Jumat, 22 Februari 2013

Mengapa Ledakan Meteor Rusia Tak Terprediksi Sebelumnya?

JAKARTA, KOMPAS.com - Teknologi antariksa manusia masa kini, terutama dari negara maju seperti Amerika Serikat dan Rusia, mampu mendeteksi benda antariksa yang berpotensi untuk menumbuk Bumi. Tapi, pada peristiwa ledakan meteor di Rusia Jumat (15/2/2013), manusia rupanya "kecolongan".

Pertanyaannya sekarang, mengapa manusia dan teknologinya bisa kecolongan?

“Tidak terdeteksinya meteor yang meledak di Rusia mungkin karena keterbatasan sistem yang ada saat ini dalam mendeteksi benda-benda langit berukuran kecil dengan jarak yang jauh,” kata Dr. Hakim L. Malasan, ahli Astronomi ITB, saat dihubungi Kompas.com, Minggu (17/2/2013).
Hakim mengungkapkan, benda angkasa dikategorikan kecil bila ukurannya kurang dari 30 meter.
Hal yang sama juga dikemukakan astrofisikawan Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin. “Ukuran asteroid yang terlalu kecil membuat keberadaannya sulit terdeteksi,” katanya.

Thomas mengungkapkan, obyek luar angkasa yang berada di dekat bumi saat ini dideteksi menggunakan metode optik. Deteksi obyek dengan metode ini didasarkan pada kecerlangan obyek tersebut. Metode ini memiliki keterbatasan dalam mendeteksi benda-benda luar angkasa yang berukuran kecil.

“Mendeteksi asteroid berukuran kecil itu sulit karena objek tersebut sangat redup apalagi kalau jaraknya jauh dari Bumi, sehingga sering luput dari pengamatan," papar Thomas yang juga dihubungi hari ini.

"Kalaupun terdeteksi, biasanya asteroid tersebut sudah berada pada jarak yang sangat dekat dengan Bumi dan kita sulit berbuat banyak untuk menghindarinya. Berbeda dengan asteroid 2012 DA14 yang relatif mudah dikenali,” tambahnya.

Asteroid 2012 DA14 diketahui melintas dekat Bumi pada Sabtu (16/2/2013) dini hari waktu Indonesia.

Menurut Thomas, asteroid berukuran relatif kecil yang berpotensi menghantam Bumi memang pernah terdeteksi. Sayangnya, ini cuma secara tak sengaja. Asteroid itu menghantam Bumi pada tahun 2008, tepatnya di wilayah Sudan, Afrika.

Asteroid yang jatuh di Sudan berukuran lebih kecil, diameterya hanya 6 meter. Diperhitungkan, asteroid jatuh 19 jam setelah terdeteksi. Lokasi tumbukan juga sudah ditentukan. Dan, tumbukan memang terjadi sesuai prediksi.

Thomas menambahkan, selain ukuran yang kecil, kecepatan meteor ketika jatuh ke Bumi juga menjadi salah satu faktor tidak terdeteksinya meteor yang meledak di Rusia.

“Kecepatan rata-rata asteroid saat jatuh bisa mencapai 20 – 30 km/detik atau setara 70.000 km – 100.000 km/jam. Karenanya bila asteroid teridentifikasi pada jarak 2 juta km, itu artinya asteroid tersebut sudah sangat dekat dengan Bumi,” ujar Thomas.

Informasi yang terbaru dari portal resmi NASA ukuran meteorit yang meledak di Rusia sebesar 17 meter (sebelumnya 15 meter) dengan bobot 10.000 ton. Meski digolongkan berukuran kecil, meteorit ini ukurannya lebih besar bila dibandingkan dengan meteor yang jatuh di lepas Pantai Bone tahun 2008 lalu. Ledakannya menyebabkan 200.000 meter persegi kaca pecah di lokasi bencana, dan melukai sekitar 1.200 orang.

Hakim dan Thomas menerangkan, kerusakan yang terjadi di lokasi bukan diakibatkan oleh tumbukan atau serpihan meteor, akan tetapi pleh gelombang kejut yang muncul ketika meteor tersebut meledak. (Fifi Dwi Pratiwi)

Senin, 04 Februari 2013

Purnama Bakal Tenggelamkan Jakarta?

JAKARTA, KOMPAS.com - Bulan mencapai fase purnama pada Minggu (27/1). Saat itu, pasang naik air laut mencapai maksimum. Namun, hal ini belum tentu menimbulkan rob atau memicu banjir besar di Jakarta. Tergantung curah hujan di daratan, kecepatan angin, tinggi gelombang di laut, dan ada tidaknya siklon tropis.

Pasang adalah fenomena naik turunnya permukaan air laut yang terjadi setiap hari. Kenaikan air laut dipengaruhi oleh gaya gravitasi Bulan dan Matahari.

Karena jarak Bulan ke Bumi lebih dekat dibandingkan Matahari, pengaruh gravitasi Bulan terhadap Bumi 1,46 kali lebih besar dibandingkan pengaruh gravitasi Matahari. ”Makin dekat jaraknya, makin besar gaya gravitasinya,” kata dosen Kelompok Keahlian Tata Surya, Program Studi Astronomi, Institut Teknologi Bandung, Moedji Raharto, Rabu (23/1/2013).

Waktu air laut naik atau turun di setiap daerah berbeda. Besaran kenaikan muka air laut pun bervariasi dari hari ke hari.

Kenaikan mencapai maksimum saat Bulan purnama dan Bulan mati karena gaya gravitasi Bulan dan Matahari saling menguatkan. Sebaliknya, kenaikan air laut minimum saat Bulan pada fase perempat awal dan perempat akhir karena gravitasi Bulan dan Matahari saling melemahkan.

Besaran gaya gravitasi Bulan terhadap Bumi juga ditentukan oleh jarak Bumi dan Bulan yang bervariasi setiap hari. Penyebabnya, lintasan revolusi Bulan mengelilingi Bumi berbentuk elips sehingga dalam satu putaran akan ada jarak terjauh dan terdekat Bulan terhadap Bumi.

Saat ini, Bulan bergerak dari titik terjauhnya menuju titik terdekatnya terhadap Bumi. Jarak terjauh Bulan untuk periode revolusi kali ini terjadi 22 Januari pada jarak 405.320 kilometer. Jarak terdekatnya terjadi 10 Januari pada jarak 360.048 kilometer dan 7 Februari pada jarak 365.314 kilometer.

”Karena saat ini Bulan relatif dekat dengan jarak terjauhnya, dampak terhadap pasang air laut tidak sebesar ketika Bulan di titik terdekatnya,” kata Moedji.

Muka air laut sama

Kepala Pusat Meteorologi Publik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) R Mulyono Rahadi Prabowo mengatakan, data Dinas Hidro-Oseanografi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut menyebutkan, tinggi pasang air laut di pantai utara Jakarta mencapai maksimum pada 24-25 Januari setinggi 1,1 meter dari kondisi normal. Pada 26-28 Januari berkisar 1 meter.

Pada 27 Januari, air laut mulai naik pukul 05.00 dan mencapai puncak pukul 08.00-11.00. Setelah itu air laut surut lagi.

Tinggi muka air laut saat banjir besar pekan lalu dengan yang diisukan akan terjadi akhir pekan ini sama.

Banjir besar yang melanda Jakarta pada 15-17 Januari terjadi beberapa hari setelah pasang naik maksimum air laut saat Bulan mati. Fase Bulan mati terjadi pada 13 Januari. Saat itu, ketinggian air laut 1-1,1 meter pada 10-13 Januari.

Artinya, faktor curah hujan akan lebih berperan pada banjir tidaknya Jakarta. Pekan lalu, hujan dengan intensitas tinggi (lebih dari 100 milimeter per hari) terjadi merata mulai kawasan Puncak, Bogor, Depok, hingga Jakarta.

Pada akhir pekan ini hingga awal pekan depan, prakiraan BMKG menunjukkan, intensitas hujan tinggi berpotensi terjadi di Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Bogor bagian selatan. Di wilayah Jakarta lain dan sekitar Jakarta, intensitas hujan ringan-sedang.

”Saat ini hingga awal Februari adalah puncak musim hujan. Karena itu, potensi terjadi hujan sedang hingga lebat tinggi,” kata Prabowo.

Cuaca laut

Pasang naik maksimum akan menimbulkan rob atau limpasan air laut ke daratan jika pada saat bersamaan kecepatan angin di laut dan gelombang laut tinggi. Terlebih lagi jika ada badai siklon tropis di Laut China Selatan.

Tingginya kecepatan angin menentukan ketinggian gelombang yang terjadi. Jika muka laut sudah tinggi akibat pasang naik maksimum dan gelombang lautnya tinggi, dampaknya di darat akan sangat besar.

Banjir rob di pantai utara Jakarta sebenarnya peristiwa rutin. Waktu terjadinya rob umumnya Juni-Agustus saat musim kemarau di Jakarta dan musim panas di belahan Bumi utara. Ketika itu, potensi munculnya siklon tropis di Laut China Selatan sangat tinggi.

Saat ini, potensi siklon tropis ada di Samudra Hindia di selatan Jawa. Karena itu, badai ini tidak memberikan dampak besar bagi perairan Jakarta.

Peneliti Meteorologi Maritim BMKG Andri Ramadhani mengatakan, karakter banjir rob di Jakarta berbeda dengan daerah lain di pantai utara Jawa. Meski sama-sama dipicu oleh tinggi muka air laut, kecepatan angin laut, dan tingginya gelombang laut, rob di Jakarta juga dipicu gelombang alun dari Laut China Selatan.

”Gelombang alun yang menerpa Jakarta merupakan rambatan dari gelombang tinggi di Laut China Selatan akibat badai siklon tropis,” katanya.

Menurut Prabowo, selama akhir pekan ini hingga awal pekan depan belum terlihat adanya bibit siklon tropis di atas Laut China Selatan. Kecepatan angin di wilayah tersebut di bawah 25 knot (46 kilometer per jam). Tinggi gelombang sekitar 3 meter.

Keadaan di Laut China Selatan harus diwaspadai jika tinggi gelombangnya 5-6 meter dan kecepatan angin di atas 25 knot.

Relatif tenangnya kondisi Laut China Selatan membuat perairan utara Jakarta relatif aman. Kecepatan angin sekitar Teluk Jakarta, pekan ini, 5-15 knot (9 km per jam hingga 28 km per jam). Tinggi gelombang di Laut Jawa normal, 2-3 meter.

Kewaspadaan harus dilakukan jika perairan Jakarta memiliki angin berkecepatan 15-25 knot (28 km per jam hingga 46 km per jam) dan tinggi gelombang lebih dari 3 meter.

Data menunjukkan, tidak ada aspek astronomis dan meteorologis yang perlu dikhawatirkan berlebih sebagai akibat naiknya muka air laut di perairan utara Jakarta.

Meski demikian, kewaspadaan tetap diperlukan karena risiko bencana tetap ada. Prediksi ini belum memperhitungkan kerusakan lingkungan dan kesiapan infrastruktur menghadapi bencana yang mungkin terjadi. ”Yang penting, jangan panik,” kata Andri.
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
yunan

Halaman