FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI
Pengetahuan tentang faktor penentu kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi akan memperkaya wawasan dan memperkuat landasan dari pengambil keputusan, penanggung jawab lapangan, teknisi, penyuluh dan organisasi kemasyarakatan dalam menyusun program dan melaksanakan teknik penanggulangan longsor dan erosi di daerah kewenangannya. Longsor dan erosi adalah proses berpindahnya tanah atau batuan dari satu tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah akibat dorongan air, angin, atau gaya gravitasi. Proses tersebut melalui tiga tahapan, yaitu pelepasan, pengangkutan atau pergerakan, dan pengendapan. Perbedaan menonjol dari fenomena longsor dan erosi adalah volume tanah yang dipindahkan, waktu yang dibutuhkan, dan kerusakan yang ditimbulkan. Longsor memindahkan massa tanah dengan volume yang besar, adakalanya disertai oleh batuan dan pepohonan, dalam waktu yang relatif singkat, sedangkan erosi tanah adalah memindahkan partikel-partikel tanah dengan volume yang relatif lebih kecil pada setiap kali kejadian dan berlangsung dalam waktu yang relatif lama. Dua bentuk longsor yang sering terjadi di daerah pegunungan adalah:
(1). Guguran, yaitu pelepasan batuan atau tanah dari lereng curam dengan gaya bebas atau bergelinding dengan kecepatan tinggi sampai sangat tinggi (Gambar 1a). Bentuk longsor ini terjadi pada lereng yang sangat curam (>100%).
(2). Peluncuran, yaitu pergerakan bagian atas tanah dalam volume besar akibat keruntuhan gesekan antara bongkahan bagian atas dan bagian bawah tanah (Gambar 1b). Bentuk longsor ini umumnya terjadi apabila terdapat bidang luncur pada kedalaman tertentu dan tanah bagian atas dari bidang luncur tersebut telah jenuh air.
Gambar 1. Bentuk longsor yang sering terjadi di Indonesia: a) guguran, dan
b) peluncuran.
Sekitar 45% luas lahan di Indonesia berupa lahan pegunungan berlereng yang peka terhadap longsor dan erosi (Tabel 1). Pegunungan dan perbukitan adalah hulu sungai yang mengalirkan air permukaan secara gravitasi melewati celah-celah lereng ke lahan yang letaknya lebih rendah. Keterkaitan antara daerah aliran sungai (DAS) hulu, tengah, dan hilir diilustrasikan pada Gambar 2. Keterkaitan tersebut dijelaskan sebagai berikut:
(1). Penggundulan hutan di DAS hulu atau zona tangkapan hujan akan mengurangi resapan air hujan, dan karena itu akan memperbesar aliran permukaan. Aliran permukaan adalah pemicu terjadinya longsor dan/atau erosi dengan mekanisme yang berbeda.
(2). Budidaya pertanian pada DAS tengah atau zona konservasi yang tidak tepat akan memicu terjadinya longsor dan/atau erosi. Pengendalian aliran permukaan merupakan kunci utama. Pada daerah yang tidak rawan longsor, memperbesar resapan air dan sebagai konsekuensinya adalah memperkecil aliran permukaan merupakan pilihan utama. Sebaliknya, jika daerah tersebut rawan longsor, aliran permukaan perlu dialirkan sedemikian rupa sehingga tidak menjenuhi tanah dan tidak memberbesar erosi.
(3). Air yang meresap ke dalam lapisan tanah di zona tangkapan hujan dan konservasi akan keluar berupa sumber-sumber air yang ditampung di badan-badan air seperti sungai, danau, dan waduk untuk pembangkit listrik, irigasi, air minum, dan penggelontoran kota.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya longsor dan erosi adalah faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam yang utama adalah iklim , sifat tanah, bahan induk, elevasi, dan lereng. Faktor manusia adalah semua tindakan manusia yang dapat mempercepat terjadinya erosi dan longsor. Faktor alam yang menyebabkan terjadinya longsor dan erosi diuraikan berikut ini.
1.1. Iklim
Curah hujan adalah salah satu unsur iklim yang besar perannya terhadap kejadian longsor dan erosi. Air hujan yang terinfiltrasi ke dalam tanah dan menjenuhi tanah menentukan terjadinya longsor, sedangkan pada kejadian erosi, air limpasan permukaan adalah unsur utama penyebab terjadinya erosi. Hujan dengan curahan dan intensitas yang tinggi, misalnya 50 mm dalam waktu singkat (<1 jam), lebih berpotensi menyebabkan erosi dibanding hujan dengan curahan yang sama namun dalam waktu yang lebih lama (> 1 jam). Namun curah hujan yang sama tetapi berlangsung lama (>6 jam) berpotensi menyebabkan longsor, karena pada kondisi tersebut dapat terjadi penjenuhan tanah oleh air yang meningkatkan massa tanah. Intensitas hujan menentukan besar kecilnya erosi, sedangkan longsor ditentukan oleh kondisi jenuh tanah oleh air hujan dan keruntuhan gesekan bidang luncur. Curah hujan tahunan >2000 mm terjadi pada sebagian besar wilayah Indonesia. Kondisi ini berpeluang besar menimbulkan erosi, apalagi di wilayah pegunungan yang lahannya didominasi oleh berbagai jenis tanah.
2.2. Tanah
2.2.1. Kedalaman, tekstur dan struktur tanah Kedalaman atau solum, tekstur, dan struktur tanah menentukan besar kecilnya air limpasan permukaan dan laju penjenuhan tanah oleh air. Pada tanah bersolum dalam (>90 cm), struktur gembur, dan penutupan lahan rapat, sebagian besar air hujan terinfiltrasi ke dalam tanah dan hanya sebagian kecil yang menjadi air limpasan permukaan. Sebaliknya, pada tanah bersolum
dangkal, struktur padat, dan penutupan lahan kurang rapat, hanya sebagian kecil air hujan yang terinfiltrasi dan sebagian besar menjadi aliran permukaan
(Gambar 3).
Gambar 3. Hubungan antara struktur lapisan tanah dan penutupan lahan terhadap jumlah infiltrasi dan aliran permukaan relatif.
Faktor lain yang menentukan kelongsoran tanah adalah ketahanan gesekan bidang luncur. Faktor yang menentukan ketahanan gesekan adalah: a) gaya saling menahan di antara dua bidang yang bergeser, dan b) mekanisme saling mengunci di antara partikel-partikel yang bergeser. Untuk kasus pertama, partikel hanya menggeser di atas partikel yang lain dan tidak terjadi penambahan volume. Untuk kasus kedua, terjadi penambahan volume karena partikel yang bergeser mengatur kedudukannya sedemikian rupa, sehingga menyebabkan keruntuhan. Ketahanan gesekan ditentukan oleh bentuk partikel. Pada partikel berbentuk lempengan seperti liat, penambahan air mempercepat keruntuhan. Sebaliknya pada partikel berbentuk butiran seperti kuarsa dan feldspar, penambahan air memperlambat keruntuhan.
2.2.2. Bahan induk tanah
Sifat bahan induk tanah ditentukan oleh asal batuan dan komposisi mineralogi yang berpengar uh terhadap kepekaan erosi dan longsor. Di daerah pegunungan, bahan induk tanah didominasi oleh batuan kokoh dari batuan volkanik, sedimen, dan metamorfik. Tanah yang terbentuk dari batuan sedimen, terutama batu liat, batu liat berkapur atau marl dan batu kapur, relatif peka terhadap erosi dan longsor. Batuan volkanik umumnya tahan erosi dan longs or. Salah satu ciri lahan peka longsor adalah adanya rekahan tanah selebar >2 cm dan dalam >50 cm yang terjadi pada musim kemarau. Tanah tersebut mempunyai sifat mengembang pada kondisi basah dan mengkerut pada kondisi kering, yang disebabkan oleh tingginya kandungan mineral liat tipe 2:1 seperti yang dijumpai pada tanah Grumusol (Vertisols). Pada kedalaman tertentu dari tanah Podsolik atau Mediteran terdapat akumulasi liat (argilik) yang pada kondisi jenuh air dapat juga berfungsi sebagai bidang luncur pada kejadian longsor.
2.3. Elevasi
Elevasi adalah istilah lain dari ukuran ketinggian lokasi di atas permukaan laut. Lahan pegunungan berdasarkan elevasi dibedakan atas dataran medium (350-700 m dpl) dan dataran tinggi (>700 m dpl). Elevasi berhubungan erat dengan jenis komoditas yang sesuai untuk mempertahankan kelestarian lingkungan. Badan Pertanahan Nasional menetapkan lahan pada ketinggian di atas 1000 m dpl dan lereng >45% sebagai kawasan usaha terbatas, dan diutamakan sebagai kawasan hutan lindung. Sementara, Departemen Kehutanan menetapkan lahan dengan ketinggian >2000 m dpl dan/atau lereng >40% sebagai kawasan lindung.
2.4. Lereng
Lereng atau kemiringan lahan adalah salah satu faktor pemicu terjadinya erosi dan longsor di lahan pegunungan. Peluang terjadinya erosi dan longsor makin besar dengan makin curamnya lereng. Makin curam lereng makin besar pula volume dan kecepatan aliran permukaan yang berpotensi menyebabkan erosi. Selain kecuraman, panjang lereng juga menentukan besarnya longsor dan erosi. Makin panjang lereng, erosi yang terjadi makin besar. Pada lereng >40% longsor sering terjadi, terutama disebabkan oleh pengaruh gaya gravitasi. Kondisi wilayah/lereng dikelompokkan sebagai berikut:
Datar : lereng <3%, dengan beda tinggi <2 m.
Berombak : lereng 3-8%, dengan beda tinggi 2–10 m.
Bergelombang : lereng 8-15%, dengan beda tinggi 10–50 m.
Berbukit : lereng15-30%, dengan beda tinggi 50–300 m.
Bergunung : lereng >30%, dengan beda tinggi >300 m.
Erosi dan longsor sering terjadi di wilayah berbukit dan bergunung, terutama pada tanah berpasir (Regosol atau Psamment), Andosol (Andisols), tanah dangkal berbatu (Litosol atau Entisols), dan tanah dangkal berkapur (Renzina atau Mollisols). Di wilayah bergelombang, intensitas erosi dan longsor agak berkurang, kecuali pada tanah Podsolik (Ultisols), Mediteran (Alfisols), dan Grumusol (Vertisols) yang terbentuk dari batuan induk batu liat, napal, dan batu kapur dengan kandungan liat 2:1 (Montmorilonit) tinggi, sehingga pengelolaan lahan yang disertai oleh tindakan konservasi sangat diperlukan. Dalam sistem budidaya pada lahan berlereng >15% lebih diutamakan campuran tanaman semusim dengan tanaman tahunan atau sistem wanatani (agroforestry).
Sumber: Pedoman Umum Budidaya Pertanian di Lahan Pegunungan
Minggu, 04 Desember 2011
Jumat, 02 Desember 2011
PREDIKSI LAJU EROSI DENGAN MENGGUNAKAN MODEL WATER EROSION PREDICTION PROJECT DI SUB DAS JUNGGO HULU KECAMATAN BUMIAJI KOTA BATU
PREDIKSI LAJU EROSI DENGAN MENGGUNAKAN MODEL WATER EROSION PREDICTION PROJECT DI SUB DAS JUNGGO HULU KECAMATAN BUMIAJI KOTA BATU
Oleh:
Ichwan Dwi Pratomo, Drs. Didik Taryana, M.Si, Drs. Dwiyono Hari Utomo, M.Pd, M.Si.
Abstrak
Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, maka akan mendorong peningkatan kebutuhan hidup, baik secara kualitas maupun kuantitas. Tuntutan pemenuhan kebutuhan manusia tersebut selanjutnya menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan lahan untuk tempat tinggal maupun kegiatan pertanian. Pembukaan lahan baru berlangsung secara berlebihan, sehingga mempercepat proses erosi. Kerugian akibat erosi berdampak sangat luas, karena tidak hanya menyebabkan kerusakan di daerah hulu saja, tetapi juga di daerah yang dialiri aliran endapan (daerah tengah), dan di bagian hilir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sub DAS Junggo hulu yang terbagi ke dalam dua unit lahan, memiliki nilai total sedimen terangkut yang bervariasi, dimana pada unit lahan AKK 26-45% berdasarkan hasil pengukuran pertama berturut-turut sampai pada pengukuran keempat adalah sebagai berikut: (1) pengangkutan sedimen sebesar 7,461677 kg/dt, (2) pengendapan sedimen sebesar -0,69208502 kg/dt (3) pengendapan sedimen sebesar -3,08392743 kg/dt, dan (4) pengendapan sedimen sebesar -0,82869316 kg/dt. Sedangkan total sedimen terangkut di unit lahan AKK 16-25% pada pengukuran pertama berturut-turut sampai pada pengukuran keempat adalah sebagai berikut: (1) pengangkutan sedimen sebesar 10,55165627 kg/dt, (2) pengangkutan sedimen sebesar 1,86448370 kg/dt (3) pengendapan sedimen sebesar -1,13330122 kg/dt, dan (4) pengangkutan sedimen sebesar 0,71693563 kg/dt.
Kata Kunci: erosi, sedimen, Model WEPP
PENDAHULUAN
Sebagai makhluk hidup, manusia senantiasa membutuhkan alat pemenuhan kebutuhan untuk menunjang kehidupannya. Kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Kemudian sejalan dengan berkembanganya peradaban manusia serta pertumbahan penduduk dunia yang meningkat begitu pesat, alat pemenuhan kebutuhan manusia menjadi semakin sulit diperoleh, sehingga manusia selalu mencari cara agar semua kebutuhannya terpenuhi dengan memaksimalkan sumber daya alam yang ada.
Sejalan dengan upaya pemenuhan kebutuhan hidup manusia tersebut, maka manusia akan memanfaatkan segala sumber daya alam yang ada untuk kebutuhan pemukiman maupun untuk lahan pertanian. Dengan keadaan yang seperti ini, maka dimungkinkan manusia akan merusak keseimbangan alam, khususnya keseimbangan air dan lahan yang batas kemampuannya sudah terlampaui. Pada akhirnya ketidakseimbangan lingkungan ini dapat mengakibatkan dampak negatif yang besar, seperti terjadinya banjir dan tanah longsor.
Pendugaan erosi pada suatu lahan dapat dilakukan dengan beberapa model. Salah satu metode pendugaan erosi yang saat ini populer dari kelompok pengembangan model deterministik adalah WEPP (Water Erosion Prediction Project). Model WEPP memiliki berbagai keunggulan, antara lain bahwa nisbah kehilangan tanah dapat ditaksir secara spasial sepanjang profil (lahan) dan juga dapat menaksir besarnya sedimen yang terangkut. Selain itu limpasan permukaan dan sedimen dapat diduga tiap terjadinya hujan, sehingga bisa menghasilkan analisa sementara yang mendetail beserta penyebarannya.
Sub DAS Junggo termasuk ke dalam DAS Sumber Brantas dan merupakan daerah yang memiliki fisiografi berbukit dan bergunung-gunung yang sebagian besar kemiringan lerengnya lebih dari 30% dengan luas lahan 6.419,75 Ha, yang berupa hutan seluas 716,25 Ha, semak belukar seluas 361,25 Ha, tegal dan kebun 4.647 Ha, dan sawah sebesar 1.056 Ha. Satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa penggunaan lahan tegalan dan kebun yang berasal dari alih fungsi hutan secara ilegal oleh penduduk sekitarnya seluas 3.934 Ha. Alih fungsi hutan menjadi lahan tanaman sayuran akan menyebabkan laju erosi semakin meningkat. Berdasarkan permasalahan tersebut diatas perlu diadakan penelitian untuk mengetahui besarnya laju erosi dengan judul ”Prediksi Laju Erosi dengan Menggunakan Model Water Erossion Prediction Project (WEPP) di Sub DAS Junggo Hulu Kecamatan Bumiaji Kota Batu”.
(....jurnal selengkapnya dapat di download pada link berikut ini........)
DOWNLOAD!!!
Oleh:
Ichwan Dwi Pratomo, Drs. Didik Taryana, M.Si, Drs. Dwiyono Hari Utomo, M.Pd, M.Si.
Abstrak
Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, maka akan mendorong peningkatan kebutuhan hidup, baik secara kualitas maupun kuantitas. Tuntutan pemenuhan kebutuhan manusia tersebut selanjutnya menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan lahan untuk tempat tinggal maupun kegiatan pertanian. Pembukaan lahan baru berlangsung secara berlebihan, sehingga mempercepat proses erosi. Kerugian akibat erosi berdampak sangat luas, karena tidak hanya menyebabkan kerusakan di daerah hulu saja, tetapi juga di daerah yang dialiri aliran endapan (daerah tengah), dan di bagian hilir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sub DAS Junggo hulu yang terbagi ke dalam dua unit lahan, memiliki nilai total sedimen terangkut yang bervariasi, dimana pada unit lahan AKK 26-45% berdasarkan hasil pengukuran pertama berturut-turut sampai pada pengukuran keempat adalah sebagai berikut: (1) pengangkutan sedimen sebesar 7,461677 kg/dt, (2) pengendapan sedimen sebesar -0,69208502 kg/dt (3) pengendapan sedimen sebesar -3,08392743 kg/dt, dan (4) pengendapan sedimen sebesar -0,82869316 kg/dt. Sedangkan total sedimen terangkut di unit lahan AKK 16-25% pada pengukuran pertama berturut-turut sampai pada pengukuran keempat adalah sebagai berikut: (1) pengangkutan sedimen sebesar 10,55165627 kg/dt, (2) pengangkutan sedimen sebesar 1,86448370 kg/dt (3) pengendapan sedimen sebesar -1,13330122 kg/dt, dan (4) pengangkutan sedimen sebesar 0,71693563 kg/dt.
Kata Kunci: erosi, sedimen, Model WEPP
PENDAHULUAN
Sebagai makhluk hidup, manusia senantiasa membutuhkan alat pemenuhan kebutuhan untuk menunjang kehidupannya. Kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Kemudian sejalan dengan berkembanganya peradaban manusia serta pertumbahan penduduk dunia yang meningkat begitu pesat, alat pemenuhan kebutuhan manusia menjadi semakin sulit diperoleh, sehingga manusia selalu mencari cara agar semua kebutuhannya terpenuhi dengan memaksimalkan sumber daya alam yang ada.
Sejalan dengan upaya pemenuhan kebutuhan hidup manusia tersebut, maka manusia akan memanfaatkan segala sumber daya alam yang ada untuk kebutuhan pemukiman maupun untuk lahan pertanian. Dengan keadaan yang seperti ini, maka dimungkinkan manusia akan merusak keseimbangan alam, khususnya keseimbangan air dan lahan yang batas kemampuannya sudah terlampaui. Pada akhirnya ketidakseimbangan lingkungan ini dapat mengakibatkan dampak negatif yang besar, seperti terjadinya banjir dan tanah longsor.
Pendugaan erosi pada suatu lahan dapat dilakukan dengan beberapa model. Salah satu metode pendugaan erosi yang saat ini populer dari kelompok pengembangan model deterministik adalah WEPP (Water Erosion Prediction Project). Model WEPP memiliki berbagai keunggulan, antara lain bahwa nisbah kehilangan tanah dapat ditaksir secara spasial sepanjang profil (lahan) dan juga dapat menaksir besarnya sedimen yang terangkut. Selain itu limpasan permukaan dan sedimen dapat diduga tiap terjadinya hujan, sehingga bisa menghasilkan analisa sementara yang mendetail beserta penyebarannya.
Sub DAS Junggo termasuk ke dalam DAS Sumber Brantas dan merupakan daerah yang memiliki fisiografi berbukit dan bergunung-gunung yang sebagian besar kemiringan lerengnya lebih dari 30% dengan luas lahan 6.419,75 Ha, yang berupa hutan seluas 716,25 Ha, semak belukar seluas 361,25 Ha, tegal dan kebun 4.647 Ha, dan sawah sebesar 1.056 Ha. Satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa penggunaan lahan tegalan dan kebun yang berasal dari alih fungsi hutan secara ilegal oleh penduduk sekitarnya seluas 3.934 Ha. Alih fungsi hutan menjadi lahan tanaman sayuran akan menyebabkan laju erosi semakin meningkat. Berdasarkan permasalahan tersebut diatas perlu diadakan penelitian untuk mengetahui besarnya laju erosi dengan judul ”Prediksi Laju Erosi dengan Menggunakan Model Water Erossion Prediction Project (WEPP) di Sub DAS Junggo Hulu Kecamatan Bumiaji Kota Batu”.
(....jurnal selengkapnya dapat di download pada link berikut ini........)
DOWNLOAD!!!
Pembagian Klas Erosi Menurut Land System
Pembagian Klas Erosi Menurut Land System
1. Sistem lahan tererosi (eroded land system)
2. Sistem lahan yang mengandung bahaya erosi amat sangat tinggi (extremely severe erosion hazard)
3. Sistem lahan yang mengandung bahaya erosi amat tinggi (very severeerosion hazard)
4. Sistem lahan yang mengandung bahaya erosi sangat tinggi (severe erosion hazard)
5. Sistem lahan yang mengandung bahaya erosi sedang (moderately severe erosion hazard)
6. Sistem lahan yang mengandung bahaya erosi ringan (slight erosion hazard)
Macam – macam Gerakan Tanah
Gerakan tanah adalah perpindahan masa tanah atau batuan yang bergerak dari atas ke bawah disepanjang lereng atau keluar dari lereng. Jenis gerakan tanah dapat dikelompokkan kedalam 5 jenis yaitu :
1. Jatuhan massa tanah dan atau batuan adalah perpindahan masa tanah dan atau batuan ke ketinggian yang lebih rendah tanpa melalui bidang gelincir karena pengaruh gaya tarik bumi.
2. Longsoran masa tanah atau batuan adalah perpindahan masa tanah dan atau batuan melalui bidang gelincir yang pergerakannya dipengaruhi gaya tarik bumi
3. Aliran tanah adalah perpindahan campuran masa tanah dengan air yang bergerak mengalir sesuai dengan arah kemiringan lereng
4. Amblesan adalah penurunan permukaan tanah secara tegak karena adanya pengosongan rongga di dalam tanah akibat dari pemadatan normal tanah dan atau batuan, pengambilan airtanah secara berlebihan. Larian air karena struktur geologi, kebocoran atau retak bagian dasar, penggalian tanah atau batuan, dan bahan galian logam.
5. Tanah mengembang adalah perubahan atau pergerakan masa tanah sebagai akibat sifat-sifat tanah atau batuan itu sendiri yang mengembang apabila jenuh air dan mengkerut apabila kering.
1. Sistem lahan tererosi (eroded land system)
2. Sistem lahan yang mengandung bahaya erosi amat sangat tinggi (extremely severe erosion hazard)
3. Sistem lahan yang mengandung bahaya erosi amat tinggi (very severeerosion hazard)
4. Sistem lahan yang mengandung bahaya erosi sangat tinggi (severe erosion hazard)
5. Sistem lahan yang mengandung bahaya erosi sedang (moderately severe erosion hazard)
6. Sistem lahan yang mengandung bahaya erosi ringan (slight erosion hazard)
Macam – macam Gerakan Tanah
Gerakan tanah adalah perpindahan masa tanah atau batuan yang bergerak dari atas ke bawah disepanjang lereng atau keluar dari lereng. Jenis gerakan tanah dapat dikelompokkan kedalam 5 jenis yaitu :
1. Jatuhan massa tanah dan atau batuan adalah perpindahan masa tanah dan atau batuan ke ketinggian yang lebih rendah tanpa melalui bidang gelincir karena pengaruh gaya tarik bumi.
2. Longsoran masa tanah atau batuan adalah perpindahan masa tanah dan atau batuan melalui bidang gelincir yang pergerakannya dipengaruhi gaya tarik bumi
3. Aliran tanah adalah perpindahan campuran masa tanah dengan air yang bergerak mengalir sesuai dengan arah kemiringan lereng
4. Amblesan adalah penurunan permukaan tanah secara tegak karena adanya pengosongan rongga di dalam tanah akibat dari pemadatan normal tanah dan atau batuan, pengambilan airtanah secara berlebihan. Larian air karena struktur geologi, kebocoran atau retak bagian dasar, penggalian tanah atau batuan, dan bahan galian logam.
5. Tanah mengembang adalah perubahan atau pergerakan masa tanah sebagai akibat sifat-sifat tanah atau batuan itu sendiri yang mengembang apabila jenuh air dan mengkerut apabila kering.
Langganan:
Postingan (Atom)