Kapasitas transport sedimen merupakan kapasitas yang dimiliki aliran untuk mengangkut sedimen. Kapasitas transport sedimen sangat penting untuk diketahui, sehingga dapat ditentukan apakah beban sedimen yang ada melampaui kapasitas transport atau tidak. Hal ini dikarenakan perbandingan kedua nilai tersebut menentukan metode penghitungan laju erosi yang terjadi di bagian parit. Kapasitas transport sedimen itu sendiri dapat dihitung menggunakan rumus:
Tc = Kt.τf 1,5
Tc merupakan kapasitas transport sedimen (kg.dt-1.m-1), sedangkan Kt adalah koefisien angkut sedimen yang dapat dihitung dengan grafik Yalin (1963) (Russel, 2001), τf adalah tegangan geser (Pa) yang diperoleh dari hasil uji laboratorium sampel tanah.
Untuk menentukan besarnya koefisien angkutan yang akan dimasukkan ke dalam persamaan, terlebih dahulu harus diketahui besarnya nilai τf yang kemudian dihubungkan dengan persamaan Yalin (Russel, 2001). Adapun persamaan Yalin (Yalin equation) tersebut dapat dilihat pada gambar 3.1 berikut ini.
Gambar 3.1. Persamaan Yalin/Yalin equation (1963)
Sumber: G.H.Zhang, B.Y.Liu, X.C.Zhang (2008)
Dengan menghubungkan nilai tegangan geser (τf) dengan persamaan Yalin di atas, sehingga besarnya nilai koefisien transport angkutan dapat ditentukan.
Selasa, 21 Juni 2011
Sabtu, 11 Juni 2011
Pengelolaan DAS
Menurut Asdak (2004), pengelolaaan DAS merupakan suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah. Pengelolaan DAS berarti pengelolaan dan alokasi sumberdaya alam di daerah aliran sungai termasuk pencegahan banjir dan erosi, serta perlindungan nilai keindahan yang berkaitan dengan sumberdaya alam. Termasuk terdapat pengelolaan DAS adalah identifikasi keterkaitan antara tata guna lahan, tanah dan air serta keterkaitan antara daerah hulu dan hilir suatu DAS. Pengelolaan DAS merupakan pertimbangan mengenai aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya dan kelembagaan yang beroprasi di dalam dan di luar daerah aliran sungai yang bersangkutan.
Pengelolaan DAS dapat dianggap sebagai suatu sistem dengan input manajemen dan input alam untuk menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan baik di tempat (on site) maupun di luar (off site). Secara ekonomi ini berarti bentuk dari proses produksi dengan biaya ekonomi untuk penggunaan input manajemen dan input alam serta hasil ekonomi berupa nilai dari outputnya (Hulfschmidt, 1985).
Tujuan pengelolaan DAS secara ringkas adalah:
• Menyediakan air, mengamankan sumber-sumber air dan mengatur pemakaian air;
• Menyelamatkan tanah dari erosi serta meningkatkan dan mempertahankan kesuburan tanah;
• Meningkatkan pendapatan masyarakat.
Untuk mewujudkan tujuan ini maka perlu diperhatikan aspek-aspek seperti:
• Aspek fisik teknis yaitu pemolaan tata guna lahan sebagai prakondisi dalam mengusahakan dan menerapkan teknik atau perlakuan yang tepat sehingga pengelolaan DAS akan memberikan manfaat yang optimal dan kelestarian lingkungan tercapai
• Aspek manusia, yaitu mengembangkan pengertian, kesadaran sikap dan kemauan agar tindakan dan pengaruh terhadap sumberdaya alam di DAS dapat mendukung usaha dan tujuan pengelolaan
• Aspek institusi yaitu menggerakkan aparatur sehingga struktur dan prosedur dapat mewadahi penyelenggaraan pengelolaan DAS secara efektif dan efisien
• Aspek hukum, yaitu adanya peraturan perundangan yang mengatur penyelenggaraan pengelolaan DAS.
Pengelolaan DAS dapat dianggap sebagai suatu sistem dengan input manajemen dan input alam untuk menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan baik di tempat (on site) maupun di luar (off site). Secara ekonomi ini berarti bentuk dari proses produksi dengan biaya ekonomi untuk penggunaan input manajemen dan input alam serta hasil ekonomi berupa nilai dari outputnya (Hulfschmidt, 1985).
Tujuan pengelolaan DAS secara ringkas adalah:
• Menyediakan air, mengamankan sumber-sumber air dan mengatur pemakaian air;
• Menyelamatkan tanah dari erosi serta meningkatkan dan mempertahankan kesuburan tanah;
• Meningkatkan pendapatan masyarakat.
Untuk mewujudkan tujuan ini maka perlu diperhatikan aspek-aspek seperti:
• Aspek fisik teknis yaitu pemolaan tata guna lahan sebagai prakondisi dalam mengusahakan dan menerapkan teknik atau perlakuan yang tepat sehingga pengelolaan DAS akan memberikan manfaat yang optimal dan kelestarian lingkungan tercapai
• Aspek manusia, yaitu mengembangkan pengertian, kesadaran sikap dan kemauan agar tindakan dan pengaruh terhadap sumberdaya alam di DAS dapat mendukung usaha dan tujuan pengelolaan
• Aspek institusi yaitu menggerakkan aparatur sehingga struktur dan prosedur dapat mewadahi penyelenggaraan pengelolaan DAS secara efektif dan efisien
• Aspek hukum, yaitu adanya peraturan perundangan yang mengatur penyelenggaraan pengelolaan DAS.
Sabtu, 04 Juni 2011
Efektivitas CRM
Biasanya pada tanah yg dikerjakan infiltrasinya meningkat dan limpasan berkurang, karena kerak di permukaan tanah pecah. Data dari percobaan Rao dkk, (1994) menunjukkan bahwa peningkatan infiltrasi itu tidak berpengaruh pada limpasan tahunan dan perbedaan perlakuan pada tanah yg dikerjakan tersebut kecil dan tidak konsisten. Hal itu memperkuat pendapat Yule dkk (1990) yang mempelajari tanggapan atas tanah yg dikerjakan dari waktu ke waktu dan hasilnya menunjukkan bahwa berkurangnya limpasan hanya untuk suatu jangka pendek setelah tanah tersebut dikerjakan, tetapi kemudian terjadi degradasi struktural dan pembentukan kerak yang lebih banyak pada permukaan (Rao dkk, 1994). Asseline dkk., (1994) menyatakan bahwa pengolahan tanah justru dapat mengganggu tanah dan mengubah hubungan massa volume tanah. Hilangnya topsoil mengurangi bulk density tanah dan meningkatkan pemadatannya. Sebaliknya menurut Gajri dan rekan dalam sebuah tulisan yang tidak diterbitkan, perubahan kekuatan tanah pasir akibat pengelolaan justru tetap bertahan sampai waktu panen, tidak seperti bulk density (Gajri dan Prihar, 1994).
Oleh karena itu praktek manajemen pengelolaan tanah menurut Rao, dkk, (1994), harus bertujuan memaksimalkan infiltrasi air hujan ke tanah. Hal ini pada gilirannya berkaitan dengan pengelolaan permukaan tanah yang memadat. Berbagai pilihan manajemen pengelolaan tanah yang tersedia menurut Rao dkk (1994) adalah:
1. Memecah permukaan yang padat secara mekanis,
2. Melindungi permukaan dari degradasi struktural sebagai dampak turunnya hujan, dilakukan dengan penerapan residu tanaman sebagai mulsa;
3. Meningkatkan struktur tanah, dengan penambahan pupuk kandang peternakan yang cenderung meningkatkan stabilitas struktur tanah.
Residu tanaman yang ditinggalkan di permukaan tanah terbukti efektif melindungi tanah dari dampak hujan dan mengurangi kecepatan angin di permukaan tanah, sampai tumbuhnya kanopi tanaman berikutnya. Awalnya dilakukan pembajakan untuk mengganti tanah yg dikerjakan, membalikkan tanah dan mengubur residu tanaman, sehingga permukaan tanah yang retak menjadi lebih gembur, meninggalkan potongan akar, membunuh rumput liar, dan meninggalkan sebagian besar residu tanaman pada permukaan tanah. Namun, akibatnya pada penanaman berikutnya, sering dibutuhkan pekerjaan tambahan yakni pengendalian gulma, karena sebagian besar permukaan tanah terkubur oleh residu tanaman. Untuk itu digunakan bahan kimia atau kombinasi bahan kimia untuk mengendalikan gulma (Scherts dan Kemps, 1994). Selain pengendalian gulma, perubahan topografi mikro dan pencampuran amandemen, tanah yg dikerjakan juga ditujukan untuk pengentasan kendala tanah yang terkait dengan pertumbuhan tanaman. Struktur fisik tanah sering berubah dengan pengerjaan tanah dan dan pada gilirannya mempengaruhi lingkungan edaphic tanah (yaitu, impedansi mekanis, ketersediaan air tanah dan aerasi dan rezim termal) di persemaian dan/atau akar persemaian. Sejauh mana aspek ini akan berubah tergantung pada kondisi tanah yang ada dan jenis dan metode penerapan alat pada tanah yg dikerjakan.
Adapun keuntungan sistem CRM menurut Scherts dan Kemps (1994) antara lain:
1. mengurangi erosi tanah oleh air, besarnya bervariasi dari 40 hingga lebih dari 90 persen tergantung pada jumlah penutup permukaan tanah yang tersisa di permukaan. Namun, efektivitas pengendalian erosi residu tanaman juga ditentukan oleh faktor-faktor seperti jenis, jumlah dan cara aplikasi mulsa (Khera dan Kukal, 1994; Williams, John D., dkk., 2000). Manfaat dari residu tanaman permukaan dalam mengurangi erosi tanah oleh air juga berkorelasi erat dengan pengurangan erosi angin;
2. meningkatkan bahan organik pada tanah dari 1,87 % menjadi 4% dalam waktu sekitar 15 tahun, melalui penggunaan residu atau mulsa (Sparrow, dkk., 2006). Dengan adanya mulsa maka terjadi peningkatan jumlah bahan organik, dapat meningkatkan produktivitasnya dan akan lebih sulit tererosi, karena meningkatkan stabilitas agregat tanah dan infiltrasi, yang selanjutnya dapat mengurangi erosi tanah; (Khera dan Kukal, 1994; Rao dkk., 1994; Govaerts dkk, 2007). Residu tanaman penutup menghalangi air hujan sebelum mereka mencapai tanah, menetralkan energi yang tersimpan dan dengan demikian mengurangi pelepasan tanah dan transportasi. Bahan organik juga menghambat kecepatan aliran permukaan sehingga mengalir dengan kecepatan yang tidak merusak (Khera dan Kukal, 1994; Arsyad, 2006). Sebaliknya penanaman yang intensif dapat menurunkan bahan organik tanah kurang dari separuh dari yang ada sebelum budidaya dimulai;
3. mengurangi efek kekeringan meningkat secara signifikan karena residu tanaman tersebut menghasilkan kelembaban tanah (Arsyad, 2006; Govaerts dkk, 2007). Mempertahankan kelembaban tanah adalah hal yang sangat penting untuk pertanian. Menurut Jalota dan Prihar (1990), sebagaimana diuraikan oleh Gajri dan Prihar (1994), konservasi kelembaban tanah tersebut tergantung pada jenis tanah, kondisi iklim, dan kedalaman dan jenis tanah yg dikerjakan. Namun di daerah-daerah lembab, ketika tanaman sangat membutuhkan air, hujan justru tidak selalu terjadi. Sebagai contoh, Bauer dan Black (1991) dalam Scherts dan Kemps (1994), menemukan bahwa sistem CRM yang baik di Northern Great Plains di US, dapat menyimpan 6-10 cm kelembaban tanah dan meningkatkan sebesar 134 hasil gandum dan hasil barley sebesar 188 kg/ha.cm setiap tambahan kelembaban;
4. meningkatkan infiltrasi dan kapasitas menahan air serta menurunkan air limpasan dan penguapan, Akibatnya produksi tanaman per unit curah hujan meningkat. Menurut Moore (1981) ketidakstabilan struktur tanah akibat hujan dapat membentuk pemadatan di permukaan, sehingga dapat mengurangi infiltrasi dan meningkatkan limpasan. Akibatnya, air yang tersedia dalam profil akan berkurang (Rao dkk, 1994, Gajri dan Prihar, 1994). Dengan meninggalkan residu tanaman pada permukaan tanah melindungi permukaan tanah dari dampak tetesan air hujan, mengurangi gangguan, dispersi, dan penyegelan permukaan tanah berikutnya dan dengan demikian membantu mempertahankan tingkat infiltrasi yang tinggi dan mengurangi kecepatan limpasan (Khera dan Kukal, 1994; Parr dkk., 1990 dalam Rao dkk., 1994), menyediakan lebih banyak air untuk produksi tanaman dan meningkatkan pengisian ulang ke aquifers, serta meningkatkan proses aerasi oksigen tanah;
5. meningkatkan populasi serangga dan cacing-cacing yang memakan permukaan dan menggali bahan organik di dalam tanah untuk perlindungan (Govaerts dkk, 2007; Nikita dkk, 2009). Liang mereka sering memfasilitasi infiltrasi lebih cepat dan di beberapa daerah dapat secara signifikan mengurangi limpasan;
6. mengurangi evaporasi air dari tanah, meninggalkan lebih banyak air yang tersedia untuk digunakan tanaman (Gajri dan Prihar, 1994). Menurut Linden dkk (1987), sebagaimana dijelaskan oleh Scherts dan Kemps (1994); hanya dengan 30 persen residu tanaman yang menutupi permukaan tanah, maka potensi relatif evaporasinya mencapai 70 persen dibandingkan dengan jika tidak ada residu tanaman. Penggunaan mulsa ternyata cukup efektif dalam melestarikan kelembaban tanah dan meningkatkan hasil panen (Khera dan Kukal, 1994). Sebagaimana diuraikan oleh Gajri dan Prihar (1994), di lingkungan sub-tropis India Utara, suhu di lapisan tanah yang dikerjakan dengan mulsa supra-optimal selama musim panas meningkatkan hasil panen jagung;
7. mempertahankan atau meningkatkan kualitas air permukaan. Pengelolaan residu tanaman membantu menjaga sedimen, kotoran hewan, patogen dan pestisida yang keluar dari permukaan di areal pengelolaan (Addiscott dan Dexter, 1994). Air yang mencapai aquifers umumnya mengandung kurang dari 1 persen pestisida dan 99 persen adalah bahan organik alami. Air yang telah disaring perlahan-lahan tersebut melalui Mollisols, dan praktis bebas dari patogen serta umumnya dapat diminum.
Sumber: www.banyuke-robet.blogspot.com
Oleh karena itu praktek manajemen pengelolaan tanah menurut Rao, dkk, (1994), harus bertujuan memaksimalkan infiltrasi air hujan ke tanah. Hal ini pada gilirannya berkaitan dengan pengelolaan permukaan tanah yang memadat. Berbagai pilihan manajemen pengelolaan tanah yang tersedia menurut Rao dkk (1994) adalah:
1. Memecah permukaan yang padat secara mekanis,
2. Melindungi permukaan dari degradasi struktural sebagai dampak turunnya hujan, dilakukan dengan penerapan residu tanaman sebagai mulsa;
3. Meningkatkan struktur tanah, dengan penambahan pupuk kandang peternakan yang cenderung meningkatkan stabilitas struktur tanah.
Residu tanaman yang ditinggalkan di permukaan tanah terbukti efektif melindungi tanah dari dampak hujan dan mengurangi kecepatan angin di permukaan tanah, sampai tumbuhnya kanopi tanaman berikutnya. Awalnya dilakukan pembajakan untuk mengganti tanah yg dikerjakan, membalikkan tanah dan mengubur residu tanaman, sehingga permukaan tanah yang retak menjadi lebih gembur, meninggalkan potongan akar, membunuh rumput liar, dan meninggalkan sebagian besar residu tanaman pada permukaan tanah. Namun, akibatnya pada penanaman berikutnya, sering dibutuhkan pekerjaan tambahan yakni pengendalian gulma, karena sebagian besar permukaan tanah terkubur oleh residu tanaman. Untuk itu digunakan bahan kimia atau kombinasi bahan kimia untuk mengendalikan gulma (Scherts dan Kemps, 1994). Selain pengendalian gulma, perubahan topografi mikro dan pencampuran amandemen, tanah yg dikerjakan juga ditujukan untuk pengentasan kendala tanah yang terkait dengan pertumbuhan tanaman. Struktur fisik tanah sering berubah dengan pengerjaan tanah dan dan pada gilirannya mempengaruhi lingkungan edaphic tanah (yaitu, impedansi mekanis, ketersediaan air tanah dan aerasi dan rezim termal) di persemaian dan/atau akar persemaian. Sejauh mana aspek ini akan berubah tergantung pada kondisi tanah yang ada dan jenis dan metode penerapan alat pada tanah yg dikerjakan.
Adapun keuntungan sistem CRM menurut Scherts dan Kemps (1994) antara lain:
1. mengurangi erosi tanah oleh air, besarnya bervariasi dari 40 hingga lebih dari 90 persen tergantung pada jumlah penutup permukaan tanah yang tersisa di permukaan. Namun, efektivitas pengendalian erosi residu tanaman juga ditentukan oleh faktor-faktor seperti jenis, jumlah dan cara aplikasi mulsa (Khera dan Kukal, 1994; Williams, John D., dkk., 2000). Manfaat dari residu tanaman permukaan dalam mengurangi erosi tanah oleh air juga berkorelasi erat dengan pengurangan erosi angin;
2. meningkatkan bahan organik pada tanah dari 1,87 % menjadi 4% dalam waktu sekitar 15 tahun, melalui penggunaan residu atau mulsa (Sparrow, dkk., 2006). Dengan adanya mulsa maka terjadi peningkatan jumlah bahan organik, dapat meningkatkan produktivitasnya dan akan lebih sulit tererosi, karena meningkatkan stabilitas agregat tanah dan infiltrasi, yang selanjutnya dapat mengurangi erosi tanah; (Khera dan Kukal, 1994; Rao dkk., 1994; Govaerts dkk, 2007). Residu tanaman penutup menghalangi air hujan sebelum mereka mencapai tanah, menetralkan energi yang tersimpan dan dengan demikian mengurangi pelepasan tanah dan transportasi. Bahan organik juga menghambat kecepatan aliran permukaan sehingga mengalir dengan kecepatan yang tidak merusak (Khera dan Kukal, 1994; Arsyad, 2006). Sebaliknya penanaman yang intensif dapat menurunkan bahan organik tanah kurang dari separuh dari yang ada sebelum budidaya dimulai;
3. mengurangi efek kekeringan meningkat secara signifikan karena residu tanaman tersebut menghasilkan kelembaban tanah (Arsyad, 2006; Govaerts dkk, 2007). Mempertahankan kelembaban tanah adalah hal yang sangat penting untuk pertanian. Menurut Jalota dan Prihar (1990), sebagaimana diuraikan oleh Gajri dan Prihar (1994), konservasi kelembaban tanah tersebut tergantung pada jenis tanah, kondisi iklim, dan kedalaman dan jenis tanah yg dikerjakan. Namun di daerah-daerah lembab, ketika tanaman sangat membutuhkan air, hujan justru tidak selalu terjadi. Sebagai contoh, Bauer dan Black (1991) dalam Scherts dan Kemps (1994), menemukan bahwa sistem CRM yang baik di Northern Great Plains di US, dapat menyimpan 6-10 cm kelembaban tanah dan meningkatkan sebesar 134 hasil gandum dan hasil barley sebesar 188 kg/ha.cm setiap tambahan kelembaban;
4. meningkatkan infiltrasi dan kapasitas menahan air serta menurunkan air limpasan dan penguapan, Akibatnya produksi tanaman per unit curah hujan meningkat. Menurut Moore (1981) ketidakstabilan struktur tanah akibat hujan dapat membentuk pemadatan di permukaan, sehingga dapat mengurangi infiltrasi dan meningkatkan limpasan. Akibatnya, air yang tersedia dalam profil akan berkurang (Rao dkk, 1994, Gajri dan Prihar, 1994). Dengan meninggalkan residu tanaman pada permukaan tanah melindungi permukaan tanah dari dampak tetesan air hujan, mengurangi gangguan, dispersi, dan penyegelan permukaan tanah berikutnya dan dengan demikian membantu mempertahankan tingkat infiltrasi yang tinggi dan mengurangi kecepatan limpasan (Khera dan Kukal, 1994; Parr dkk., 1990 dalam Rao dkk., 1994), menyediakan lebih banyak air untuk produksi tanaman dan meningkatkan pengisian ulang ke aquifers, serta meningkatkan proses aerasi oksigen tanah;
5. meningkatkan populasi serangga dan cacing-cacing yang memakan permukaan dan menggali bahan organik di dalam tanah untuk perlindungan (Govaerts dkk, 2007; Nikita dkk, 2009). Liang mereka sering memfasilitasi infiltrasi lebih cepat dan di beberapa daerah dapat secara signifikan mengurangi limpasan;
6. mengurangi evaporasi air dari tanah, meninggalkan lebih banyak air yang tersedia untuk digunakan tanaman (Gajri dan Prihar, 1994). Menurut Linden dkk (1987), sebagaimana dijelaskan oleh Scherts dan Kemps (1994); hanya dengan 30 persen residu tanaman yang menutupi permukaan tanah, maka potensi relatif evaporasinya mencapai 70 persen dibandingkan dengan jika tidak ada residu tanaman. Penggunaan mulsa ternyata cukup efektif dalam melestarikan kelembaban tanah dan meningkatkan hasil panen (Khera dan Kukal, 1994). Sebagaimana diuraikan oleh Gajri dan Prihar (1994), di lingkungan sub-tropis India Utara, suhu di lapisan tanah yang dikerjakan dengan mulsa supra-optimal selama musim panas meningkatkan hasil panen jagung;
7. mempertahankan atau meningkatkan kualitas air permukaan. Pengelolaan residu tanaman membantu menjaga sedimen, kotoran hewan, patogen dan pestisida yang keluar dari permukaan di areal pengelolaan (Addiscott dan Dexter, 1994). Air yang mencapai aquifers umumnya mengandung kurang dari 1 persen pestisida dan 99 persen adalah bahan organik alami. Air yang telah disaring perlahan-lahan tersebut melalui Mollisols, dan praktis bebas dari patogen serta umumnya dapat diminum.
Sumber: www.banyuke-robet.blogspot.com
Erosi di Indonesia
Laju pengurangan lahan pertanian yang tinggi mendorong banyak petani Indonesia merambah ke lahan berlereng. Sering kali mereka tidak mengindahkan risiko lebih jauh seperti bencana longsor yang sering terjadi saat musim hujan. Lahan berlereng memiliki potensi longsor yang sangat tinggi jika dikonversi menjadi lahan pertanian.
Padahal sebagian besar lahan di Indonesia berlereng lebih dari tiga persen. Topografinya pun bervariasi dari datar agak berombak, bergelombang, berbukit, sampai bergunung, yang mencakup 77 persen dari seluruh daratan Indonesia. Sedangkan lahan yang tergolong datar, yaitu yang lerengnya kurang dari 3 persen, luasnya hanya sekitar 42,6 juta ha, kurang dari seperempat wilayah Indonesia.
Sebagian wilayah Indonesia beriklim basah dengan curah hujan tinggi, umumnya lebih dari 2.000 mm/tahun. "Kedua hal tadi, yakni kemiringan lahan dan curah hujan tinggi, merupakan faktor penting penyebab tingginya bahaya erosi," kata Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Dr Abdurrahman Adimiharja kepada Pembaruan baru-baru ini.
Erosi adalah proses penggerusan lapis tanah permukaan yang disebabkan oleh beberapa hal seperti angin, air, es, atau gravitasi. Air hujan jatuh di atas permukaan tanah akan menumbuk agregat tanah menjadi partikel-partikel tanah yang terlepas. Partikel-partikel tanah yang terlepas ini akan terbawa oleh aliran permukaan. Pada tanah-tanah berlereng, erosi menjadi persoalan yang serius, dimana kemiringan dan panjang lereng adalah dua unsure lereng yang berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi. Kemiringan lereng berpengaruh terhadap kecepatan aliran permukaan, sehingga memperbesar daya perusakan air. Jika kecepatan aliran meningkat dua kali, maka jumlah butir-butir tanah yang tersangkut menjadi 32 kali lipat (Arsjad, 1983). Dan bila panjang lereng menjadi dua kali lipat, maka umumnya erosi yang terjadi akan meningkat 1,5 kali (Nurhajati Hakim, 1986).
Proses erosi tanah paling dominan terjadi di Indonesia lebih banyak disebabkan air hujan. Jauh lebih besar bila dibandingkan dengan erosi oleh angin atau erosi (abrasi) pantai. Hal ini diakibatkan tingginya jumlah dan intensitas curah hujan, terutama di Indonesia bagian barat.
Laju erosi yang terlalu cepat (lebih tinggi dari batas ambang erosi) menyebabkan turunnya kesuburan tanah, mengganggu pertumbuhan tanaman, dan menurunkan hasil panen. Apabila proses erosi ini berlangsung terus, maka solum tanah akan makin menipis, sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi tanah makin memburuk. Akibatnya tidak mampu lagi mendukung produksi pertanian yang menguntungkan, ujar Abdurrahman.
Perencanaan konservasi tanah dan air memerlukan data dan informasi, di antaranya adalah data bahaya erosi yang dapat diperoleh dengan cara melaksanakan prediksi erosi. Memang erosi tidak dapat dihentikan sama sekali, bahkan pada pertanian yang lestari atau sustainable sekalipun. Namun erosi bisa dikendalikan hingga di bawah ambang batas yang dibolehkan. Menurut Rahman laju erosi yang dibolehkan untuk berbagai macam tanah dapat diduga berdasarkan sifat tanah dan substratnya. Untuk menilai apakah erosi sudah terkendali atau belum diperlukan data laju erosi dari lahan pertanian yang bersangkutan. Mengendalikan erosi tanah berarti mengurangi pengaruh faktor-faktor erosi tersebut, sehingga prosesnya terhambat atau berkurang.
Upaya tersebut dilakukan dengan cara meredam energi hujan, meredam daya gerus aliran permukaan, dan mengurangi kuantitas aliran permukaan. Juga dengan memperlambat laju aliran permukaan, memperbaiki sifat-sifat tanah yang peka erosi, dan mencegah longsor. Teknik-teknik pengendalian erosi yang sudah dikenal merupakan gabungan beberapa upaya tersebut.
Padahal sebagian besar lahan di Indonesia berlereng lebih dari tiga persen. Topografinya pun bervariasi dari datar agak berombak, bergelombang, berbukit, sampai bergunung, yang mencakup 77 persen dari seluruh daratan Indonesia. Sedangkan lahan yang tergolong datar, yaitu yang lerengnya kurang dari 3 persen, luasnya hanya sekitar 42,6 juta ha, kurang dari seperempat wilayah Indonesia.
Sebagian wilayah Indonesia beriklim basah dengan curah hujan tinggi, umumnya lebih dari 2.000 mm/tahun. "Kedua hal tadi, yakni kemiringan lahan dan curah hujan tinggi, merupakan faktor penting penyebab tingginya bahaya erosi," kata Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Dr Abdurrahman Adimiharja kepada Pembaruan baru-baru ini.
Erosi adalah proses penggerusan lapis tanah permukaan yang disebabkan oleh beberapa hal seperti angin, air, es, atau gravitasi. Air hujan jatuh di atas permukaan tanah akan menumbuk agregat tanah menjadi partikel-partikel tanah yang terlepas. Partikel-partikel tanah yang terlepas ini akan terbawa oleh aliran permukaan. Pada tanah-tanah berlereng, erosi menjadi persoalan yang serius, dimana kemiringan dan panjang lereng adalah dua unsure lereng yang berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi. Kemiringan lereng berpengaruh terhadap kecepatan aliran permukaan, sehingga memperbesar daya perusakan air. Jika kecepatan aliran meningkat dua kali, maka jumlah butir-butir tanah yang tersangkut menjadi 32 kali lipat (Arsjad, 1983). Dan bila panjang lereng menjadi dua kali lipat, maka umumnya erosi yang terjadi akan meningkat 1,5 kali (Nurhajati Hakim, 1986).
Proses erosi tanah paling dominan terjadi di Indonesia lebih banyak disebabkan air hujan. Jauh lebih besar bila dibandingkan dengan erosi oleh angin atau erosi (abrasi) pantai. Hal ini diakibatkan tingginya jumlah dan intensitas curah hujan, terutama di Indonesia bagian barat.
Laju erosi yang terlalu cepat (lebih tinggi dari batas ambang erosi) menyebabkan turunnya kesuburan tanah, mengganggu pertumbuhan tanaman, dan menurunkan hasil panen. Apabila proses erosi ini berlangsung terus, maka solum tanah akan makin menipis, sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi tanah makin memburuk. Akibatnya tidak mampu lagi mendukung produksi pertanian yang menguntungkan, ujar Abdurrahman.
Perencanaan konservasi tanah dan air memerlukan data dan informasi, di antaranya adalah data bahaya erosi yang dapat diperoleh dengan cara melaksanakan prediksi erosi. Memang erosi tidak dapat dihentikan sama sekali, bahkan pada pertanian yang lestari atau sustainable sekalipun. Namun erosi bisa dikendalikan hingga di bawah ambang batas yang dibolehkan. Menurut Rahman laju erosi yang dibolehkan untuk berbagai macam tanah dapat diduga berdasarkan sifat tanah dan substratnya. Untuk menilai apakah erosi sudah terkendali atau belum diperlukan data laju erosi dari lahan pertanian yang bersangkutan. Mengendalikan erosi tanah berarti mengurangi pengaruh faktor-faktor erosi tersebut, sehingga prosesnya terhambat atau berkurang.
Upaya tersebut dilakukan dengan cara meredam energi hujan, meredam daya gerus aliran permukaan, dan mengurangi kuantitas aliran permukaan. Juga dengan memperlambat laju aliran permukaan, memperbaiki sifat-sifat tanah yang peka erosi, dan mencegah longsor. Teknik-teknik pengendalian erosi yang sudah dikenal merupakan gabungan beberapa upaya tersebut.
Topografi
Kemiringan dan panjang lereng adalah dua faktor yang menentukan karateristik topografi suatu daerah aliran sungai. Kedua faktor tersebut penting untuk terjadinya erosi karena faktor-faktor tersebut menentukan besarnya kecepatan atau volume air larian. (Asdak, 2001). Selanjutnya Arsyad (1989) mengemukakan bahwa pengaruh panjang lereng terhadap erosi berlainan, tergantung dari tipe tanah dan pengaruh intensitas curah hujan. Erosi pada umumnya meningkat bila mana panjang lereng besar untuk hujan yang intensitasnya besar.
Asdak (2001) mengemukakan bahwa kedudukan lereng juga menentukan besar-kecilnya erosi. Lereng bagian bawah mudah tererosi dari pada bagian atas karena momentum air larian besar dan kecepatan air lebih terkonsentrasi ketika mencapai lereng bagian bawah. Selanjutnya dikatakan Arsyad (2006) bahwa lebih banyak air yang mengalir dan semakin besar kecepatannya pada bagian bawah lereng dari pada bagian atas lereng. Akibatnya adalah bahwa tanah pada bagian bawah lereng mengalami erosi lebih besar dari pada bagian atas.
Panjang lereng dihitung mulai dari titik pangkal mulai terjadinya aliran permukaan sampai suatu titik dimana air masuk ke dalam saluran atau sungai, atau dimana kemiringan lereng berubah sedemikian rupa sehingga kecepatan aliran pemukaan berubah. Pertambahan panjang lereng menjadi 2 kali, maka jumlah erosi total bertambah menjadi lebih dari 2 kali lebih banyak, akan tetapi erosi persatuan luas (per hektar) tidak menjadi 2 kali. (Arsyad, 2006).
Asdak (2001) mengemukakan bahwa kedudukan lereng juga menentukan besar-kecilnya erosi. Lereng bagian bawah mudah tererosi dari pada bagian atas karena momentum air larian besar dan kecepatan air lebih terkonsentrasi ketika mencapai lereng bagian bawah. Selanjutnya dikatakan Arsyad (2006) bahwa lebih banyak air yang mengalir dan semakin besar kecepatannya pada bagian bawah lereng dari pada bagian atas lereng. Akibatnya adalah bahwa tanah pada bagian bawah lereng mengalami erosi lebih besar dari pada bagian atas.
Panjang lereng dihitung mulai dari titik pangkal mulai terjadinya aliran permukaan sampai suatu titik dimana air masuk ke dalam saluran atau sungai, atau dimana kemiringan lereng berubah sedemikian rupa sehingga kecepatan aliran pemukaan berubah. Pertambahan panjang lereng menjadi 2 kali, maka jumlah erosi total bertambah menjadi lebih dari 2 kali lebih banyak, akan tetapi erosi persatuan luas (per hektar) tidak menjadi 2 kali. (Arsyad, 2006).
Langganan:
Postingan (Atom)