction to Coastal Geomorphology”, Edward Arnold, Mariland.
Purnama, Setyawan. 1992. “Petunjuk Praktikum Oseanografi”, Laboratorium Geomorfologi Dasar, Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Sandy, I. M. 1996. “Pantai dan Wilayah Pesisir. Dalam seminar sehari penerapan teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan pesisir ”, Jurusan Geografi FMIPA Universitas Indonesia, Jakarta.
Sullivan, Dr. Donald. 2001. Coastal Geological Materials . National Park Service, Additional image courtesy of, University of Denver. http://www.teachersdomain.org/resources/ess05/sci/ess/earthsys/coastenv/index.html (25 Okt. 2007)
Langganan:
Postingan (Atom)