Rabu, 25 April 2012

Mendaki Gunung dan Gagal Jantung

Duka dirasakan rakyat Indonesia ketika Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Widjajono Partowidagdo meninggal dunia, Sabtu, 21 April 2012. Lulusan Teknik Perminyakan ITB pada 1975 itu mengalami serangan jantung ketika mendaki Gunung Tambora di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Pak Wid, demikian ia disapa, merupakan pendaki gunung veteran. Tercatat Gunung Kerinci, Rinjani, Semeru, Tujuh, Agung, dan Latimojo pernah ditaklukannya. Maka itu kepergian Pak Wid yang demikian tiba-tiba mengagetkan semua pihak. Belum ada penelitian yang menyebut kaitan antara gagal jantung dengan pendakian gunung. Maka itu, sekelompok peneliti pekan lalu berangkat ke kawasan Gunung Everest untuk menyiapkan laboratorium di kaki gunung tertinggi di dunia tersebut. Mereka akan mempelajari efek ketinggian pada manusia. Rencananya, tim yang berasal dari Mayo Clinic, Minnesota, Amerika Serikat itu akan memonitor sembilan pendaki yang berupaya untuk mendaki gunung itu. Tujuannya, jika fisiologi manusia pada ketinggian sudah diketahui, kemungkinan informasi itu bisa digunakan untuk membantu pasien yang mengalami kelainan jantung dan penyakit lain. “Kami tertarik untuk mengetahui hubungan antara fisiologi pada ketinggian dengan fisiologi kegagalan jantung,” kata Bruce Johnson, ketua tim peneliti. “Apa yang kami lakukan di sini akan membantu upaya yang kami lakukan di laboratorium Mayo Clinic,” ucapnya. Dari Kathmandu, Nepal, Johnson dan delapan anggota timnya akan berangkat ke Lukla, kawasan yang berada di dekat Everest. Setelah itu, mereka akan menempuh perjalanan kaki selama satu minggu untuk mencapai lokasi yang ditentukan. Sejumlah kurir akan membantu membawakan perlengkapan medis seberat 680 kilogram. Adapun kawasan yang akan mereka jadikan markas berada di ketinggian sekitar 5.300 meter. Jika tak ada aral melintang, markas ini akan tuntas dibangun pada pertengahan Mei mendatang. Menurut para peneliti, ketinggian ekstrem Gunung Everest membuat para pendaki berada di kondisi yang sama dengan mereka yang mengalami penyakit jantung. Selain jantung, tim peneliti juga akan mempelajari efek ketinggian pada hati, paru-paru, berkurangnya jam tidur serta massa otot. “Tim kami fokus pada kemampatan paru-paru saat kegagalan jantung terjadi dan kemampatan paru-paru sering kali membunuh para pendaki gunung." Ratusan pendaki dan pemandu arah mencoba menaklukkan Everest setiap tahunnya. Sejumlah orang di antaranya mengalami penyakit akibat ketinggian dan komplikasi lain akibat rendahnya level oksigen di gunung berketinggian 8.850 meter tersebut. Bahkan, pekan lalu, seorang pemandu berpengalaman yang telah mendaki Everest setidaknya sepuluh kali tewas akibat penyakit ketinggian. Kasus ini merupakan kematian pertama di musim pendakian Everest yang puncaknya akan terjadi pada sekitar bulan Mei, saat kondisi cuaca umumnya membaik hingga mempermudah pendaki untuk mencapai puncak. (Zika Zakiya/Abiyu Pradipa. Sumber: Associated Press)

1 komentar:

Halaman