Jumat, 22 Juli 2011

Parameter Dalam Prediksi Laju Erosi Menggunakan Model WEPP

Pendugaan laju erosi menggunakan model WEPP versi hillslope profile adalah mirip dengan pendugaan menggunakan model USLE dengan sedikit perbedaan. Dalam pendugaan laju erosi menggunakan model WEPP, WEPP membagi proses erosi menjadi dua yaitu berdasarkan proses pelepasan partikel tanah di area antarparit yang disebabkan oleh hujan dan aliran permukaan serta proses pelepasan atau pengendapan tanah yang terjadi di area parit dan (Russel, 2001). Wilayah yang menjadi daerah penelitian adalah areal antarparit dan parit yang dipilih berdasarkan kemiringan lereng, keadaan tanah, dan penggunaan lahan (Russel, 2001). Dalam proses penghitungan laju erosi menggunakan model WEPP, ada beberapa komponen yang sangat berpengaruh dalam memperkirakan laju erosi yang terjadi, komponen tersebut antara lain adalah sebagai berikut.
1. Komponen Tanah
Komponen tanah dalam WEPP adalah yang paling berpengaruh menentukan laju erosi yang terjadi. Hal ini terkait dengan erodibilitas tanah, kapasitas infiltrasi tanah dan kapasitas transportasi sedimen. Menurut Russel (1973), air hanya akan mengalir di permukaan tanah apabila jumlah air hujan lebih besar daripada kemampuan tanah untuk menginfiltrasikan air ke lapisan yang lebih dalam. Dengan menurunnya porositas tanah, karena sebagian pori-pori tertutup oleh partikel tanah yang halus, maka laju infiltrasi akan semakin berkurang. Sebagai akibatnya aliran air di permukaan akan semakin bertambah banyak. Aliran air di permukaan mempunyai akibat yang lebih banyak. Dengan semakin banyaknya air yang mengalir di permukaan tanah maka akan semakin bertambah banyak pula tanah yang terkikis dan terangkut aliran yang kemudian dilanjutkan menuju sungai dan akhirnya diendapkan.
Erodibilitas tanah atau faktor kepekaan erosi tanah merupakan daya tanah baik terhadap pelepasan dan pengangkutan, terutama tergantung pada sifat-sifat tanah seperti tekstur, stabilitas agregat, kekuatan geser, kapasitas infiltrasi, kandungan bahan organik dan kimiawi. Disamping itu, juga tergantung posisi topografi, kemiringan lereng, dan gangguan oleh manusia (Suripin, 2001:73). Erodibilitas tanah juga merupakan salah satu parameter yang sangat berpengaruh terhadap laju pelepasan partikel tanah (detachment) yang terjadi di areal antarparit dan areal parit. Di dalam WEPP, penghitungan nilai erodibilitas tanah dibedakan menjadi dua, yaitu untuk daerah yang telah diolah (cropland) dan untuk daerah yang tidak diolah sama sekali (rangeland). Dari kedua jenis penggunaan lahan tersebut, kemudian WEPP membagi lagi menjadi dua metode penghitungan untuk mengukur besarnya erodiibilitas tanah, yaitu untuk tanah dengan kandungan pasir yang sama atau lebih dari 30% dan yang kurang dari 30%.
Selain itu kondisi fisik tanah turut berpengaruh dalam menentukan tegangan kritis tanah. Tegangan kritis tanah adalah kekuatan tanah dalam menahan air. Untuk tanah dengan kandungan pasir kurang dari 30% ditetapkan sebesar 3,5 Pa. Sedangkan untuk tanah dengan kandungan pasir >30% ditetapkan dengan rumus:
τc = 2,67 + 0,065clay -0,058Vfs
(Flanagan dan Livingston, 1995; Alberts et al., 1995)
Dimana τc adalah tegangan kritis tanah (Pa), Vfs adalah fraksi pasir sangat halus dan clay adalah prosentase kandungan liat dalam tanah.
Untuk menghitung erodibilitas tanah dan tegangan kritis tanah diperlukan suatu analisa beberapa unsur tanah yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tersebut adalah adalah struktur tanah, kandungan pasir kasar, pasir halus, debu, bahan organik, dan tegangan geser yang dapat diperoleh dari hasil uji laboratorium.

2. Komponen Hidrologi
Komponen hidrologi dalam penggunaan WEPP berkaitan dengan parameter curah hujan, intensitas hujan, debit aliran dan aliran permukaan. Hujan adalah faktor utama yang mengendalikan berlangsungnya daur hidrologi dalam suatu wilayah DAS. Seperti diketahui bahwa kelanjutan proses ekologi, geografi, dan tataguna lahan di suatu DAS ditentukan oleh berlangsungnya daur hidrologi, dan dengan demikian, hujan dapat dipandang sebagai faktor pendukung sekaligus pembatas bagi usaha pengelolaan sumberdaya air dan tanah (Asdak, 2002).
Proses terjadinya hujan menurut Asdak (2002) adalah karena adanya perpindahan massa air basah ke tempat yang lebih tinggi sebagai respon adanya beda tekanan udara antara dua tempat yang berbeda ketinggiannya. Di tempat tersebut, karena adanya akumulasi uap air pada suhu yang rendah maka terjadilah proses kondensasi, dan pada gilirannya massa air basah tersebt akan jatuh sebagai air hujan.
a. Intensitas dan Lama Waktu Hujan
Intensitas hujan adalah jumlah hujan per satuan waktu. Intensitas hujan atau ketebalan hujan per satuan waktu lazimnya dilaporkan dalam satuan laporan millimeter per jam. Data mengenai intensitas hujan biasanya dimanfaatkan sebagai perhitungan-perhitungan perkiraan besarnya erosi, debit puncak (banjir), perencanaan drainase, dan bangunan air lainnya. Lama waktu hujan adalah lama waktu berlangsungnya hujan, dalam hal ini dapat mewakili total curah hujan atau periode hujan yang singkat dari curah hujan yang relatif seragam.
Intensitas hujan akan mempengaruhi laju dan volume air permukaan. Pada hujan dengan intensitas tinggi, kapasitas infiltrasi akan terlamapaui dengan beda yang cukup besar dibandingkan dengan hujan yang kurang intensif. Dengan demikian, total volume air permukaan akan lebih besar pada hujan intensif dibandingkan dengan hujan yang kurang intensif meskipun curah hujan kedua tersebut sama besarnya (Asdak, 2001).
Selain intensitas hujan dan lama waktu hujan, informasi tentang kecepatan hujan juga perlu diketahui. Kecepatan curah hujan dapat diartikan sebagai kecepatan jatuhnya air hujan dan dalam hal ini dipengaruhi oleh besarnya intensitas hujan. Informasi tentang kecepatan air hujan untuk mencapai permukaan tanah adalah penting dalam proses erosi dan sedimentasi. Kecepatan tergantung pada bentuk dan ukuran diameter air hujan.

b. Aliran Permukaan
Aliran permukaan adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju ke sungai, danau dan lautan. Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah ada yang langsung masuk ke dalam tanah atau disebut infiltrasi. Sebagian lagi tidak sempat masuk ke dalam tanah dan mengalir di atas permukaan tanah atau disebut aliran permukaan (runoff) (Asdak, 2002). Proses terjadinya aliran permukaan adalah apabila curah hujan yang ada telah memnuhi keperluan air untuk evaporasi, intersepsi, infiltrasi, dan berbagai bentuk cekungan tanah dan bentuk penampang air lainnya.
Proses terjadinya aliran permukaan menurut Asdak (2001) adalah bahwa aliran permukaan akan berlangsung ketika jumlah curah hujan yang ada melampaui laju infiltrasi air ke dalam tanah. Setelah laju infiltrasi terpenuhi, air mulai mengisi cekungan-cekungan pada permukaan tanah. Setelah pengisian pada cekungan tersebut selesai, air kemudian dapat mengalir di atas permukaan tanah dengan bebas. Ada bagian aliran air aliran yang berlangsung agak cepat untuk selanjutnya membentuk aliran debit. Sedangkan bagian aliran yang lain karena melewati cekungan-cekungan permukaan tanah sehingga memerlukan waktu beberapa hari sebelum akhirnya menjadi aliran debit.
Adapun yang faktor-faktor mempengaruhi aliran permukaan menurut Asdak (2001) adalah lama waktu hujan, intensitas hujan, dan penyebaran hujan. Aliran permukaan total untuk suatu hujan secara langsung berhubungan dengan lama waktu hujan untuk intensitas hujan tertentu. Infiltrasi akan berkurang pada tingkat awal suatu kejadian hujan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hujan dengan waktu yang singkat tidak banyak menghasilkan aliran permukaan. Pada hujan dengan intensitas yang sama dengan waktu yang lebih lama justru akan menghasilkan aliran permukaan yang lebih besar.
c. Debit Aliran
Debit air adalah besarnya volume air yang mengalir melalui penampang tertentu persatuan waktu (Utaya, 2001). Data debit atau aliran sungai merupakan informasi yang paling penting bagi pengelola sumberdaya air. Dalam pengukuran ebit air langsung di lapangan pada dasarnya dapat dilakukan melalui empat kategori (Asdak, 2001):
1.) Pengukuran volume air, yaitu Pada pengukuran debit air dilakukan dalam keadaan aliran (sungai) lambat. Pengukuran ini dianggap paling akurat, terutama untuk debit aliran lambat seperti pada aliran mata air. Cara pengukurannya dilakukan dengan menentukan waktu yang diperlukan untuk mengisi container yang telah diketahui volumenya. Prosedur yang dilakukan dengan cara membuat dam kecil (alat semacam weir) di salah satu bagian yang akan diukur. Hal ini mempunyai guna agar aliran air yang akan diukur dapat terkonsentrasi pada satu otlet. Pembuatan dam kecil harus sedemikian rupa sehingga permukaan air di belakang dam tersebut cukup stabil. Besarnya debit aliran dihitung dengan cara:
Q = ˅/ t
Q = debit (m3/dt)
˅ = volume air (m3)
t = waktu pengukuran (detik)
2.) Pengukuran debit dengan cara mengukur kecepatan aliran dan menentukan debit dengan cara mengukur kecepatan aliran dan menentukan luas penampang sungai. Pengukuran ini dilakukan dengan bantuan alat ukur current meter atau sering dikenal sebagai pengukuran debit melalui pendekatan velocity-area method paling banyak dipraktikan dan berlaku untuk kebanyakan aliran sungai.
3.) Pengukuran debit dengan menggunakan bahan kimia (pewarna) yang dialirkan dalam aliran sungai. Pewarna atau radio aktif sering digunakan untuk jenis sungai yang aliran airnya tidak beraturan (turbelent), untuk maksud-masud pengukuran pengukuran hidrologi, bahan-bahan penelusur seperti yang telah disebutkan seyogyanya dalam bentuk (Church, 1974):
a. Mudah larut dalam aliran sungai
b. Bersifat stabil
c. Mudah dikenali pada konsentrasi rendah
d. Tidak bersifat meracuni biota parairan dan tidak menimbulkan dampak (negatif) yang permanen pada badan perairan
e. Relatif tidak terlalu mahal harganya
4.) Pengukuran debit dengan membuat bangunan pengukur debit seperti weir (aliran air lambat) atau flume (aliran air cepat), yaitu pembuatan bangunan pengukur debit. Pengukuran debit dilakukan dalam jangka panjang di stasiun-stasiun pengamatan hidrologi.
d. Angkutan Sedimen
Sedimen adalah hasil proses erosi, baik berupa proses erosi permukaan, erosi parit, atau jenis erosi tanah lainnya. Sedimen umumnya mengendap di bagian bawah kaki bukit, di daerah genangan banjir, di saluran air, sungai, dan waduk (Asdak, 2002). Erosi mengakibatkan terjadinya perpindahan butiran tanah ke tempat lain melalui suatu proses yang dinamakan angkutan sedimen. Sedimen merupakan hasil proses erosi, baik pada erosi permukaan, erosi parit atau jenis erosi tanah lainnya. Sedimen yang terjadi dipengaruhi oleh tenaga kinetis air hujan dan aliran permukaan sehingga partikel-partikel tanah dapat terkelupas dan terangkut menuju dasar sungai.
Proses sedimentasi dapat membawa dampak positif dan negatif bagi lingkungan. Pada dasarnya sedimen yang terangkut dan mengalir ke daerah hilir dapat memberikan kesuburan tanah dan membentuk tanah garapan baru di daerah hilir. Tetapi, disaat bersamaan aliran sedimen juga dapat mempengaruhi kualitas sungai dan terjadi pendangkalan sungai. Pada partilel-partikel pembentuk sedimen terdapat komposisi mineral dari bahan induk yang menyusunnya yang disebut dengan liat, debu, pasir, pasir besar.
Hasil sedimen tergantung pada besarnya erosi total di DAS/sub-DAS dan tergantung pada transport partikel-partikel tanah yang tererosi tersebut keluar dari daerah tangkapan air DAS/sub-DAS. Produksi sedimen umumnya mengacu pada besarnya laju sedimen yang mengalir melewati satu titik pengamatan tertentu dalam suatu sistem DAS. Tidak semua tanah yang tererosi di permukaan daerah tangkapan air akan sampai ke titik pengamatan. Sebagian tanah yang tererosi tersebut akan terdeposisi di cekungan-cekungan permukaan tanah, di kaki-kaki lereng dan bentuk penampungan sedimen lainnya. Oleh karenanya, besarnya hasil sedimen biasanya bervariasi mengikuti karakteristik fisik DAS/sub-DAS (Asdak, 2007).
Hasil sedimen diperoleh dari hasil pengukuran sedimen terlarut dalam sungai (suspended sedimen) atau dengan pengukuran langsung di dalam waduk. Pengukuran sedimen terangkut dilakukan dengan cara pengambilan contoh air sungai pada ketinggian tertentu, kemudian disaring dalam kertas saring. Analisa laboratorium dilaksanakan untuk memperoleh berat sedimen dalam satuan gram/liter dengan cara contoh sedimen yang telah disaring dikeringkan dalam oven dalam suhu kurang lebih 1050C, kemudian hasilnya ditimbang sehingga diperoleh berat sedimen tiap liter air.

Pustaka:
Pratomo, Ichwan Dwi.2011.Skripsi: Prediksi Laju Erosi Menggunakan Model WEPP di Sub DAS Junggo Hulu Kecamatan Bumiaji Kota Batu. Malang: Universitas Negeri Malang

1 komentar:

  1. mas dwi, saya satrio dari Geografi UI tertarik dengan penelitian mas dwi terkait prediksi erosi dengan GeoWEPP ini, kalau tidak keberatan boleh saya minta alamat email mas dwi agar kita bisa berdiskusi lebih jauh, atas perhatiannnya saya ucapkan terimakasih
    Satrio Nugroho
    email: satrio.nugroho@live.com

    BalasHapus

Halaman