GeoWEPP (Water Erosion Prediction Project) adalah suatu model penyesuaian proses, berdasarkan pada ilmu erosi dan hidrologi modern, dirancang untuk menggantikan USLE (Universal Soil Loss Equation) untuk pendugaan secara berkala erosi tanah dengan mengatur konservasi tanah dan air serta perencanaan dan penilaian lingkungan (Morgan, 1995 dalam Yupi 2008).
Menurut Laflen et al., 1991; Lane dan Nearing, 1989 dalam Troeh et al., 2004, GeoWEPP merupakan model buatan Amerika pertama yang dikembangkan untuk memprediksi erosi pada skala luas yang tidak didasari oleh teknologi USLE. WEPP merupakan model physical based yang didasari oleh proses dan simulasi harian. Sedangkan pengertian WEPP (Water Erosion Prediction Project) menurut Morgan dan Nearing adalah suatu model penyesuian proses, berdasarkan pada ilmu erosi dan hidrologi modern, dirancang untuk menggantikan USLE untuk pendugaan secara berkala erosi tanah dengan mengukur konservasi tanah dan air serta perencanaan dan penilaian lingkungan.
Hingga saat ini aplikasi GeoWEPP telah berkembang dengan pesat dan semakin baik. Release terbaru aplikasi GeoWEPP yang dikeluarkan kementrian pertanian Amerika Serikat (United States Department of Agriculutre) pada tahun 2010 merupakan yang terbaik menurut penulis. Di dalam aplikasi GeoWEPP tersebut semua elemen yang berpengaruh terhadap erosi diperhitungkan secara detail, mulai dari bentuk lereng, data iklim harian, bentuk pengelolaan tanaman dan lain sebagainya. Berikut ini adalah screenshot dari aplikasi GeoWEPP yang digunakan oleh penulis.
Satu hal yang perlu diketahui adalah bahwa GeoWEPP tidak sama dengan WEPP pada pendugaan laju erosi sebagaimana telah dijelaskan pada artikel sebelumnya. Meskipun keduanya sama-sama bertujuan memprediksi besarnya laju erosi, namun terdapat perbedaan yang cukup mendasar. Perbedaan tersebut adalah bahwa GeoWEPP menghasilkan simulasi prediksi laju erosi harian dengan menitik beratkan pada data-data sekunder dan pengoperasiannya sangat bergantung pada perangkat komputer, sedangkan WEPP menghasilkan analisis prediksi laju erosi sementara/harian yang input datanya diperoleh secara langsung dari lapangan dan perhitungannya dilakukan secara manual (tidak tergantung pada perangkat elektronik). Berdasarkan pengalaman penelitian yang pernah dilakukan penulis pada saat penyusunan skripsi, penulis berpendapat bahwa WEPP lebih merupakan model prediksi laju erosi secara empiris yang hasilnya mendekati erosi faktual yang sebenarnya terjadi di lapangan, sedangkan GeoWEPP lebih merupakan bentuk simulasi erosi terprediksi dengan bantuan perangkat dan ilmu pengetahuan teknologi informasi yang berkembang pada saat ini, tentunya dengan keakuratan yang sedikit berbeda.
Bagi rekan-rekan yang ingin mendonwload aplikasi GeoWEPP tersebut dapat diperoleh dari situs resminya di alamat berikut http://www.ars.usda.gov atau pada media peyimpanan 4shared di alamat berikut http://www.4shared.com.
Terima kasih atas perhatian pembaca, mohon maaf bila ada kesalahan..........
There is no ivory with no crack :))
Kamis, 28 Juli 2011
Minggu, 24 Juli 2011
Keunggulan Metode Prediksi Laju Erosi Menggunakan Model WEPP
Pengembangan metode laju erosi model empiris meliputi pengembangan dan analisis antara sifat yang menyebabkan terjadinya erosi secara numerik dengan besarnya erosi. Salah satu metode yang termasuk ke dalam model empiris ini dan yang paling banyak digunakan di seluruh dunia adalah USLE. Asdak (2001) berpendapat bahwa rumus USLE hanya menampilkan lima faktor yang dianggap memainkan peranan penting untuk terjadinya erosi. Faktor-faktor R (erosivitas) dan K (erodibilitas) umumnya diasumsikan tidak berubah untuk tempat-tempat dengan intensitas curah hujan tahunan dan jenis tanah yang kurang lebih sama. Sementara faktor L, S, C, dan P akan memberikan angka berbeda sesuai dengan kemiringan lereng, teknik konservasi, dan tata guna lahan yang diusahakan. Dalam penggunaan rumus USLE ada beberapa keterbatasan yang perlu dipertimbangkan agar diperoleh hasil prakiraan erosi yang memadai. Keterbatasan tersebut adalah sebagai berikut:
1.) USLE bersifat empiris dan secara matematik tidak mewakili proses yang sebenarnya. Kesalahan dalam memperkirakan besarnya erosi dapat dikurangi dengan menggunakan angka-angka tetapan yang seharsnya juga bersifat empiris.
2.) Persamaan matematik USLE dirancang untuk memperkirakan besarnya kehilangan tanah rata-rata tahunan.
3.) USLE tidak memperhitungkan endapan sedimen. Artinya, USLE hanya memperkirakan besarnya tanah yang tererosi, tetapi tidak mempertimbangkan deposisi sedimen dalam perhitungan besarnya prakiraan erosi.
4.) Petak-petak erosi yang digunakan untuk mengukur besarnya erosi mempunyai kemiringan antara 3-20% dan terletak di daerah iklim sedang. Di daerah tropis, kebanyakan daerah aliran sungai mempunyai kombinasi kemiringan lereng lebih besar dari 25% dan curah hujan yang tinggi. Oleh karena itu pemakaian USLE akan menghasilkan nilai prakiraan yang lebih kecil atau bahkan lebih besar dari yang sesungguhnya.
Model empiris dianggap berada diantara model deterministik dan model stokastik. Dalam model empiris ini terdapat informasi mengenai faktor-faktor yang berpengaruh dan proses yang terjadi sehingga pendekatan stokastik tidak diperlukan, namun demikian informasi yang tersedia tersebut belum cukup untuk menyusun model deterministik. Oleh karena begitu banyaknya keterbatasan-keterbatasan dalam model empiris ini, pengembangan model pendugaan erosi berikutnya berkembang ke arah model deterministik.
Model deterministik merupakan model yang didasarkan pada hukum konservasi massa dan konservasi energi. Pada umumnya model-model tersebut memanfaatkan bentuk persamaan diferensial khusus yang dikenal sebagai persamaan kontinuitas, yang merupakan pernyataan konservasi massa (materi) sewaktu melalui ruang dalam selang waktu tertentu (Suripin, 2002). Lebih lanjut Suripin dalam bukunya menyatakan bahwa persamaan tersebut dapat dipergunakan untuk erosi tanah pada segmen kecil dengan penjelasan sebagai berikut. Pada segmen tersebut terdapat masukan material dari hasil pelepasan butir-butir tanah pada segmen itu sendiri dan masukan sedimen dari lereng diatasnya. Dari segmen tersebut terdapat keluaran material melalui proses pengangkutan oleh percikan hujan dan aliran permukaan. Jika proses pengangkutan mempunyai kapasitas yang cukup untuk mengangkut semua masukan material, maka akan terjadi kehilangan tanah pada segmen tersebut. Sebaliknya kapasitas pengangkutan tidak cukup, maka akan terjadi penambahan material. Sehingga dalam suatu segmen lereng akan terjadi proses sebagai berikut:
Masukan – keluaran = kehilangan atau penambahan material (Suripin, 2002)
Pedekatan tersebut sebagaimana yang telah digunakan oleh Mayer dan Wischmeier (1969) dalam model matematik yang dirancang untuk mensimulasi erosi tanah sebagai suatu proses dinamik. Suripin (2002) menjelaskan pengoperasian model tersebut menggunakan empat persamaan yang mendiskripsikan (1) pelepasan butir-butir tanah oleh curah hujan (soil detachment by rainfall), (2) pelepasan butir-butir tanah oleh aliran permukaan hujan (soil detachment by runoff), (3) kapasitas pengangkutan air hujan (transport capacity of rainfall), dan (4) kapasitas pengangkutan aliran permukaan (transport capacity of runoff).
Salah satu metode pendugaan erosi yang saat ini populer dari kelompok pengembangan model deterministik adalah WEPP. Menurut Agus et al, (1997) WEPP dibentuk untuk mengembangkan sarana prediksi erosi yang lebih mutakhir, untuk digunakan oleh lembaga yang berkecimpung di bidang konservasi tanah dan air, perencanaan dan asesmen lingkungan. Teknologi prediksi erosi WEPP merupakan teknologi yang berorientasi proses dan dikembangkan berdasarkan ilmu hidrologi dan erosi.
Model WEPP memiliki berbagai keunggulan dibanding model USLE maupun RUSLE, antara lain bahwa nisbah kehilangan tanah dapat ditaksir secara spasial sepanjang profil (lahan) dan juga dapat menaksir besarnya sedimen yang terangkut. Selain itu limpasan permukaan dan sedimen dapat diduga tiap terjadinya hujan, sehingga bisa menghasilkan analisa sementara yang mendetail beserta penyebarannya.
Proses pendugaan laju erosi dengan menggunakan model WEPP merupakan proses pendugaan yang bersifat harian. Jika tidak terjadi hujan, proses akan dilajutkan untuk kondisi hari berikutnya. Jika terjadi hujan, WEPP menentukan apakah terjadi aliran permukaan berdasarkan laju infiltrasi dan distribusi hujan. Jika terjadi aliran permukaan, WEPP akan menghitung volume dan laju aliran dan waktu kejadiannya. Sehingga aliran yang terjadi digunakan untuk memprediksi pelepasan material dan angkutan sedimen ke sistem saluran (Suripin, 2002).
Oleh karena begitu banyaknya parameter-parameter yang berpengaruh dalam WEPP, maka model ini mempunyai keterbatasan-keterbatasan. Keterbatasan tersebut antara lain adalah data masukan berupa intensitas hujan, laju infiltrasi, laju aliran permukaan, debit aliran dan muatan sedimen sifatnya selalu fluktuatif dan tidak linier dalam setiap kejadiannya. Oleh karena itu pada beberapa parameter tersebut diasumsikan dalam kondisi permanen (steady), misalnya intensitas hujan, aliran permukaan dan debit aliran (Suripin, 2002).
Morgan (1986) dalam Suripin (2002) menyatakan bahwa idealnya, metode prediksi laju erosi harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang nampaknya bertentangan, yaitu model harus dapat diandalkan, dapat digunakan secara umum (berlaku universal), mudah dipergunakan dengan data yang minimum, komprehensif dalam faktor-faktor yang dipergunakan, dan dapat mengikuti (peka) terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di DAS. Namun mengingat begitu rumitnya proses erosi lahan dan sedimen yield, hingga sekarang belum ada model yang memenuhi persyaratan tersebut, tak terkecuali juga WEPP. Sehingga masih terbuka peluang yang sangat lebar untuk melakukan penelitian-penelitian berkaitan dengan metode pendugaan laju erosi. Pendekatan yang paling memberikan harapan dalam pengembangan metode dan prosedur prediksi adalah dengan merumuskan model konseptual proses erosi (Arsyad, 1989 dalam Suripin (2002).
Pratomo, Ichwan Dwi. 2011. Skripsi: Prediksi Laju Erosi Menggunakan Model WEPP di Sub DAS Junggo Hulu Kecamatan Bumiaji Kota Batu. Malang: Universitas Negeri Malang.
1.) USLE bersifat empiris dan secara matematik tidak mewakili proses yang sebenarnya. Kesalahan dalam memperkirakan besarnya erosi dapat dikurangi dengan menggunakan angka-angka tetapan yang seharsnya juga bersifat empiris.
2.) Persamaan matematik USLE dirancang untuk memperkirakan besarnya kehilangan tanah rata-rata tahunan.
3.) USLE tidak memperhitungkan endapan sedimen. Artinya, USLE hanya memperkirakan besarnya tanah yang tererosi, tetapi tidak mempertimbangkan deposisi sedimen dalam perhitungan besarnya prakiraan erosi.
4.) Petak-petak erosi yang digunakan untuk mengukur besarnya erosi mempunyai kemiringan antara 3-20% dan terletak di daerah iklim sedang. Di daerah tropis, kebanyakan daerah aliran sungai mempunyai kombinasi kemiringan lereng lebih besar dari 25% dan curah hujan yang tinggi. Oleh karena itu pemakaian USLE akan menghasilkan nilai prakiraan yang lebih kecil atau bahkan lebih besar dari yang sesungguhnya.
Model empiris dianggap berada diantara model deterministik dan model stokastik. Dalam model empiris ini terdapat informasi mengenai faktor-faktor yang berpengaruh dan proses yang terjadi sehingga pendekatan stokastik tidak diperlukan, namun demikian informasi yang tersedia tersebut belum cukup untuk menyusun model deterministik. Oleh karena begitu banyaknya keterbatasan-keterbatasan dalam model empiris ini, pengembangan model pendugaan erosi berikutnya berkembang ke arah model deterministik.
Model deterministik merupakan model yang didasarkan pada hukum konservasi massa dan konservasi energi. Pada umumnya model-model tersebut memanfaatkan bentuk persamaan diferensial khusus yang dikenal sebagai persamaan kontinuitas, yang merupakan pernyataan konservasi massa (materi) sewaktu melalui ruang dalam selang waktu tertentu (Suripin, 2002). Lebih lanjut Suripin dalam bukunya menyatakan bahwa persamaan tersebut dapat dipergunakan untuk erosi tanah pada segmen kecil dengan penjelasan sebagai berikut. Pada segmen tersebut terdapat masukan material dari hasil pelepasan butir-butir tanah pada segmen itu sendiri dan masukan sedimen dari lereng diatasnya. Dari segmen tersebut terdapat keluaran material melalui proses pengangkutan oleh percikan hujan dan aliran permukaan. Jika proses pengangkutan mempunyai kapasitas yang cukup untuk mengangkut semua masukan material, maka akan terjadi kehilangan tanah pada segmen tersebut. Sebaliknya kapasitas pengangkutan tidak cukup, maka akan terjadi penambahan material. Sehingga dalam suatu segmen lereng akan terjadi proses sebagai berikut:
Masukan – keluaran = kehilangan atau penambahan material (Suripin, 2002)
Pedekatan tersebut sebagaimana yang telah digunakan oleh Mayer dan Wischmeier (1969) dalam model matematik yang dirancang untuk mensimulasi erosi tanah sebagai suatu proses dinamik. Suripin (2002) menjelaskan pengoperasian model tersebut menggunakan empat persamaan yang mendiskripsikan (1) pelepasan butir-butir tanah oleh curah hujan (soil detachment by rainfall), (2) pelepasan butir-butir tanah oleh aliran permukaan hujan (soil detachment by runoff), (3) kapasitas pengangkutan air hujan (transport capacity of rainfall), dan (4) kapasitas pengangkutan aliran permukaan (transport capacity of runoff).
Salah satu metode pendugaan erosi yang saat ini populer dari kelompok pengembangan model deterministik adalah WEPP. Menurut Agus et al, (1997) WEPP dibentuk untuk mengembangkan sarana prediksi erosi yang lebih mutakhir, untuk digunakan oleh lembaga yang berkecimpung di bidang konservasi tanah dan air, perencanaan dan asesmen lingkungan. Teknologi prediksi erosi WEPP merupakan teknologi yang berorientasi proses dan dikembangkan berdasarkan ilmu hidrologi dan erosi.
Model WEPP memiliki berbagai keunggulan dibanding model USLE maupun RUSLE, antara lain bahwa nisbah kehilangan tanah dapat ditaksir secara spasial sepanjang profil (lahan) dan juga dapat menaksir besarnya sedimen yang terangkut. Selain itu limpasan permukaan dan sedimen dapat diduga tiap terjadinya hujan, sehingga bisa menghasilkan analisa sementara yang mendetail beserta penyebarannya.
Proses pendugaan laju erosi dengan menggunakan model WEPP merupakan proses pendugaan yang bersifat harian. Jika tidak terjadi hujan, proses akan dilajutkan untuk kondisi hari berikutnya. Jika terjadi hujan, WEPP menentukan apakah terjadi aliran permukaan berdasarkan laju infiltrasi dan distribusi hujan. Jika terjadi aliran permukaan, WEPP akan menghitung volume dan laju aliran dan waktu kejadiannya. Sehingga aliran yang terjadi digunakan untuk memprediksi pelepasan material dan angkutan sedimen ke sistem saluran (Suripin, 2002).
Oleh karena begitu banyaknya parameter-parameter yang berpengaruh dalam WEPP, maka model ini mempunyai keterbatasan-keterbatasan. Keterbatasan tersebut antara lain adalah data masukan berupa intensitas hujan, laju infiltrasi, laju aliran permukaan, debit aliran dan muatan sedimen sifatnya selalu fluktuatif dan tidak linier dalam setiap kejadiannya. Oleh karena itu pada beberapa parameter tersebut diasumsikan dalam kondisi permanen (steady), misalnya intensitas hujan, aliran permukaan dan debit aliran (Suripin, 2002).
Morgan (1986) dalam Suripin (2002) menyatakan bahwa idealnya, metode prediksi laju erosi harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang nampaknya bertentangan, yaitu model harus dapat diandalkan, dapat digunakan secara umum (berlaku universal), mudah dipergunakan dengan data yang minimum, komprehensif dalam faktor-faktor yang dipergunakan, dan dapat mengikuti (peka) terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di DAS. Namun mengingat begitu rumitnya proses erosi lahan dan sedimen yield, hingga sekarang belum ada model yang memenuhi persyaratan tersebut, tak terkecuali juga WEPP. Sehingga masih terbuka peluang yang sangat lebar untuk melakukan penelitian-penelitian berkaitan dengan metode pendugaan laju erosi. Pendekatan yang paling memberikan harapan dalam pengembangan metode dan prosedur prediksi adalah dengan merumuskan model konseptual proses erosi (Arsyad, 1989 dalam Suripin (2002).
Pratomo, Ichwan Dwi. 2011. Skripsi: Prediksi Laju Erosi Menggunakan Model WEPP di Sub DAS Junggo Hulu Kecamatan Bumiaji Kota Batu. Malang: Universitas Negeri Malang.
Sabtu, 23 Juli 2011
Media Pembelajaran Pembentukan Tanah
Tanah adalah salah satu objek yang dipelajari dalam ilmu geografi, baik itu pada jenjang pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) ataupun jenjang sekolah menengah atas (SMA). Dalam kaitannya dengan tanah, proses pembentukannya pun menjadi salah satu yang penting untuk dipelajari, sehingga materi pelajaran pembentukan tanah pun dimasukkan dalam kurikulum mata pelajaran geografi. Mengingat begitu pentingnya peranan tanah dalam kehidupan kita, sehingga tugas kita sebagai seorang pendidik untuk membelajarkan ilmu pengetahuan kepada peserta didik menjadi semakin berat oleh karena kita dituntut untuk membelajarkan sebuah ilmu yang objeknya abstrak, dalam hal ini adalah proses pembentukan tanah.
Karena latar belakang itu lah, maka diperlukan suatu usaha untuk membantu seorang guru dalam membelajarkan sebuah materi dalam bentuk media pembelajaran yang dalam hal ini adalah pedosfer. Salah satu bentuk media pembelajaran yang saat ini tengah populer adalah media pembelajaran yang berkembang secara audio visual dengan bantuan software-software tertentu. Dalam artikel ini saya sertakan contoh media pembelajaran seputar pedosfer yang mungkin dapat bermanfaat bagi tenaga pendidik ataupun para pembaca yang tertarik pada materi pedosfer.
File dapat diunduh pada link ini:
Download!!!
Semoga bermanfaat, amiin.......
Jumat, 22 Juli 2011
Parameter Dalam Prediksi Laju Erosi Menggunakan Model WEPP
Pendugaan laju erosi menggunakan model WEPP versi hillslope profile adalah mirip dengan pendugaan menggunakan model USLE dengan sedikit perbedaan. Dalam pendugaan laju erosi menggunakan model WEPP, WEPP membagi proses erosi menjadi dua yaitu berdasarkan proses pelepasan partikel tanah di area antarparit yang disebabkan oleh hujan dan aliran permukaan serta proses pelepasan atau pengendapan tanah yang terjadi di area parit dan (Russel, 2001). Wilayah yang menjadi daerah penelitian adalah areal antarparit dan parit yang dipilih berdasarkan kemiringan lereng, keadaan tanah, dan penggunaan lahan (Russel, 2001). Dalam proses penghitungan laju erosi menggunakan model WEPP, ada beberapa komponen yang sangat berpengaruh dalam memperkirakan laju erosi yang terjadi, komponen tersebut antara lain adalah sebagai berikut.
1. Komponen Tanah
Komponen tanah dalam WEPP adalah yang paling berpengaruh menentukan laju erosi yang terjadi. Hal ini terkait dengan erodibilitas tanah, kapasitas infiltrasi tanah dan kapasitas transportasi sedimen. Menurut Russel (1973), air hanya akan mengalir di permukaan tanah apabila jumlah air hujan lebih besar daripada kemampuan tanah untuk menginfiltrasikan air ke lapisan yang lebih dalam. Dengan menurunnya porositas tanah, karena sebagian pori-pori tertutup oleh partikel tanah yang halus, maka laju infiltrasi akan semakin berkurang. Sebagai akibatnya aliran air di permukaan akan semakin bertambah banyak. Aliran air di permukaan mempunyai akibat yang lebih banyak. Dengan semakin banyaknya air yang mengalir di permukaan tanah maka akan semakin bertambah banyak pula tanah yang terkikis dan terangkut aliran yang kemudian dilanjutkan menuju sungai dan akhirnya diendapkan.
Erodibilitas tanah atau faktor kepekaan erosi tanah merupakan daya tanah baik terhadap pelepasan dan pengangkutan, terutama tergantung pada sifat-sifat tanah seperti tekstur, stabilitas agregat, kekuatan geser, kapasitas infiltrasi, kandungan bahan organik dan kimiawi. Disamping itu, juga tergantung posisi topografi, kemiringan lereng, dan gangguan oleh manusia (Suripin, 2001:73). Erodibilitas tanah juga merupakan salah satu parameter yang sangat berpengaruh terhadap laju pelepasan partikel tanah (detachment) yang terjadi di areal antarparit dan areal parit. Di dalam WEPP, penghitungan nilai erodibilitas tanah dibedakan menjadi dua, yaitu untuk daerah yang telah diolah (cropland) dan untuk daerah yang tidak diolah sama sekali (rangeland). Dari kedua jenis penggunaan lahan tersebut, kemudian WEPP membagi lagi menjadi dua metode penghitungan untuk mengukur besarnya erodiibilitas tanah, yaitu untuk tanah dengan kandungan pasir yang sama atau lebih dari 30% dan yang kurang dari 30%.
Selain itu kondisi fisik tanah turut berpengaruh dalam menentukan tegangan kritis tanah. Tegangan kritis tanah adalah kekuatan tanah dalam menahan air. Untuk tanah dengan kandungan pasir kurang dari 30% ditetapkan sebesar 3,5 Pa. Sedangkan untuk tanah dengan kandungan pasir >30% ditetapkan dengan rumus:
τc = 2,67 + 0,065clay -0,058Vfs
(Flanagan dan Livingston, 1995; Alberts et al., 1995)
Dimana τc adalah tegangan kritis tanah (Pa), Vfs adalah fraksi pasir sangat halus dan clay adalah prosentase kandungan liat dalam tanah.
Untuk menghitung erodibilitas tanah dan tegangan kritis tanah diperlukan suatu analisa beberapa unsur tanah yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tersebut adalah adalah struktur tanah, kandungan pasir kasar, pasir halus, debu, bahan organik, dan tegangan geser yang dapat diperoleh dari hasil uji laboratorium.
2. Komponen Hidrologi
Komponen hidrologi dalam penggunaan WEPP berkaitan dengan parameter curah hujan, intensitas hujan, debit aliran dan aliran permukaan. Hujan adalah faktor utama yang mengendalikan berlangsungnya daur hidrologi dalam suatu wilayah DAS. Seperti diketahui bahwa kelanjutan proses ekologi, geografi, dan tataguna lahan di suatu DAS ditentukan oleh berlangsungnya daur hidrologi, dan dengan demikian, hujan dapat dipandang sebagai faktor pendukung sekaligus pembatas bagi usaha pengelolaan sumberdaya air dan tanah (Asdak, 2002).
Proses terjadinya hujan menurut Asdak (2002) adalah karena adanya perpindahan massa air basah ke tempat yang lebih tinggi sebagai respon adanya beda tekanan udara antara dua tempat yang berbeda ketinggiannya. Di tempat tersebut, karena adanya akumulasi uap air pada suhu yang rendah maka terjadilah proses kondensasi, dan pada gilirannya massa air basah tersebt akan jatuh sebagai air hujan.
a. Intensitas dan Lama Waktu Hujan
Intensitas hujan adalah jumlah hujan per satuan waktu. Intensitas hujan atau ketebalan hujan per satuan waktu lazimnya dilaporkan dalam satuan laporan millimeter per jam. Data mengenai intensitas hujan biasanya dimanfaatkan sebagai perhitungan-perhitungan perkiraan besarnya erosi, debit puncak (banjir), perencanaan drainase, dan bangunan air lainnya. Lama waktu hujan adalah lama waktu berlangsungnya hujan, dalam hal ini dapat mewakili total curah hujan atau periode hujan yang singkat dari curah hujan yang relatif seragam.
Intensitas hujan akan mempengaruhi laju dan volume air permukaan. Pada hujan dengan intensitas tinggi, kapasitas infiltrasi akan terlamapaui dengan beda yang cukup besar dibandingkan dengan hujan yang kurang intensif. Dengan demikian, total volume air permukaan akan lebih besar pada hujan intensif dibandingkan dengan hujan yang kurang intensif meskipun curah hujan kedua tersebut sama besarnya (Asdak, 2001).
Selain intensitas hujan dan lama waktu hujan, informasi tentang kecepatan hujan juga perlu diketahui. Kecepatan curah hujan dapat diartikan sebagai kecepatan jatuhnya air hujan dan dalam hal ini dipengaruhi oleh besarnya intensitas hujan. Informasi tentang kecepatan air hujan untuk mencapai permukaan tanah adalah penting dalam proses erosi dan sedimentasi. Kecepatan tergantung pada bentuk dan ukuran diameter air hujan.
b. Aliran Permukaan
Aliran permukaan adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju ke sungai, danau dan lautan. Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah ada yang langsung masuk ke dalam tanah atau disebut infiltrasi. Sebagian lagi tidak sempat masuk ke dalam tanah dan mengalir di atas permukaan tanah atau disebut aliran permukaan (runoff) (Asdak, 2002). Proses terjadinya aliran permukaan adalah apabila curah hujan yang ada telah memnuhi keperluan air untuk evaporasi, intersepsi, infiltrasi, dan berbagai bentuk cekungan tanah dan bentuk penampang air lainnya.
Proses terjadinya aliran permukaan menurut Asdak (2001) adalah bahwa aliran permukaan akan berlangsung ketika jumlah curah hujan yang ada melampaui laju infiltrasi air ke dalam tanah. Setelah laju infiltrasi terpenuhi, air mulai mengisi cekungan-cekungan pada permukaan tanah. Setelah pengisian pada cekungan tersebut selesai, air kemudian dapat mengalir di atas permukaan tanah dengan bebas. Ada bagian aliran air aliran yang berlangsung agak cepat untuk selanjutnya membentuk aliran debit. Sedangkan bagian aliran yang lain karena melewati cekungan-cekungan permukaan tanah sehingga memerlukan waktu beberapa hari sebelum akhirnya menjadi aliran debit.
Adapun yang faktor-faktor mempengaruhi aliran permukaan menurut Asdak (2001) adalah lama waktu hujan, intensitas hujan, dan penyebaran hujan. Aliran permukaan total untuk suatu hujan secara langsung berhubungan dengan lama waktu hujan untuk intensitas hujan tertentu. Infiltrasi akan berkurang pada tingkat awal suatu kejadian hujan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hujan dengan waktu yang singkat tidak banyak menghasilkan aliran permukaan. Pada hujan dengan intensitas yang sama dengan waktu yang lebih lama justru akan menghasilkan aliran permukaan yang lebih besar.
c. Debit Aliran
Debit air adalah besarnya volume air yang mengalir melalui penampang tertentu persatuan waktu (Utaya, 2001). Data debit atau aliran sungai merupakan informasi yang paling penting bagi pengelola sumberdaya air. Dalam pengukuran ebit air langsung di lapangan pada dasarnya dapat dilakukan melalui empat kategori (Asdak, 2001):
1.) Pengukuran volume air, yaitu Pada pengukuran debit air dilakukan dalam keadaan aliran (sungai) lambat. Pengukuran ini dianggap paling akurat, terutama untuk debit aliran lambat seperti pada aliran mata air. Cara pengukurannya dilakukan dengan menentukan waktu yang diperlukan untuk mengisi container yang telah diketahui volumenya. Prosedur yang dilakukan dengan cara membuat dam kecil (alat semacam weir) di salah satu bagian yang akan diukur. Hal ini mempunyai guna agar aliran air yang akan diukur dapat terkonsentrasi pada satu otlet. Pembuatan dam kecil harus sedemikian rupa sehingga permukaan air di belakang dam tersebut cukup stabil. Besarnya debit aliran dihitung dengan cara:
Q = ˅/ t
Q = debit (m3/dt)
˅ = volume air (m3)
t = waktu pengukuran (detik)
2.) Pengukuran debit dengan cara mengukur kecepatan aliran dan menentukan debit dengan cara mengukur kecepatan aliran dan menentukan luas penampang sungai. Pengukuran ini dilakukan dengan bantuan alat ukur current meter atau sering dikenal sebagai pengukuran debit melalui pendekatan velocity-area method paling banyak dipraktikan dan berlaku untuk kebanyakan aliran sungai.
3.) Pengukuran debit dengan menggunakan bahan kimia (pewarna) yang dialirkan dalam aliran sungai. Pewarna atau radio aktif sering digunakan untuk jenis sungai yang aliran airnya tidak beraturan (turbelent), untuk maksud-masud pengukuran pengukuran hidrologi, bahan-bahan penelusur seperti yang telah disebutkan seyogyanya dalam bentuk (Church, 1974):
a. Mudah larut dalam aliran sungai
b. Bersifat stabil
c. Mudah dikenali pada konsentrasi rendah
d. Tidak bersifat meracuni biota parairan dan tidak menimbulkan dampak (negatif) yang permanen pada badan perairan
e. Relatif tidak terlalu mahal harganya
4.) Pengukuran debit dengan membuat bangunan pengukur debit seperti weir (aliran air lambat) atau flume (aliran air cepat), yaitu pembuatan bangunan pengukur debit. Pengukuran debit dilakukan dalam jangka panjang di stasiun-stasiun pengamatan hidrologi.
d. Angkutan Sedimen
Sedimen adalah hasil proses erosi, baik berupa proses erosi permukaan, erosi parit, atau jenis erosi tanah lainnya. Sedimen umumnya mengendap di bagian bawah kaki bukit, di daerah genangan banjir, di saluran air, sungai, dan waduk (Asdak, 2002). Erosi mengakibatkan terjadinya perpindahan butiran tanah ke tempat lain melalui suatu proses yang dinamakan angkutan sedimen. Sedimen merupakan hasil proses erosi, baik pada erosi permukaan, erosi parit atau jenis erosi tanah lainnya. Sedimen yang terjadi dipengaruhi oleh tenaga kinetis air hujan dan aliran permukaan sehingga partikel-partikel tanah dapat terkelupas dan terangkut menuju dasar sungai.
Proses sedimentasi dapat membawa dampak positif dan negatif bagi lingkungan. Pada dasarnya sedimen yang terangkut dan mengalir ke daerah hilir dapat memberikan kesuburan tanah dan membentuk tanah garapan baru di daerah hilir. Tetapi, disaat bersamaan aliran sedimen juga dapat mempengaruhi kualitas sungai dan terjadi pendangkalan sungai. Pada partilel-partikel pembentuk sedimen terdapat komposisi mineral dari bahan induk yang menyusunnya yang disebut dengan liat, debu, pasir, pasir besar.
Hasil sedimen tergantung pada besarnya erosi total di DAS/sub-DAS dan tergantung pada transport partikel-partikel tanah yang tererosi tersebut keluar dari daerah tangkapan air DAS/sub-DAS. Produksi sedimen umumnya mengacu pada besarnya laju sedimen yang mengalir melewati satu titik pengamatan tertentu dalam suatu sistem DAS. Tidak semua tanah yang tererosi di permukaan daerah tangkapan air akan sampai ke titik pengamatan. Sebagian tanah yang tererosi tersebut akan terdeposisi di cekungan-cekungan permukaan tanah, di kaki-kaki lereng dan bentuk penampungan sedimen lainnya. Oleh karenanya, besarnya hasil sedimen biasanya bervariasi mengikuti karakteristik fisik DAS/sub-DAS (Asdak, 2007).
Hasil sedimen diperoleh dari hasil pengukuran sedimen terlarut dalam sungai (suspended sedimen) atau dengan pengukuran langsung di dalam waduk. Pengukuran sedimen terangkut dilakukan dengan cara pengambilan contoh air sungai pada ketinggian tertentu, kemudian disaring dalam kertas saring. Analisa laboratorium dilaksanakan untuk memperoleh berat sedimen dalam satuan gram/liter dengan cara contoh sedimen yang telah disaring dikeringkan dalam oven dalam suhu kurang lebih 1050C, kemudian hasilnya ditimbang sehingga diperoleh berat sedimen tiap liter air.
Pustaka:
Pratomo, Ichwan Dwi.2011.Skripsi: Prediksi Laju Erosi Menggunakan Model WEPP di Sub DAS Junggo Hulu Kecamatan Bumiaji Kota Batu. Malang: Universitas Negeri Malang
1. Komponen Tanah
Komponen tanah dalam WEPP adalah yang paling berpengaruh menentukan laju erosi yang terjadi. Hal ini terkait dengan erodibilitas tanah, kapasitas infiltrasi tanah dan kapasitas transportasi sedimen. Menurut Russel (1973), air hanya akan mengalir di permukaan tanah apabila jumlah air hujan lebih besar daripada kemampuan tanah untuk menginfiltrasikan air ke lapisan yang lebih dalam. Dengan menurunnya porositas tanah, karena sebagian pori-pori tertutup oleh partikel tanah yang halus, maka laju infiltrasi akan semakin berkurang. Sebagai akibatnya aliran air di permukaan akan semakin bertambah banyak. Aliran air di permukaan mempunyai akibat yang lebih banyak. Dengan semakin banyaknya air yang mengalir di permukaan tanah maka akan semakin bertambah banyak pula tanah yang terkikis dan terangkut aliran yang kemudian dilanjutkan menuju sungai dan akhirnya diendapkan.
Erodibilitas tanah atau faktor kepekaan erosi tanah merupakan daya tanah baik terhadap pelepasan dan pengangkutan, terutama tergantung pada sifat-sifat tanah seperti tekstur, stabilitas agregat, kekuatan geser, kapasitas infiltrasi, kandungan bahan organik dan kimiawi. Disamping itu, juga tergantung posisi topografi, kemiringan lereng, dan gangguan oleh manusia (Suripin, 2001:73). Erodibilitas tanah juga merupakan salah satu parameter yang sangat berpengaruh terhadap laju pelepasan partikel tanah (detachment) yang terjadi di areal antarparit dan areal parit. Di dalam WEPP, penghitungan nilai erodibilitas tanah dibedakan menjadi dua, yaitu untuk daerah yang telah diolah (cropland) dan untuk daerah yang tidak diolah sama sekali (rangeland). Dari kedua jenis penggunaan lahan tersebut, kemudian WEPP membagi lagi menjadi dua metode penghitungan untuk mengukur besarnya erodiibilitas tanah, yaitu untuk tanah dengan kandungan pasir yang sama atau lebih dari 30% dan yang kurang dari 30%.
Selain itu kondisi fisik tanah turut berpengaruh dalam menentukan tegangan kritis tanah. Tegangan kritis tanah adalah kekuatan tanah dalam menahan air. Untuk tanah dengan kandungan pasir kurang dari 30% ditetapkan sebesar 3,5 Pa. Sedangkan untuk tanah dengan kandungan pasir >30% ditetapkan dengan rumus:
τc = 2,67 + 0,065clay -0,058Vfs
(Flanagan dan Livingston, 1995; Alberts et al., 1995)
Dimana τc adalah tegangan kritis tanah (Pa), Vfs adalah fraksi pasir sangat halus dan clay adalah prosentase kandungan liat dalam tanah.
Untuk menghitung erodibilitas tanah dan tegangan kritis tanah diperlukan suatu analisa beberapa unsur tanah yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tersebut adalah adalah struktur tanah, kandungan pasir kasar, pasir halus, debu, bahan organik, dan tegangan geser yang dapat diperoleh dari hasil uji laboratorium.
2. Komponen Hidrologi
Komponen hidrologi dalam penggunaan WEPP berkaitan dengan parameter curah hujan, intensitas hujan, debit aliran dan aliran permukaan. Hujan adalah faktor utama yang mengendalikan berlangsungnya daur hidrologi dalam suatu wilayah DAS. Seperti diketahui bahwa kelanjutan proses ekologi, geografi, dan tataguna lahan di suatu DAS ditentukan oleh berlangsungnya daur hidrologi, dan dengan demikian, hujan dapat dipandang sebagai faktor pendukung sekaligus pembatas bagi usaha pengelolaan sumberdaya air dan tanah (Asdak, 2002).
Proses terjadinya hujan menurut Asdak (2002) adalah karena adanya perpindahan massa air basah ke tempat yang lebih tinggi sebagai respon adanya beda tekanan udara antara dua tempat yang berbeda ketinggiannya. Di tempat tersebut, karena adanya akumulasi uap air pada suhu yang rendah maka terjadilah proses kondensasi, dan pada gilirannya massa air basah tersebt akan jatuh sebagai air hujan.
a. Intensitas dan Lama Waktu Hujan
Intensitas hujan adalah jumlah hujan per satuan waktu. Intensitas hujan atau ketebalan hujan per satuan waktu lazimnya dilaporkan dalam satuan laporan millimeter per jam. Data mengenai intensitas hujan biasanya dimanfaatkan sebagai perhitungan-perhitungan perkiraan besarnya erosi, debit puncak (banjir), perencanaan drainase, dan bangunan air lainnya. Lama waktu hujan adalah lama waktu berlangsungnya hujan, dalam hal ini dapat mewakili total curah hujan atau periode hujan yang singkat dari curah hujan yang relatif seragam.
Intensitas hujan akan mempengaruhi laju dan volume air permukaan. Pada hujan dengan intensitas tinggi, kapasitas infiltrasi akan terlamapaui dengan beda yang cukup besar dibandingkan dengan hujan yang kurang intensif. Dengan demikian, total volume air permukaan akan lebih besar pada hujan intensif dibandingkan dengan hujan yang kurang intensif meskipun curah hujan kedua tersebut sama besarnya (Asdak, 2001).
Selain intensitas hujan dan lama waktu hujan, informasi tentang kecepatan hujan juga perlu diketahui. Kecepatan curah hujan dapat diartikan sebagai kecepatan jatuhnya air hujan dan dalam hal ini dipengaruhi oleh besarnya intensitas hujan. Informasi tentang kecepatan air hujan untuk mencapai permukaan tanah adalah penting dalam proses erosi dan sedimentasi. Kecepatan tergantung pada bentuk dan ukuran diameter air hujan.
b. Aliran Permukaan
Aliran permukaan adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju ke sungai, danau dan lautan. Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah ada yang langsung masuk ke dalam tanah atau disebut infiltrasi. Sebagian lagi tidak sempat masuk ke dalam tanah dan mengalir di atas permukaan tanah atau disebut aliran permukaan (runoff) (Asdak, 2002). Proses terjadinya aliran permukaan adalah apabila curah hujan yang ada telah memnuhi keperluan air untuk evaporasi, intersepsi, infiltrasi, dan berbagai bentuk cekungan tanah dan bentuk penampang air lainnya.
Proses terjadinya aliran permukaan menurut Asdak (2001) adalah bahwa aliran permukaan akan berlangsung ketika jumlah curah hujan yang ada melampaui laju infiltrasi air ke dalam tanah. Setelah laju infiltrasi terpenuhi, air mulai mengisi cekungan-cekungan pada permukaan tanah. Setelah pengisian pada cekungan tersebut selesai, air kemudian dapat mengalir di atas permukaan tanah dengan bebas. Ada bagian aliran air aliran yang berlangsung agak cepat untuk selanjutnya membentuk aliran debit. Sedangkan bagian aliran yang lain karena melewati cekungan-cekungan permukaan tanah sehingga memerlukan waktu beberapa hari sebelum akhirnya menjadi aliran debit.
Adapun yang faktor-faktor mempengaruhi aliran permukaan menurut Asdak (2001) adalah lama waktu hujan, intensitas hujan, dan penyebaran hujan. Aliran permukaan total untuk suatu hujan secara langsung berhubungan dengan lama waktu hujan untuk intensitas hujan tertentu. Infiltrasi akan berkurang pada tingkat awal suatu kejadian hujan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hujan dengan waktu yang singkat tidak banyak menghasilkan aliran permukaan. Pada hujan dengan intensitas yang sama dengan waktu yang lebih lama justru akan menghasilkan aliran permukaan yang lebih besar.
c. Debit Aliran
Debit air adalah besarnya volume air yang mengalir melalui penampang tertentu persatuan waktu (Utaya, 2001). Data debit atau aliran sungai merupakan informasi yang paling penting bagi pengelola sumberdaya air. Dalam pengukuran ebit air langsung di lapangan pada dasarnya dapat dilakukan melalui empat kategori (Asdak, 2001):
1.) Pengukuran volume air, yaitu Pada pengukuran debit air dilakukan dalam keadaan aliran (sungai) lambat. Pengukuran ini dianggap paling akurat, terutama untuk debit aliran lambat seperti pada aliran mata air. Cara pengukurannya dilakukan dengan menentukan waktu yang diperlukan untuk mengisi container yang telah diketahui volumenya. Prosedur yang dilakukan dengan cara membuat dam kecil (alat semacam weir) di salah satu bagian yang akan diukur. Hal ini mempunyai guna agar aliran air yang akan diukur dapat terkonsentrasi pada satu otlet. Pembuatan dam kecil harus sedemikian rupa sehingga permukaan air di belakang dam tersebut cukup stabil. Besarnya debit aliran dihitung dengan cara:
Q = ˅/ t
Q = debit (m3/dt)
˅ = volume air (m3)
t = waktu pengukuran (detik)
2.) Pengukuran debit dengan cara mengukur kecepatan aliran dan menentukan debit dengan cara mengukur kecepatan aliran dan menentukan luas penampang sungai. Pengukuran ini dilakukan dengan bantuan alat ukur current meter atau sering dikenal sebagai pengukuran debit melalui pendekatan velocity-area method paling banyak dipraktikan dan berlaku untuk kebanyakan aliran sungai.
3.) Pengukuran debit dengan menggunakan bahan kimia (pewarna) yang dialirkan dalam aliran sungai. Pewarna atau radio aktif sering digunakan untuk jenis sungai yang aliran airnya tidak beraturan (turbelent), untuk maksud-masud pengukuran pengukuran hidrologi, bahan-bahan penelusur seperti yang telah disebutkan seyogyanya dalam bentuk (Church, 1974):
a. Mudah larut dalam aliran sungai
b. Bersifat stabil
c. Mudah dikenali pada konsentrasi rendah
d. Tidak bersifat meracuni biota parairan dan tidak menimbulkan dampak (negatif) yang permanen pada badan perairan
e. Relatif tidak terlalu mahal harganya
4.) Pengukuran debit dengan membuat bangunan pengukur debit seperti weir (aliran air lambat) atau flume (aliran air cepat), yaitu pembuatan bangunan pengukur debit. Pengukuran debit dilakukan dalam jangka panjang di stasiun-stasiun pengamatan hidrologi.
d. Angkutan Sedimen
Sedimen adalah hasil proses erosi, baik berupa proses erosi permukaan, erosi parit, atau jenis erosi tanah lainnya. Sedimen umumnya mengendap di bagian bawah kaki bukit, di daerah genangan banjir, di saluran air, sungai, dan waduk (Asdak, 2002). Erosi mengakibatkan terjadinya perpindahan butiran tanah ke tempat lain melalui suatu proses yang dinamakan angkutan sedimen. Sedimen merupakan hasil proses erosi, baik pada erosi permukaan, erosi parit atau jenis erosi tanah lainnya. Sedimen yang terjadi dipengaruhi oleh tenaga kinetis air hujan dan aliran permukaan sehingga partikel-partikel tanah dapat terkelupas dan terangkut menuju dasar sungai.
Proses sedimentasi dapat membawa dampak positif dan negatif bagi lingkungan. Pada dasarnya sedimen yang terangkut dan mengalir ke daerah hilir dapat memberikan kesuburan tanah dan membentuk tanah garapan baru di daerah hilir. Tetapi, disaat bersamaan aliran sedimen juga dapat mempengaruhi kualitas sungai dan terjadi pendangkalan sungai. Pada partilel-partikel pembentuk sedimen terdapat komposisi mineral dari bahan induk yang menyusunnya yang disebut dengan liat, debu, pasir, pasir besar.
Hasil sedimen tergantung pada besarnya erosi total di DAS/sub-DAS dan tergantung pada transport partikel-partikel tanah yang tererosi tersebut keluar dari daerah tangkapan air DAS/sub-DAS. Produksi sedimen umumnya mengacu pada besarnya laju sedimen yang mengalir melewati satu titik pengamatan tertentu dalam suatu sistem DAS. Tidak semua tanah yang tererosi di permukaan daerah tangkapan air akan sampai ke titik pengamatan. Sebagian tanah yang tererosi tersebut akan terdeposisi di cekungan-cekungan permukaan tanah, di kaki-kaki lereng dan bentuk penampungan sedimen lainnya. Oleh karenanya, besarnya hasil sedimen biasanya bervariasi mengikuti karakteristik fisik DAS/sub-DAS (Asdak, 2007).
Hasil sedimen diperoleh dari hasil pengukuran sedimen terlarut dalam sungai (suspended sedimen) atau dengan pengukuran langsung di dalam waduk. Pengukuran sedimen terangkut dilakukan dengan cara pengambilan contoh air sungai pada ketinggian tertentu, kemudian disaring dalam kertas saring. Analisa laboratorium dilaksanakan untuk memperoleh berat sedimen dalam satuan gram/liter dengan cara contoh sedimen yang telah disaring dikeringkan dalam oven dalam suhu kurang lebih 1050C, kemudian hasilnya ditimbang sehingga diperoleh berat sedimen tiap liter air.
Pustaka:
Pratomo, Ichwan Dwi.2011.Skripsi: Prediksi Laju Erosi Menggunakan Model WEPP di Sub DAS Junggo Hulu Kecamatan Bumiaji Kota Batu. Malang: Universitas Negeri Malang
Langganan:
Postingan (Atom)