Pengembangan metode laju erosi model empiris meliputi pengembangan dan analisis antara sifat yang menyebabkan terjadinya erosi secara numerik dengan besarnya erosi. Salah satu metode yang termasuk ke dalam model empiris ini dan yang paling banyak digunakan di seluruh dunia adalah USLE. Asdak (2001) berpendapat bahwa rumus USLE hanya menampilkan lima faktor yang dianggap memainkan peranan penting untuk terjadinya erosi. Faktor-faktor R (erosivitas) dan K (erodibilitas) umumnya diasumsikan tidak berubah untuk tempat-tempat dengan intensitas curah hujan tahunan dan jenis tanah yang kurang lebih sama. Sementara faktor L, S, C, dan P akan memberikan angka berbeda sesuai dengan kemiringan lereng, teknik konservasi, dan tata guna lahan yang diusahakan. Dalam penggunaan rumus USLE ada beberapa keterbatasan yang perlu dipertimbangkan agar diperoleh hasil prakiraan erosi yang memadai. Keterbatasan tersebut adalah sebagai berikut:
1.) USLE bersifat empiris dan secara matematik tidak mewakili proses yang sebenarnya. Kesalahan dalam memperkirakan besarnya erosi dapat dikurangi dengan menggunakan angka-angka tetapan yang seharsnya juga bersifat empiris.
2.) Persamaan matematik USLE dirancang untuk memperkirakan besarnya kehilangan tanah rata-rata tahunan.
3.) USLE tidak memperhitungkan endapan sedimen. Artinya, USLE hanya memperkirakan besarnya tanah yang tererosi, tetapi tidak mempertimbangkan deposisi sedimen dalam perhitungan besarnya prakiraan erosi.
4.) Petak-petak erosi yang digunakan untuk mengukur besarnya erosi mempunyai kemiringan antara 3-20% dan terletak di daerah iklim sedang. Di daerah tropis, kebanyakan daerah aliran sungai mempunyai kombinasi kemiringan lereng lebih besar dari 25% dan curah hujan yang tinggi. Oleh karena itu pemakaian USLE akan menghasilkan nilai prakiraan yang lebih kecil atau bahkan lebih besar dari yang sesungguhnya.
Model empiris dianggap berada diantara model deterministik dan model stokastik. Dalam model empiris ini terdapat informasi mengenai faktor-faktor yang berpengaruh dan proses yang terjadi sehingga pendekatan stokastik tidak diperlukan, namun demikian informasi yang tersedia tersebut belum cukup untuk menyusun model deterministik. Oleh karena begitu banyaknya keterbatasan-keterbatasan dalam model empiris ini, pengembangan model pendugaan erosi berikutnya berkembang ke arah model deterministik.
Model deterministik merupakan model yang didasarkan pada hukum konservasi massa dan konservasi energi. Pada umumnya model-model tersebut memanfaatkan bentuk persamaan diferensial khusus yang dikenal sebagai persamaan kontinuitas, yang merupakan pernyataan konservasi massa (materi) sewaktu melalui ruang dalam selang waktu tertentu (Suripin, 2002). Lebih lanjut Suripin dalam bukunya menyatakan bahwa persamaan tersebut dapat dipergunakan untuk erosi tanah pada segmen kecil dengan penjelasan sebagai berikut. Pada segmen tersebut terdapat masukan material dari hasil pelepasan butir-butir tanah pada segmen itu sendiri dan masukan sedimen dari lereng diatasnya. Dari segmen tersebut terdapat keluaran material melalui proses pengangkutan oleh percikan hujan dan aliran permukaan. Jika proses pengangkutan mempunyai kapasitas yang cukup untuk mengangkut semua masukan material, maka akan terjadi kehilangan tanah pada segmen tersebut. Sebaliknya kapasitas pengangkutan tidak cukup, maka akan terjadi penambahan material. Sehingga dalam suatu segmen lereng akan terjadi proses sebagai berikut:
Masukan – keluaran = kehilangan atau penambahan material (Suripin, 2002)
Pedekatan tersebut sebagaimana yang telah digunakan oleh Mayer dan Wischmeier (1969) dalam model matematik yang dirancang untuk mensimulasi erosi tanah sebagai suatu proses dinamik. Suripin (2002) menjelaskan pengoperasian model tersebut menggunakan empat persamaan yang mendiskripsikan (1) pelepasan butir-butir tanah oleh curah hujan (soil detachment by rainfall), (2) pelepasan butir-butir tanah oleh aliran permukaan hujan (soil detachment by runoff), (3) kapasitas pengangkutan air hujan (transport capacity of rainfall), dan (4) kapasitas pengangkutan aliran permukaan (transport capacity of runoff).
Salah satu metode pendugaan erosi yang saat ini populer dari kelompok pengembangan model deterministik adalah WEPP. Menurut Agus et al, (1997) WEPP dibentuk untuk mengembangkan sarana prediksi erosi yang lebih mutakhir, untuk digunakan oleh lembaga yang berkecimpung di bidang konservasi tanah dan air, perencanaan dan asesmen lingkungan. Teknologi prediksi erosi WEPP merupakan teknologi yang berorientasi proses dan dikembangkan berdasarkan ilmu hidrologi dan erosi.
Model WEPP memiliki berbagai keunggulan dibanding model USLE maupun RUSLE, antara lain bahwa nisbah kehilangan tanah dapat ditaksir secara spasial sepanjang profil (lahan) dan juga dapat menaksir besarnya sedimen yang terangkut. Selain itu limpasan permukaan dan sedimen dapat diduga tiap terjadinya hujan, sehingga bisa menghasilkan analisa sementara yang mendetail beserta penyebarannya.
Proses pendugaan laju erosi dengan menggunakan model WEPP merupakan proses pendugaan yang bersifat harian. Jika tidak terjadi hujan, proses akan dilajutkan untuk kondisi hari berikutnya. Jika terjadi hujan, WEPP menentukan apakah terjadi aliran permukaan berdasarkan laju infiltrasi dan distribusi hujan. Jika terjadi aliran permukaan, WEPP akan menghitung volume dan laju aliran dan waktu kejadiannya. Sehingga aliran yang terjadi digunakan untuk memprediksi pelepasan material dan angkutan sedimen ke sistem saluran (Suripin, 2002).
Oleh karena begitu banyaknya parameter-parameter yang berpengaruh dalam WEPP, maka model ini mempunyai keterbatasan-keterbatasan. Keterbatasan tersebut antara lain adalah data masukan berupa intensitas hujan, laju infiltrasi, laju aliran permukaan, debit aliran dan muatan sedimen sifatnya selalu fluktuatif dan tidak linier dalam setiap kejadiannya. Oleh karena itu pada beberapa parameter tersebut diasumsikan dalam kondisi permanen (steady), misalnya intensitas hujan, aliran permukaan dan debit aliran (Suripin, 2002).
Morgan (1986) dalam Suripin (2002) menyatakan bahwa idealnya, metode prediksi laju erosi harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang nampaknya bertentangan, yaitu model harus dapat diandalkan, dapat digunakan secara umum (berlaku universal), mudah dipergunakan dengan data yang minimum, komprehensif dalam faktor-faktor yang dipergunakan, dan dapat mengikuti (peka) terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di DAS. Namun mengingat begitu rumitnya proses erosi lahan dan sedimen yield, hingga sekarang belum ada model yang memenuhi persyaratan tersebut, tak terkecuali juga WEPP. Sehingga masih terbuka peluang yang sangat lebar untuk melakukan penelitian-penelitian berkaitan dengan metode pendugaan laju erosi. Pendekatan yang paling memberikan harapan dalam pengembangan metode dan prosedur prediksi adalah dengan merumuskan model konseptual proses erosi (Arsyad, 1989 dalam Suripin (2002).
Pratomo, Ichwan Dwi. 2011. Skripsi: Prediksi Laju Erosi Menggunakan Model WEPP di Sub DAS Junggo Hulu Kecamatan Bumiaji Kota Batu. Malang: Universitas Negeri Malang.
Apa kepanjangan WEPP, mohon saran.
BalasHapusgumbi 081326460743