Senin, 15 Februari 2010

Emisi Gas CO2

EMISI GAS CO¬2 AKIBAT PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN
TAHUN 1999 – 2007
DI KABUPATEN LIMAPULUH KOTA DAN KOTA PAYAKUMBUH
SUMATERA BARAT



Oleh: Yudi Antomy, MSi
(Staff Pengajar Jurusan Geografi, FIS, Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat)

Abstrak

Perubahan tutupan lahan menyebabkan perubahan kandungan biomassa permukaan dalam pengertian bisa bertambah atau berkurang. Pertambahan biomassa permukaan dapat meningkatkan stok karbon, sebaliknya pengurangan biomassa dapat mengakibatkan kehilangan karbon dalam bentuk emisi CO2 ke atmosfer. Akumulasi CO2 ke atmosfer sebagai salasatu gas rumah kaca dapat meningkatkan suhu atmosfer yang kemudian memicu pemanasan global. Studi ini bertujuan untuk melakukan pendekatan rapid assessment dalam memprediksi pelepasan gas (emisi) CO2 akibat perubahan tutupan lahan berbasis pixel citra Landsat 1999 dan 2007 pada skala landsekap di wilayah Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh, Sumatera Barat. Yang menjadi masalah adalah: Bagaimana perubahan stok karbon dari biomassa permukaan di Kabupaten Limapuluh Koto dan Payakumbuh? Berapa emisi CO2 rata-rata tahunan yang berasal dari perubahan tutupan lahan di Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh? Dengan menggunakan data kandungan biomassa untuk tiap jenis tutupan lahan di Indonesia didapatkan distribusi kandungan biomassa untuk tiap pixel Landsat 1999 dan 2007. Kandungan biomassa pada tiap pixel dengan kategori unclassified didapatkan dengan ekstrapolasi dari persamaan regresi berganda metode stepwise antara nilai biomassa tiap jenis tutupan tanah dengan digital number tiap saluran 1, 2, 3, 4, 5, dan 7. Dari hasil yang didapatkan disimpulkan bahwa variasi perubahan tutupan lahan di Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh pada periode 1999 – 2007 memperlihatkan distribusi wilayah-wilayah dengan pengurangan dan penambahan kandungan biomassa/karbon yang merata di setiap tempat. Kluster khusus pada wilayah dengan pengurangan kandungan karbon terlihat jelas di Kecamatan Pangkalan Koto Baru dimana telah terjadi pelebaran genangan air akibat pembangunan danau buatan. Secara keseluruhan akibat perubahan tutupan lahan periode 1999 – 2007 Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh telah kehilangan sebanyak -0.0035 Gt karbon atau -217077.76 ton carbon per tahun. Dengan asumsi bahwa karbon yang hilang seluruhnya dilepaskan ke udara didapatkan bahwa dalam kurun waktu delapan tahun Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh telah melepaskan 6367614.44 ton CO2 ke atmosfer, artinya pada rentang 1999 – 2007 rata-rata tiap tahun dari wilayah ini telah menyumbangkan 795951.81 ton CO2 sebagai gas rumah kaca yang memicu pemanasan global.
Kata kunci: Biomassa, karbon, CO2, tutupan lahan, Landsat
Pendahuluan

Pemanasan global merupakan fenomena meningkatnya suhu permukaan bumi akibat peningkatan kadar gas-gas rumah kaca di atmosfer. Sebenarnya keberadaan gas rumah kaca (GRK) diperlukan untuk mempertahankan kehangatan suhu permukaan bumi sebagai penunjang kehidupan. Yang dikhawatirkan adalah peningkatan suhu yang terus menerus sehingga melewati ambang batas normal yang dapat membahayakan kehidupan manusia dalam bentuk gangguan kesehatan, kekurangan pangan, dan kerusakan lingkungan (Fischer et al, 2002). Kekhawatiran menjadi sangat beralasan ketika MacCracken dan Luther (1985, dalam Ulumuddin, et. al. 2005) menyebutkan bahwa peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer berkorelasi dengan peningkatan suhu atmosfer.
CO2 merupakan salah satu gas rumah kaca penting yang kadarnya terus meningkat seiring dengan eksploitasi sumberdaya alam di bumi termasuk sektor kehutanan. Kontribusi sektor kehutanan terhadap emisi global dilaporkan dalam Inter-governmental Panel on Cimate Change (IPCC) yang kemudian direspon oleh Conference of Parties (COP) ke-13 di Bali Desember 2007, tentang United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa sekitar 20% emisi CO2 dunia per tahun bersumber dari perusakan hutan tropis. Jumlah sebanyak ini tidak berbeda dari apa yang dinyatakan oleh Baumert et al, (2006). Kemudian didukung oleh hasil penelitian Houghton (2005) yang menemukan bahwa antara 1980 sampai 1990-an, perusakan hutan tropis telah melepaskan 2.4 milyar ton karbon ke atmosfer.
Khusus untuk kasus Indonesia, Natcom (1999, dalam Buku Putih REDD ) menyebutkan bahwa Sekitar 60% dari emisi gas rumah kaca Indonesia berasal dari sektor Land Use, Land Use Change, and Forestry (LULUCF). Oleh karena itu dalam COP ke-13 di Bali, Indonesia mengusulkan untuk memperluas cakupan kegiatan yaitu menurunkan emisi tidak hanya melalui pencegahan deforestasi tetapi juga melalui upaya penurunan laju kerusakan hutan yang kemudian dikenal dengan REDD (Reduction Emission from Deforestation and forest Degradation). Dengan memperluas cakupan kegiatan tersebut diharapkan sector kehutanan dapat menyerap kadar CO2 lebih banyak dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Dalam proses fotosintesis, CO2 di atmosfer diserap oleh tumbuhan kemudian dirubah menjadi karbon organic dalam bentuk biomassa. Kandungan karbon dalam biomassa pada waktu tertentu dikenal dengan istilah stok karbon (Apps et al, 2003).
Berkaitan dengan hal ini pemerintah Indonesia sudah membentuk Aliansi Hutan dan Iklim Indonesia (IFCA) dengan dukungan dari Bank Dunia, Pemerintah Inggris, Australia, dan German. Hal yang menarik dari mekanisme ini, sebagaimana makanisme dalam Protokol Kyoto pada Clean Development Mechanism (CDM artikel 12) adalah besarnya aliran dana dalam bentuk insentif sehubungan dengan usaha mengurangi emisi karbon.
Walau bagaimanapun dengan atau tanpa mengkaitkannya dengan potensi aliran dana, isu peningkatan suhu global menunjukkan pentingnya fungsi ekologis hutan sebagai penyerap karbon atmosferik. Hal ini menambah arti penting fungsi hutan lainnya yang mancakup fungsi ekonomi, dan pusat-pusat kekayaan biodiversity. Dalam melihat fungsi hutan sebagai penyerap karbon, informasi mengenai jumlah karbon yang ditambat oleh suatu kawasan hutan (stok karbon) menjadi penting. Oleh karena itu perlu dikembangkan metoda-metoda untuk estimasi stok karbon serta memantau perubahannya menurut waktu.
Metode untuk mengukur stok karbon saat ini banyak dikembangkan untuk level sampling plot pada areal tententu dengan mengukur biomassa. Biomassa merupakan material organic yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah. Dalam konteks yang menyangkut karbon hutan, biomassa yang diukur lebih banyak terfokus pada biomassa permukaan menggunakan persamaan allometric (Brown, 1997; Kraenzel et al., 2003; Laclau, 2003; Losi et al., 2003).
Teknik sampling plot dalam pengukuran di lapangan menghasilkan data dan informasi yang lebih akurat pada skala local akan tetapi terbukti memerlukan biaya tinggi dan waktu yang lama (de Gier, 2003). Untuk memperkirakan kandungan biomassa dan karbon pada skala landsekap masih dikembangkan beberapa pendekatan dengan teknik penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (SIG) menggunakan citra yang dihasilkan melalui optic, gelombang radio (radar), dan laser (lidar).
Quiñones (2002) memperlihatkan adanya korelasi antara biomassa hutan di Colombia dengan citra radar polarimetric, kemudian Prakoso (2006) memperlihatkan adanya korelasi antara biomassa hutan di Kalimantan Timur dengan citra radar polarimetric dan inferometric. Transfer data dari skala plot ke skala landsekap pada berbagai
region melalui persamaan regresi antara kandungan biomassa dengan nilai spectral citra Landsat pernah digunakan oleh Foody et.al. (2003) di Brazil, Malaysia, dan, Thailand. Ulumuddin et.al. (2005) memperlihatkan adanya korelasi yang baik antara kandungan biomassa di hutan pegunungan Papandayan, Jawa Barat dengan tiap nilai spectral citra Landsat.
Emsi CO2 ke udara akibat perubahan tutupan lahan dapat diprediksi melalui pendekatan penilaian secara cepat (rapid assessment) dengan menghitung perubahan nilai biomassa melalui penginderaan jauh berdasarkan berbagai asumsi dan penyederhanaan. Misalnya, tidak ada pemanfaatan biomassa dari pemanenan kayu menjadi mebel, bahan bangunan, atau barang lainnya, kemudian kelas tutupan hutan tidak dikelompokkan berdasarkan tipe hutan dan akumulasi species vegetasinya. Harus diakui bahwa dengan melalui cara ini akan didapatkan kemungkinan hasil yang overestimates ataupun underestimates disebabkan oleh beberapa factor yang mengakibatkan terjadinya perambatan kesalahan (error propagation). Akan tetapi estimasi emisi karbon dengan cara cepat dapat menghasilkan nilai yang dapat dipercaya sebagaimana dinyatakan oleh WWF Indonesia, RSS GmBH Jerman, dan Hokkaido Agricultural University Jepang dalam laporan teknisnya (WWF, 2008) sebagai berikut:
“All calculations had to rely on assumptions and simplifications. Several sources of uncertainty lead to a propagation of errors. We did not add error margins to our estimations, as the level of error of our calculation component is not precisely quantifiable. Each component of our calculations contributes to the total uncertainty. However, considering and reflecting on all errors we are convinced that the order of magnitude of the emission estimate are correct”
Dengan melakukan pendekatan ini studi kerjasama WWF Indonesia, RSS GmBH Jerman, dan Hokkaido Agricultural University Jepang menghasilkan informasi bahwa Provinsi Riau dengan tingkat perubahan tutupan hutannya yang sangat ekstrim dalam kurun waktu 1990 – 2007 telah melepaskan CO2 ke atmosfer sebanyak 3.66 Gt per tahun (1 Gt = 109 ton).
Tujuan

Studi ini bertujuan untuk melakukan pendekatan rapid assessment dalam memprediksi pelepasan gas (emisi) CO2 akibat perubahan tutupan lahan berbasis pixel citra Landsat 1999 dan 2007 pada skala landsekap di wilayah Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh, Sumatera Barat. Kota
Masalah

Yang menjadi masalah adalah:
1. Bagaimana perubahan stok karbon dari biomassa permukaan di Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh?
2. Berapa emisi CO2 rata-rata tahunan yang berasal dari perubahan tutupan lahan di Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh?
Areal Studi

Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh merupakan salah satu wilayah di Provinsi Sumatera Barat yang masih mempunyai kawasan hutan cukup luas. Posisi geografis yang berbatasan dengan Provinsi Riau yang telah banyak kehilangan hutan secara drastic menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan ketika ancaman degradasi hutan di Limapuluh Kota datang dari Provinsi lain. WWF (2008) melaporkan bahwa dalam kurun waktu 25 tahun (1982 – 2007), Provinsi Riau telah kehilangan 4 juta hektar hutan yang berubah menjadi perkebunan sawit, tanaman kayu untuk bubur kertas, dan menjadi lahan kritis.
Metodologi

Studi ini dilakukan dengan menggunakan dua seri citra Landsat path 127 raw 60, 15 Juni 1999 dan 3 Juli 2007. Langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan klasifikasi jenis tutupan lahan pada tiap citra dengan kombinasi saluran 5, 4, dan2 sehingga didapatkan peta tutupan lahan 1999 dan 2007. Penentuan nilai biomassa permukaan untuk setiap jenis tutupan lahan dilakukan dengan menggunakan
hasil perhitungan pada skala plot yang dilakukan di Indonesia dari beberapa literature (table 1). Dalam table tersebut penentuan nilai untuk satu jenis tutupan lahan yang mempunyai variasi nilai seperti hutan primer dan sekunder, digunakan nilai rata-ratanya. Nilai biomassa dari studi literature ditransformasi dari ton per hektar menjadi ton per pixel citra dengan ukuran 30 m2 (0.09 ha).
Dalam klasifikasi citra sering ditemukan adanya variasi nilai spectral yang tidak teridentifikasi untuk dijadikan kelas tutupan lahan tertentu sehingga kelas tutupan lahan yang dihasilkan dimasukkan ke dalam kelas unclassified. Hal ini biasanya terjadi untuk areal di luar wilayah-wilayah dengan karakteristik spectral yang jelas seperti hutan dan hutan sekunder. Keberadaannya menimbulkan kesulitan dalam menentukan nilai biomassa pada setiap pixel unclassified.
Untuk mengatasi kesulitan penentuan nilai biomassa pada tiap pixel unclassified dilakukan dengan cara ekstrapolasi nilai persamaan regresi linear menggunakan pendekatan stepwise regression antara kandungan biomassa tiap jenis tutupan lahan yang teridentifikasi dengan karakteristik spectral digital number (DN) saluran 1, 2, 3, 4, 5, dan 7 melalui persamaan:
Bij = a + bTM1 + cTM2 + dTM3 + eTM4 + fTM5 + gTM7 ….. (1)
Dimana: Bij = nilai biomassa pada pixel di baris ke-i kolom ke-j
TM1 sampai TM7 = digital number (DN) pada tiap saluran 1 sampai 7
a, b, sampai g = konstanta

Dengan demikian nilai biomassa untuk unclassified pixel dengan mudah didapatkan. Akan tetapi sebagaimana disebutkan di atas, unclassified pixel hanya didapatkan di luar area hutan primer dan sekunder sehingga nilai maksimumnya harus lebih kecil dari nilai biomassa hutan. Berdasarkan table 1, nilai biomassa yang diperkenankan berada pada rentang 0 sampai 71. Oleh karena itu perlu dilakukan stretching pada nilai Bij sehingga berada pada rentang yang diinginkan dengan menggunakan persamaan:
Bij-x = (Bij – Bij-min) / (Bij-max – Bij-min / bmax) …..(2)
Dimana: Bij-x = nilai biomassa pada pixel di baris ke-i kolom ke-j setelah stretching
Bij-min = nilai biomassa minimum pada unclassified pixel
Bij-mix = nilai biomassa maximum pada unclassified pixel
bmax = nilai biomassa maksimum pada rentang yang diperkenankan

Melalui cara ini akan didaptkan nilai biomassa untuk setiap kelas tutupan lahan berbasis pixel untuk seluruh areal kajian pada 1999 dan 2007.




Table 1. Nilai biomassa untuk setiap kelas tutupan lahan
Klas Wilayah Sumber Biomass (t/ha) Studi ini Biomass (t/ha)
Closed-broadleaf tropical forest Indonesia Lasco (2002) 508.00 Hutan primer 531.55
Natural forest Indonesia Hairiah et.al. (2001) 508.00
Mixed diptherocarp Borneo MacKinnon et.al. (1996) 650.00
Hutan primer Nunukan, Kalimantan Rahayu et.al (2004) 460.20
Commercial logging Indonesia Hairiah et.al. (2001) 300.00 Hutan sekunder 337.53
Logged forest Sumatera, Pasir Mayang Prasetyo et.al. (2000) 310.00
Hutan bekas tebangan Nunukan, Kalimantan Rahayu et.al (2004) 402.60
Grassland Sumatera, Pasir Mayang Prasetyo et.al. (2000) 12.00 Semak 12.00
Bush/Shrub Sumatera, Pasir Mayang Prasetyo et.al. (2000) 30.00 Semak belukar 30.00
Cultivated land and secondary vegetation Sumatera, Pasir Mayang Prasetyo et.al. (2000) 71.00 Belukar tua 71.00
Cash crops plantation Sumatera, Pasir Mayang Prasetyo et.al. (2000) 56.00 Ladang 56.00
Paddy field Sumatera, Pasir Mayang Prasetyo et.al. (2000) 15.00 Sawah 15.00
Lahan terbuka 0.00
Permukiman 0.00
Danau 0.00

Karbon yang terkandung merupakan 50% dari biomassa permukaan (Montagnini and Porras, 1998; Kurz dan Apps, 1999; Losi et al., 2003; Montagu et al., 2005). Secara sederhana didapatkan cara untuk menghitung kandungan karbon pada tiap pixel tutupan lahan dengan mengkalikannya dengan 0.5. Perubahan kandungan karbon akibat perubahan tutupan lahan adalah selisih kandungan karbon tiap pixel pada tutupan lahan 2007 dengan tutupan lahan 1999.
Pelepasan karbon dari biomassa permukaan yang hilang ke dalam atmosfer adalah karbon yang bersenyawa dengan oksigen membentuk gas rumah kaca dalam bentuk CO2. Dengan mengadopsi cara U.S. DOE (1998) conversi nilai karbon C menjadi basis karbondioksida CO2 dilakukan dengan mengkalikannya terhadap rasio berat molekul CO2 terhadap berat molekul C melalui persamaan:
Emisi CO2 = C * 44/12
Hasil dan Pembahasan

Interpretasi visual tutupan lahan pada citra Landsat 1999 (gambar 1) menghasilkan sembilan kelas ditambah satu kelas yang tidak terkelaskan (unclassified). Sedangkan pada citra Landsat 2007 (gambar 2) menghasilkan sepuluh kelas ditambah satu kelas yang tidak terkelaskan (unclassified). Untuk kepentingan perhitungan perubahan tutupan lahan, interpretasi dilakukan dengan masking tutupan awan 1999 dan 2007. Cara ini menyebabkan adanya kelas tutupan awan 2007 pada peta tutupan lahan 1999 dan sebaliknya.
Pada pixel unclassified dilakukan pengisian nilai pixel dengan hasil persamaan regresi linear antara biomassa dengan enam saluran citra. Pada citra Landsat 1999 ternyata dari enam saluran yang dimasukkan sebagai variable bebas, hanya didapatkan saluran 5 (TM5) dan 1 (TM1) yang mempunyai kaitan signifikan dengan biomassa (B) dengan R2 = 0.603 mengikuti persamaan:
B = 1396.446 – 5.377TM5 – 13.892TM1
Berbeda dengan citra Landsat 1999, untuk tahun 2007 didapatkan saluran 5 (TM5), 2 (TM2), dan 7 (TM7) yang mempunyai kaitan signifikan dengan biomassa (B) dengan R2 = 0.609 mengikuti persamaan:
B = 1000.17 – 6.358TM5 – 11.13TM2 + 6.519TM7
Operasi pengurangan pada tiap pixel yang mengandung nilai biomassa 2007 dengan pixel yang mengandung biomassa 1999 menghasilkan distribusi wilayah dengan perubahan biomassa yang berkurang, meningkat, dan tetap. Peta di gambar 3 memperlihatkan distribusi perubahan yang merata, kecuali di Kecamatan Pangkalan Koto Baru terdapat kluster-kluster wilayah dengan biomassa yang berkurang karena adanya pembangunan danau buatan.
Tabel 2 memperlihatkan penurunan kandungan biomassa paling banyak terjadi pada perubahan hutan primer menjadi tutupan lahan lainnya yang mengakibatkan kehilangan 73.26% kemudian oleh perubahan hutan sekunder sebanyak 19.26%. Penaikkan kandungan biomassa terjadi pada perubahan hutan sekunder menjadi hutan primer sebanyak 57.32% kemudian oleh perubahan belukar menjadi hutan sekunder sebanyak 33.25%. Secara keseluruhan, dalam kurun waktu delapan tahun Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh telah kehilangan sebanyak -0.0035 Gt biomassa. Pada 1999 didapatkan 0.0825 Gt sedangkan 2007 tersisa 0.079 Gt. Artinya pada periode ini tiap tahun telah hilang sebanyak -217077.76 ton karbon.


Gambar 1. Tutupan lahan pada citra Landsat 1999
Gambar 2. Tutupan lahan pada citra Landsat 2007




Gambar 3. Perubahan biomassa permukaan (kandungan karbon adalah 50% biomassa) antara 1999 – 2007 dimana warna merah menunjukkan adanya indikasi pengurangan biomassa, kuning muda tidak ada perubahan, hijau menunjukkan indikasi peningkatan kandungan biomassa, dan kelabu adalah tutupan awan
Table 2. Perubahan biomassa (ton) pada tiap kelas tutupan lahan

1999

2007 Hutan primer Hutan sekunder Semak Semak belukar Belukar Ladang Sawah Lahan terbuka Permukiman Unclassified
Hutan primer 0.00 2692259.21 - - - - - - - -
Hutan sekunder -2695751.41 0.00 - - 1561594.81 - - - -
Semak -248570.84 -233358.57 0.00 -3178.44 -13184.73 -14533.20 - 17149.32 - -
Semak belukar -382056.50 -420069.01 - 0.00 -31778.28 - 17309.70 - -
Belukar -571788.96 -276461.70 61643.79 17121.60 0.00 88148.25 - 241816.77 - -
Ladang - - - - - 0.00 - - - -
Sawah - - - -5366.25 - - 0.00 - - -
Lahan terbuka -1946712.43 -597504.88 - -5902.20 -28978.65 -141825.60 -44725.50 0.00 - -
Permukiman - - - -491.40 -6089.67 - -17273.25 0.00 0.00 -
Danau -140885.86 -46417.58 - -656.10 -1246.05 -8139.60 -901.80 0.00 0.00 -17542.12
Unclassified - - - - - - - - - -268897.11

Perhitungan emisi CO2 dilakukan dengan terlebih dahulu mengkonversi nilai kandungan biomassa menjadi kandungan karbon. Biomassa yang hilang setara dengan karbon yang hilang. Karbon yang hilang inilah yang diasumsikan menjadi sumber emisi CO2 ke atmosfer. Dengan mengkalikan berat karbon yang hilang terhadap rasio berat molekul CO2 didapatkan bahwa dalam kurun waktu delapan tahun Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh telah melepaskan 6367614.44 ton CO2 ke atmosfer, artinya pada rentang 1999 – 2007 tiap tahun dari wilayah ini telah menyumbangkan 795951.81 ton CO2 sebagai gas rumah kaca atau setara dengan 0.002% dari emisi CO2 akibat perubahan tutupan lahan di Riau.
Kesimpulan

Tutupan hutan baik primer maupun sekunder mengandung biomassa yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan jenis tutupan lahan lainnya. Perubahan tutupan lahan dari jenis ini mengakibatkan kehilangan biomassa sekaligus kandungan karbon yang tinggi sebaliknya jika perubahan dari jenis lain menjadi hutan akan menghasilkan karbon tertambat yang tinggi pula. Variasi perubahan tutupan lahan di Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh pada periode 1999 – 2007 memperlihatkan distribusi wilayah-wilayah dengan pengurangan dan penambahan kandungan biomassa/karbon yang merata di setiap tempat. Kluster khusus pada wilayah dengan pengurangan kandungan karbon terlihat jelas di Kecamatan Pangkalan Koto Baru dimana telah terjadi pelebaran genangan air akibat pembangunan danau buatan. Secara keseluruhan akibat perubahan tutupan lahan periode 1999 – 2007 Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh telah kehilangan sebanyak -0.0035 Gt karbon atau -217077.76 ton carbon per tahun.
Dengan asumsi bahwa karbon yang hilang seluruhnya dilepaskan ke udara didapatkan bahwa dalam kurun waktu delapan tahun Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh telah melepaskan 6367614.44 ton CO2 ke atmosfer, artinya pada rentang 1999 – 2007 tiap tahun dari wilayah ini telah menyumbangkan 795951.81 ton CO2 sebagai gas rumah kaca yang memicu pemanasan global.
Bahan Bacaan

Apps, M., M. Artaxo, D. Barret, J. Canadell, A. Cescatti, G. Churkina, P. Ciais, E. Cienciala, P. Cox, C. Field, M. Heimann, E. Holland, R. Houghton, V. Jaramillo, F. Joos, M. Kanninen, J.B. Kauffman, W. Kurz, R.D. Lasco, B. Law, Y. Malhi, R. McMurtrie, Y. Morikawa, D. Murdiyarso, S. Nilsson, W. Ogana, P. Peylin, O. Sala, D. Schimel, P. Smith, G. Zhou and S. Zimov, editors, 2003. Science Statement on Current Scientific Understanding of the Processes Affecting Terrestrial Carbon Stocks and Human Influences upon Them. IPCC. Geneva.

Baumert, K.A., Herzog, T., Pershing, J. 2006. Navigating the Numbers – Greenhouse Gas Data and International Climate Policy. World Resources Institute. Washington, USA.

Brown, S., 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forests: a Primer (FAO Forestry Paper-134), FAO, United Nations, Rome.

de Gier, A., 2003. A New Approach to Woody Biomass Assessment in Woodlands and Shrublands. In: P. Roy (Ed), Geoinformatics for Tropical Ecosystems, India, pp. 161-198.

Fischer, G., M. Shah, H. van Velthuizen, 2002. Climate Change and Agricultural Vurnerability. IIASA Publication Departement under United Nations Institutional Contract Agreement No 1113. World Summit on Sustainable Development, Johannesburg.

Foody, G.M., Boyd, D.S., and Cutler, M.E.J. 2003. Predictive Relations of Tropical Forest Biomass from Landsat TM Data and Their Transferability Between Regions. Remote Sensing of Environment 85 (2003) 463 - 474

Hairiah, K., Sitompul, S.M., van Noordwijk, M., and Palm, C., 2001. Carbon Stock of Tropical Land Use Systems as Part of thr Global C Balance: Effect of Forest Conversion and Options for Clean Development Activities. Alternatives to Slash and Burn (ASB) Lecture Note 4A. International Centre for Research in Agroforestry, Southeast Asian Regional Research Programme. Bogor. Indonesia.

Houghton, R. 2005. Tropical Deforestation and Climate Change, Edited by P. Moutinho and S. Schwartzman, Instituto de Pesquisa Ambiental da Amazônia (IPAM) and Environmental Defense.

Kurz, W.A. and Apps, M.J. 1999. A 70-year Retrospective Analysis of Carbon Fluxes in The Canadian Forest Sector," Ecological Applications, vol. 9, pp. 526-547

Kraenzel, M., Castillo, A., Moore, T. and Potvin, C., 2003. Carbon Storage of Harvest-age Teak (Tectona grandis) Plantations, Panama. Forest Ecology and Management, 173(1-3): 213-225.

Lasco, R.D., 2002. Forest Carbon Budgets in Southeast Asia Following Harvesting and Land Cover Change. Science in China (Series C). Vol. 45, pp. 55 – 64.

Laclau, P., 2003. Biomass and Carbon Sequestration of Ponderosa Pine Plantations and Native Cypress Forests in Northwest Patagonia. Forest Ecology and Management, 180(1-3): 317-333.

Lillesand, T. M., and R. W. Kiefer. 1987. Remote Sensing and Image Interpretation. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Losi, C.J., Siccama, T.G., Condit, R. and Morales, J.E., 2003. Analysis of Alternative Methods for Estimating Carbon Stock in Young Tropical Plantations. Forest Ecology and Management, 184(1-3): 355-368.

MacKinnon, K., Hatta, G., Halim, H., and Mangalik, A. 1996. The Ecology of Indonesia Series. Volume III: The Ecology of Kalimantan. Dalhousie University. Periplus Editions Ltd. Singapore.

Montagnini, F. and Porras, C., 1998. Evaluating the Role of Plantations as Carbon Sinks: An Example of an Integrative Approach From the Humid Tropics. Environmental Management, 22: 459-470.

Montagu, K.D., Duttmer, K., Barton, C.V.M. and Cowie, A.L., 2005. Developing General Allometric Relationships for Regional Estimates of Carbon Sequestration: An Example Using Eucalyptus pilularis from Seven Contrasting Sites. Forest Ecology and Management, 204(1): 115-129.

Prakoso, K.U., 2006. Tropical Forest Mapping Using Polarimetric and Interferometric SAR Data. A Case Study in Indonesia. PhD. Thesis, Wageningen University, The Netherlands.

Prasetyo, L.B., Saito, G., and Tsuruta, H. 2000. Development for Database for Eco-system Changes and Emissions Changes of GHG Using Remote Sensing and GIS in Sumatera Island, Indonesia.

Quiñones, M.J., 2002. Polarimetric Data for Tropical Forest Monitoring. Studies at the Colombian Amazon. PhD. Thesis, Wageningen University, The Netherlands.

Rahayu, S., Lusiana, B., dan van Noordwidjk, M. 2004. Pendugaan Cadangan Karbon di Atas Permukaan Tanah Pada Berbagai Sistem Penggunaan Lahan di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur.

Ulumuddin, Y., Sulistyawati, E., Hakim, D.M., dan Harto, A.B. 2005. Korelasi Stok Karbon dengan Karakteristik Spektral Citra Landsat: Studi Kasus Gunung Papandayan. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV. Surabaya.
WWF. 2008. Deforestation, Forest Degradation, Biodiversity Loss and CO2 Emissions in Riau, Sumatera, Indonesia. One Indonesian Province’s and Peat Soil Carbon Loss over a Quarter Century and its Plans for the Future. WWF Indonesia Technical Report . WWF, RSS GmBH, and Hokkaido Agricultural University.

Sabtu, 13 Februari 2010

Pemanfaatan Pantai Karst Kabupaten Gunung Kidul

PEMANFAATAN PANTAI KARST KABUPATEN GUNUNGKIDUL
Dra. Astrid Damayanti, M.Si , Ranum Ayuningtyas, S.Si, Anindita Dyah K, S.Si
e-mail : astridd_maya@yahoo.com, ranum.tiga@gmail.com, misao_sikepang@yahoo.com
Departemen Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia

ABSTRAK

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dan memiliki panjang pantai 95.181 km (Anonim, 2006) menempati posisi ke-4 setelah Kanada, Amerika Serikat, dan Rusia. Pantai di Indonesia menawarkan beragam keindahan alamnya yang bernilai jual tinggi untuk kegiatan pariwisata, olahraga kebaharian, dan sangat potensial bagi pengembangan ekonomi nasional baik karena potensi ruang dan kekayaan alamnya maupun nilai estetikanya. Walaupun memiliki potensi yang besar, kegiatan ekonomi penduduk Indonesia di wilayah pantai masih berorientasi ke daratan (Damayanti, 2001).
Pulau Jawa yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi menyebabkan tingginya kepekaan pantai terhadap pencemaran dan gangguan lingkungan lainnya akibat pembangunan perkotaan, permukiman, perikanan dan pelabuhan serta pengrusakan lain yang mungkin ditimbulkan oleh pemanasan global. Kondisi tersebut juga berpotensi terjadi pada Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak di selatan Pulau Jawa yang pantainya menghadap ke Samudera Hindia. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki kondisi pantai yang berbeda jika dibandingkan kondisi pantai di utara Jawa. Walaupun demikian, pantai di selatan Yogyakarta memiliki potensi yang sama dengan pantai di utara Jawa namun harus dibedakan cara pembangunan dan pemanfaatannya karena pantai di selatan Yogyakarta kondisi memiliki karakteristik yang berbeda dalam hal kondisi lokasi (menghadap ke Samudera Hindia), geologi dan bathimetri pantai. Oleh karena itu informasi akan karakteristik lingkungan pantai sangat diperlukan agar pemanfaatan kekayaan alam menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan sehingga perubahan tataguna ruang tidak melebihi daya dukungnya
Kabupaten Gunungkidul, adalah salah satu kabupaten yang memiliki pantai yang menghadap langsung ke Samudera Hindia. Pantai di Kabupaten Gunungkidul merupakan daerah yang memiliki karakteristik yang sangat khas dan berbeda dengan daerah lainnya, Gunungkidul merupakan daerah karst dan di bagian utaranya merupakan daerah alluvial yang keduanya memiliki karakteristik masing-masing. Wilayah karst yang terkenal tandus memiliki pantai yang juga memiliki sifat karst menyimpan banyak potensi untuk berbagai kegiatan ekonomi.
Pantai karst di Kabupaten Gunungkidul tepatnya Pantai Objek Wisata Baron, Kukup, Sepanjang, Drini, Krakal, Ngandong, dan Sundak memiliki persamaan dalam hal kondisi geologi, genesa, dan proses pembentukan morfologi pantai, namun demikian untuk setiap pantainya memiliki karakteristik lingkungan pantai yang berbeda-beda. Perbedaan karakteristik lingkungan dibuktikan dengan terdapatnya perbedaan bentuk pantai dan diameter butir sedimen, perbedaan ini juga harus diketahui kaitannya dengan kondisi gelombang, arus laut, suhu, salinitas, dan pH laut pada masing-masing pantainya. Dengan mengetahui kaitan antara kondisi fisik dan kimia pantai, maka kelak juga diketahui potensi masing-masing pantai. Dengan demikian diharapkan daerah tersebut dapat membangun dan mengembangkan kemampuan ekonomi disesuaikan dengan kondisi lingkungannya, berkelanjutan dengan memperhatikan kondisi dan menjaga keseimbangan lingkungan hidup.

1.2 Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Pantai yang menjadi daerah penelitian masing-masing memiliki persamaan dalam hal kondisi geologi, genesa, dan proses pembentukan morfologi pantai, namun memiliki perbedaan karakteristik lingkungan secara fisik dan kimiawi. Adapun pertanyaan penelitian yaitu :
1. Bagaimanakah karakteristik lingkungan pantai karst di daerah penelitian ?
2. Bagaimana pemanfaatan pantai karst di daerah penelitian saat ini dan dimasa yang akan datang ?

1.3 Tujuan Penelitian
Mengetahui dan memahami keadaan atau kondisi morfologi lingkungan dan proses yang terjadi pada pantai karst yang menjadi daerah penelitian. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan masyarakat sekitar pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya, agar pemanfaatan dan pengembangan potensi kawasan pantai di daerah karst tetap mempertimbangkan kelestarian lingkungannya.
Sedangkan sasaran penelitian ini adalah :
1. Mengetahui karakteristik lingkungan pantai karst di daerah penelitian
2. Mengetahui pemanfaatan pantai karst di daerah penelitian

1.4 Batasan dan Definisi Oprasional
1. Pantai adalah bagian dari muka bumi yang merupakan garis khayal tempat bertemunya daratan dan perairan, dari muka air laut rata-rata terendah sampai muka air laut rata-rata tertinggi (Sandy, 1996).
2. Karst adalah adalah bentukan muka bumi yang sangat unik yang merupakan hasil dari erosi bawah tanah yang memiliki batuan induk seperti limestone dan marbel yang terlarutkan oleh air.
3. Pantai karst adalah bagian dari muka bumi mulai dari muka air laut rata-rata terendah sampai muka air laut rata-rata tertinggi. Pada bagian tersebut terdapat akumulasi dari sedimen lepas seperti kerikil, pasir, yang memiliki karakteristik bentukan dari hasil pelarutan kapur oleh agen air yang memiliki bahan batuan induk kebanyakan seperti limestone, marbel dan dolomite.
4. Karakteristik lingkungan pantai adalah gambaran kondisi lingkungan pantai yang khas mencakup kondisi fisik dan kimianya berupa : lereng gisik, energi gelombang, diameter butir sedimen, salinitas air laut, suhu air laut, dan pH air laut.
5. Lereng Gisik/pantai adalah besar sudut yang terbentuk antara permukaan pantai dengan sumbu garis datar dalam satuan derajat.
6. Energi gelombang adalah daya hasil dari gangguan yang merambat pada media air laut yang berpindah dari satu tempat kepada tempat lain tanpa mengakibatkan partikel medium berpindah secara permanen; yaitu tidak ada perpindahan secara masal dalam satuan joule.
7. Diameter butir sedimen adalah ukuran segmen garis yang melalui titik pusat dan menghubungkan dua titik pada butir sedimen dalam satuan milimeter.
8. Salinitas air laut adalah kadar garam yang terkandung dalam air laut dalam satuan permil (‰)
9. Suhu air laut adalah indikasi jumlah energi (panas) yang terdapat dalam satu sistem atau massa dalam satuan derajat celcius (°C)
10. pH air laut adalah derajat keasaman air laut

1.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Daerah penelitian meliputi pantai Baron, Kukup, Sepanjang, Drini, Krakal, Ngandong dan Sundak di Kabupaten Gunungkidul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif dengan menekankan pada pendekatan kualitatif sebagai penunjang dari hasil analisis spasial.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
1. lereng pantai, dengan parameter besar sudut lereng gisik/pantai dalam satuan derajat (°) kemudian dikonvert ke dalam satuan persen (%);
2. energi gelombang, dengan parameter :
a. besar energi gelombang dalam satuan joule;
b. tipe gelombangnya;
3. butir sedimen, dengan parameter :
a. diameter butir sedimennya dalam satuan millimeter (mm);
b. warna butir sedimen untuk mengetahui asal sedimennya.
4. Salinitas air laut, dengan parameter banyaknya garam yang terlarut dalam 1 iter air laut
5. Suhu air laut, dengan parameter jumlah energi (panas) yang terdapat pada luasan area tertentu dalam satuan derajat celcius (°C)
6. Derajat keasaman air laut, dengan parameter kandungan elektrolit H+ yang terdapat pada air laut pada luasan area tertentu

Setelah mendapatkan data sebagai parameter dari variabel-variabel, data yang didapatkan kemudian dikelaskan dan dapat dibuat matriksnya. Pengkelasan datanya seperti berikut :
Tabel 1. Kelas Lereng Gisik/pantai
Lereng Gisik
Presentase Lereng (%) Kategori
0 - 2 Datar
2 - 15 Datar Bergelombang
15 - 25 Bergelombang
25 - 40 Terjal
> 40 Curam
Sumber : Pethick, 1984

Tabel 2. Kelas Energi Gelombang
Energi Gelombang
Joule Kategori
≥ 1871 Kuat
< 1871 Lemah
Sumber : Pethick, 1984

Tabel 3. Kelas Diameter Butir Sedimen
Diameter Butir Sedimen
Phi Kategori
-1 – 0 Sangat Kasar
0 - +1 Kasar
+1 - + 2 Medium
+2 - +3 Halus
+3 - +4 Sangat Halus
Sumber : Wenthworth dalam Pethick, 1984





Tabel 4. Kelas Salinitas Air Laut
Salinitas
‰ Kategori
< 28 ‰ Rendah
28 - 34 ‰ Sedang
> 34 ‰ Tinggi
Sumber: Direktorat Jendral Perikanan Budidaya Dinas Perikanan dan Kelautan

Tabel 5. Kelas Suhu Air Laut
Suhu
°C Kategori
> 35 °C Tinggi
26 - 35 °C Sedang
< 26 °C Rendah
Sumber: Direktorat Jendral Perikanan Budidaya Dinas Perikanan dan Kelautan

Tabel 6. Kelas Keasaman Air Laut
Derajat Keasaman
pH Kategori
8,5 - 9 Basa tinggi
7,5 - 8,5 Basa rendah
7 Netral
Sumber: Direktorat Jendral Perikanan Budidaya Dinas Perikanan dan Kelautan

1.6 Analisis Data
Penelitian mengkaji data-data yang sudah diolah secara spasial yang kemudian dianalis lebih lanjut untuk dapat menjawab pertanyaan penelitian dengan cara analisis deskriptif secara spasial untuk mengetahui karakteristik lingkungan masing-masing pantai dengan mendeskripsikan bagaimana kondisi lereng gisik/pantai, butir sedimen, energi gelombang, salinitas air laut, suhu air laut dan pH air laut pada masing masing pantai dan kaitan dengan pemafaatannya.

BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil survey lapang, pengolahan data dan hasil analisis spasial didapatkan informasi bahwa karakteristik lingkungan pantai karst pada wilayah penelitian dari barat ke timur memiliki karakteristik lingkungan pantai yang berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pemanfaatan pantai oleh warga yang tinggal di sekitar pantai. Berikut akan dibahas secara rinci karakteristik lingkungan dan pemanfaatan masing-masing pantai :
2.1 Karakteristik Lingkungan Pantai Baron dan Pemanfaatannya
Pantai Baron adalah pantai yang letaknya paling barat pada daerah penelitian. Pantai Baron memiliki kemiringan lereng pantai atau gisik sebesar 4,86° atau 8,5% yang termasuk jenis lereng datar bergelombang (lihat Peta 4). Pantai Baron memiliki jenis batuan gamping dengan tingkat pelapukan fisik sedang hingga kuat. Dengan jenis batuan dasar berupa gamping, tanah yang terbentuk di pantai ini termasuk jenis Mediteran.
Lebar sedimen pada pantai Baron adalah 61 m, lebar sedimen Pantai Baron adalah lebar sedimen yang paling besar pada daerah penelitian. Hal ini didukung dengan kondisi Pantai Baron yang berlereng landai sehingga membuat jangkauan pasang surut litoral pantai sangat jauh. Berdasarkan hasil observasi dan perhitungan, jangkauan pasang surut litoral pada Pantai Baron sekitar 61 meter.
Jangkauan pasang surut yang cukup panjang memberikan banyak energi tambahan gelombang laut pada Pantai Baron untuk mengikis pantainya. Energi gelombang pada Pantai Baron adalah 2193 joule (termasuk kedalam kelas energi gelombang kuat, lihat Peta 5), energi gelombang tersebut berasal dari hempasan gelombang laut yang pecah di pantai pada breaker zone yang tidak terlalu jauh jaraknya terhadap garis pantai. Gelombang tersebut tidak lepas dari kontribusi angin yang berhembus pada Pantai Baron yang kecepatannya sebesar 44,2 meter tiap detik. Pantai Baron yang yang bentuk pantainya menjorok ke darat dan memiliki muara sungai membuat pantainya memiliki fluktuasi yang cukup tinggi terhadap perubahan bentuk aliran sungainya. Muara sungai memberikan pengaruh yang cukup kuat pada karakteristik sedimen pada pantai dan aliran sungai menuju samudera. Pengaruh ombak dan tidak terdapatnya halangan pada pantai (barrier) membuat Pantai Baron sangat mudah tererosi namun dengan tenaga yang jauh lebih kecil karena lereng gisik pantai yang landai.
Diameter butir sedimen pantai Baron sebesar 0,515 mm, ukuran butir sedimen yang cukup halus untuk pantai karst. Butir sedimen Pantai Baron termasuk ke dalam jenis sedimen pasir medium (lihat Peta 3) dengan Φ = 0.957 (skala Wenthworth) yang merupakan hasil bentukan dari 2 (dua) hal, yaitu sedimentasi materi yang diendapkan sungai bawah tanah yang bermuara ke pantai dan hasil pengikisan laut. Namun jika dibandingkan dengan kondisi butir sedimen pada pantai lain, butir sedimen pada Pantai Baron memiliki ciri khas, yaitu lebih halus dan berwarna lebih gelap (hitam). Warna butir sedimen Pantai Baron yang gelap menunjukkan bahwa butir sedimen tersebut berasal dari sungai yang bermuara di pantainya.
Pantai Baron memiliki kisaran salinitas antara 28 – 31 ‰. Bagian selatan memiliki nilai salinitas yang rendah. Hal ini disebabkan karena di pantai Baron terdapat muara sungai bawah tanah. Pada muara sungai ini terjadi pertemuan antara air tawar dari sungai dengan air laut sehingga salinitas airnnya pun menjadi lebih kecil dibandingkan dengan salinitas air di pantai-pantai lainnya di wilayah penelitian.
Suhu air laut di pantai Baron berkisar antara 26 - 30˚ C. Suhu udara di bagian utara dimana terdapat muara sungai bawah tanah lebih rendah dibanding bagian selatan.
Derajat keasaman air laut di pantai Baron merupakan yang terendah diantara pantai-pantai di Gunungkidul yaitu sebesar 7,5. Hal ini disebabkan oleh adanya muara sungai bawah tanah di pantai Baron yang menyebabkan terjadinya percampuran antara air tawar dengan air laut. Keasaman air laut di bagian selatan pantai Baron atau di dekat muara sungai bawah tanah mendekati 7. Sedangkan di bagian utaranya yaitu wilayah yang jauh dari muara sungai besarnya PH berkisar antara 7,5 dan 8.
Pantai Baron yang memiliki jangkauan pasang surut yang cukup panjang serta kondisi lereng pantai yang landai menjadikan pantai ini mudah untuk dilewati perahu nelayan penduduk sekitar, oleh karena itu kegiatan perikanan laut tangkap menjadi salah satu pemanfaatan pantai oleh warga sekitar yang mendatangkan kesejahteraan penduduk sekitarnya. Selain itu pula, terdapatnya fenomena muara sungai di pantai yang memiliki debit air yang deras dapat dimanfaatkan oleh penduduk sekitar sebagai sumber air bersih dan pembangkit tenaga listrik. Pemanfaatan pantai Baron lainnya adalah untuk pariwisata, karena kondisi alam pantai Baron yang indah dengan butir sedimen yang halus. Dengan adanya pemanfaatan pantai sebagai pariwisata, penduduk juga memiliki kesempatan lebih untuk menambah pendapatan dengan menjadi penjual souvenir pariwisata pantai serta fasilitas penunjang pariwisata lainnya seperti restoran atau rumah makan, penginapan atau resort dan lainnya.

2.2 Karakteristik Lingkungan Pantai Kukup dan Pemanfaatannya
Pantai Kukup memiliki topografi yang tergolong berombak (undulating) dengan kemiringan lereng pantai atau gisik sebesar 6,74° atau 11,8% yang termasuk ke dalam kelas lereng datar bergelombang. Pantai Kukup memiliki jenis batuan gamping dengan tingkat pelapukan fisik sedang hingga kuat. Dengan jenis batuan dasar berupa gamping, tanah yang terbentuk di pantai ini termasuk jenis Mediteran.
Lebar sedimen pada Pantai Kukup adalah 18,5 meter, dan jangkauan pasang surut litoral pada pantainya 18,4 meter. Jangkauan pasang surut litoral sangat pendek jika dibandingkan dengan Pantai Baron, hal ini disebabkan oleh lereng Pantai Kukup yang curam.
Energi gelombang pada Pantai Kukup adalah 3560 joule termasuk ke dalam kelas energi gelombang kuat. Energi gelombang tersebut berasal dari hempasan gelombang laut yang pecah di pantai pada breaker zone, akibat gelombang, arus laut dan kecepatan anginnya sebesar 69 meter perdetik.
Pantai Kukup memiliki diameter butir sedimen sebesar 1,225 mm dengan warna sedimen yang cerah, butir sedimen Pantai Kukup termasuk kedalam jenis sedimen pasir sangat kasar (lihat Peta 3) yaitu Φ = -0.293 (skala Wenthworth). Warna butir sedimen yang cerah diakibatkan karena tidak adanya muara sungai pada pantai Kukup, hal ini menunjukkan bahwa butir sedimen dari Pantai Kukup berasal dari kikisan dasar laut. Namun berdasarkan hasil pengolahan data di laboratorium terdapat butir sedimen yang berwarna hitam yang jumlahnya sangat sedikit (minoritas). Hal ini disebabkan sampel sedimen tersebut diambil dekat dengan karang pantai. Hal ini juga menunjukkan bahwa butir sedimen yang dekat dengan cliff berasal dari hasil kikisan tebing pantai tersebut.
Berdasarkan pengambilan sampel air laut di sekitar pantai Kukup, maka didapatkan salinitas air laut sekitar 33 ‰. Suhu air laut di perairan pantai Kukup berkisar antara 32 – 35 ˚ C. Suhu air perairan yang terlindung oleh pulau-pulau karang lebih rendah dibanding dengan suhu air di perairan yang terbuka. Derajat keasaman air laut di perairan pantai Kukup adalah sebesar 9.
Pantai Kukup adalah salah satu pantai tujuan wisata di Kabupaten Gunungkidul yang sangat menarik, pada pantai ini terdapat pulau karang dan memiliki karang yang menempel tepat pada pinggir pantainya. Pemanfaatan pantai sebagai kawasan tujuan pariwisata juga dapat dimanfaatkan penduduk dengan menyediakan fasilitas penunjang pariwisata seperti penginapan, restoran atau rumah makan, tempat belanja souvenir pantai, serta show room ikan hias, karena di pantai Kukup banyak nelayan ikan yang sengaja menangkan biota laut yang terjebak di karang-karang ketika pantai surut, biasanya biota ini memiliki kondisi fisik yang cantik dengan warna-warna yang bervariasi seperti ikan, bintang laut, dan bulu babi.
Selain pemanfaatan pantai sebagai tujuan pariwisata, dan ikan hias laut, pantai Kukup juga dapat dimafaatkan sebagai sumber budidaya rumput laut. Pantai Kukup yang memiliki karang yang menempel dengan pantai menjadi habitat yang baik bagi rumput laut didukung pula dengan kondisi kimia air laut pada pantai ini yang cocok untuk budidaya rumput laut. Namun pemanfaatan rumput laut saat ini tidak maksimal, dan pemanenannya masih menggunakan alat yang dapat merusak substratnya yaitu karang. Oleh karena itu hendaknya pemafaatan pantai sebagai budidaya rumput laut dapat diusahakan agar lebih maksimal lagi dengan menerapkan metode pengembagan budidaya rumput laut dengan alat pemanen yang tidak merusak karang sebagi substrat rumput lautnya.

2.3 Karakteristik Lingkungan Pantai Sepanjang dan Pemanfaatannya
Sesuai dengan namanya, Pantai Sepanjang adalah pantai yang bentuknya memanjang dari barat ke timur, dan tidak memiliki pulau karang yang menghalangi (tidak memiliki barrier). Pantai Sepanjang memiliki topografi yang tergolong berombak (undulating) dengan kemiringan lereng pantai atau gisik sebesar 21,28° atau 11,8% termasuk ke dalam kelas lereng curam. Pantai Sepanjang memiliki jenis batuan gamping dengan tingkat pelapukan fisik sedang hingga kuat. Dengan jenis batuan dasar berupa gamping, tanah yang terbentuk di pantai ini termasuk jenis Mediteran.
Lebar sedimen pada Pantai Sepanjang adalah 10,6 m, dengan jangkauan pasang surut litoral padanya hanya 9,82 meter. Jangkauan pasang surut litoral sangat pendek jika dibandingkan dengan pantai yang lainnya, hal ini disebabkan oleh lereng pantai Sepanjang yang curam.
Dengan kondisi jangkauan pasang surut yang kecil, pantai Sepanjang tidak mendapatkan kontribusi yang besar dalam menambah energi pada pantainya untuk proses pengikisan. Energi gelombang pada Pantai Sepanjang adalah 4036 joule, termasuk ke dalam kelas energi gelombang kuat. Energi gelombang tersebut berasal dari hempasan gelombang laut yang pecah di pantai pada breaker zone yang tidak terlalu jauh jaraknya terhadap garis pantai yang dipengaruhi juga oleh kecepatan angin yang berhembus dengan kecepatan 43.9 meter tiap detik.
Pantai Sepanjang memiliki diameter butir sedimen sebesar 1,225 mm, butir sedimen pantai ini termasuk kedalam jenis sedimen pasir sangat kasar (lihat Peta 3) yaitu Φ = -0.293 (skala Wenthworth). Butir sedimennya berwarna cerah merata hampir pada semua bagian pantainya yang merupakan hasil dari pengikisan dasar laut yang diendapkan pada pantai.
Besar salinitas air laut di perairan pantai Sepanjang berkisar antara 33 - 34 ‰. Semakin menjauhi garis pantai, salinitas air laut semakin tinggi. Suhu air laut perairan pantai Sepanjang berkisar antara 33 - 35 ˚ C. Derajat keasaman air laut perairan pantai Sepanjang berkisar antara 8 – 9.
Kondisi fisik pantai Sepanjang dengan lereng yang curam, jangkauan pasang surut yang pendek, energi gelombang yang kuat membuat pantai ini tidak dapat dimanfaatkan untuk bidang perikanan tangkap. Namun kondisi kimia air lautnya cocok untuk budidaya rumput laut, tetapi pemanfaatan rumput laut juga kurang dapat dimaksimalkan karena para petani rumput lautnya enggan datang ke pantai ini karena akses jalan menuju pantainya yang sulit. Dimasa yang akan datang hendaknya diadakan pembangunan jalan sebagai akses untuk menuju ke pantai sehingga dapat meningkatkan potensi pemanfaatan pantai sebagai kawasan pariwisata, budidaya rumput dan cagar alam pantai karst.

2.4 Karakteristik Lingkungan Pantai Drini dan Pemanfaatannya
Pantai Drini adalah pantai yang memiliki topografi berombak (undulating) dengan kemiringan lereng gisik sebesar 10° atau 17,63% termasuk ke dalam kelas lereng bergelombang. Jenis batuannya adalah batuan gamping dengan tingkat pelapukan fisik sedang hingga kuat yang membentuk jenis tanah Mediteran.
Energi gelombang pada Pantai Drini adalah 908 joule, termasuk ke dalam kelas energi gelombang lemah, hal ini juga didukung dengan kecepatan angin yang berhembus yaitu 55 meter tiap detik. Berdasarkan hasil perhitungan nilai indeks hempasan gelombang (K), maka diketahui bahwa gelombang laut pada Pantai Drini memiliki nilai 0,003 termasuk tipe plunging karena nilai indeksnya di antara 0,003 – 0,007 (lihat Peta 5).
Pantai Drini memiliki diameter butir sedimen sebesar 0,725 mm. Butir sedimen pantai ini termasuk ke dalam jenis sedimen pasir kasar (lihat Peta 3) yaitu Φ = 0.464 (skala Wenthworth). Butir sedimennya berwarna cerah merata hampir pada semua bagian pantainya, hal ini menunjukan bahwa butir sedimen pada Pantai Drini berasal dari hasil kikisan cliff dan dasar laut. Kecuali pada bagian tengah pantai terdapat pasir yang diameternya sangat halus dan berwarna hitam, sama seperti pasir yang terdapat pada Pantai Baron. Pasir tersebut terdapat pada bagian pantai Drini yang diperkirakan sebelumnya adalah sebuah muara sungai bawah tanah, yang saat ini muara sungainya sudah tidak lagi mengendapkan materi yang dikandungnya, karena debit airnya sangat kecil.
Sama seperti sebagian besar pantai di Gunungkidul, besar salinitas air laut di pantai Drini berkisar antara 33 - 34 ‰. Suhu air laut di pantai ini berkisar antara 33 – 36 ˚ C. Suhu air laut di bagian timur perairan pantai Drini lebih besar jika dibandingkan dengan suhu air laut pada bagian baratnya. Pada bagian barat perairan pantai Drini suhu air berkisar antara 33 – 34 ˚ C sedangkan pada bagian timur perairan suhu air laut berkisar antara 36 – 38 ˚ C. Derajat keasaman air laut di pantai Drini berkisar antara 8,5 – 9.
Pantai Drini dimanfaatkan sebagai pantai perikanan tangkap, walaupun kondisi fisik pantai Drini yang berlereng curam, namun bagian barat pantainya tidak memiliki karang yang menempel pada pantai, sehingga memudahkan nelayan untuk menangkap ikan menggunakan perahu. Oleh karena pantai Drini dapat menghasilkan komoditas perikanan, di pantai Drini terdapat pasar lelang ikan juga rumah makan. Bagian timur pantai yang terdapat karang yang menempel di pinggir pantai, sehingga pada bagian tersebut tidak dijadikan tempat menaruh perahu tetapi menjadi kawasan yang terlindung dari ombak yang didukung dengan kondisi kimia air laut yang cukup kondusif sehingga banyak ditumbuhi oleh rumput laut. Pemanfaatan budidaya rumput laut dapat dikembangkan dengan penanaman yang terawat serta metode pemanenan yang tetap menjaga kelestarian karang. Pemanfaatan pantai Drini juga dapat dikembangkan lagi ke bidang pertanian untuk budidaya tanaman drini yang merupakan tanaman khas dari pantai ini yang memiliki khasiat obat terhadap racun ular.

2.5 Karakteristik Lingkungan Pantai Krakal dan Pemanfaatannya
Pantai Krakal adalah pantai bentuk teluk yang membentuk sudut yang besar, sehingga memiliki pemandangan yang indah jika dilihat dari salah satu bagian ujung pantainya. Pantai Krakal memiliki topografi yang tergolong berombak (undulating) dengan kemiringan lereng pantai atau gisik sebesar 10,25° atau 18,08% termasuk ke dalam kondisi lereng pantai yang bergelombang. Pantai Krakal memiliki jenis batuan gamping dengan tingkat pelapukan fisik sedang hingga kuat, dengan jenis batuan dasar berupa gamping, maka tanah yang terbentuk di pantai ini termasuk jenis Mediteran.
Lebar sedimen pada pantai Krakal adalah 13.9 m, jangkauan pasang surut litoral pada pantai Krakal sekitar 13,4 meter. Jangkauan pasang surut litoral sangat pendek jika dibandingkan dengan Pantai Baron, hal ini disebabkan oleh lereng pantai Krakal yang curam.
Energi gelombang pada pantai Krakal adalah 166 joule, termasuk ke dalam kelas energi gelombang lemah. Energi gelombang tersebut berasal dari hempasan gelombang laut yang pecah di pantai pada breaker zone yang tidak terlalu jauh jaraknya dari garis pantai. Kecepatan angin di pantai Krakal adalah 73.4 meter per detik.
Pantai Krakal memiliki diameter butir sedimen sebesar 1,225 mm, butir sedimen pantai ini termasuk kedalam jenis sedimen pasir sangat kasar (lihat Peta 3) yaitu Φ = -0.293 (skala Wenthworth). Butir sedimennya berwarna cerah merata hampir pada semua bagian pantainya. Hal ini menunjukkan bahwa butir sedimen pada pantai Krakal berasal dari hasil kikisan dasar laut yang diendapkan di pantai.
Air laut di perairan pantai Krakal memiliki salinitas sebesar 33 ‰. Suhu air laut di perairan pantai Krakal berkisar antara 33 – 36 ˚ C. Semakin menjauhi garis pantai, suhu air laut semakin kecil. Besar derajat keasaman perairan pantai Krakal berkisar antara 8 – 8,5. nilai derajat keasaman di sepanjang pantai Krakal tidak memiliki variasi yang besar.
Pantai Krakal merupakan pantai yang memiliki bentuk menjorok ke darat seperti teluk yang besar, dengan karang yang menempel pada pinggir pantainya. Kondisi ini membuat pantai Krakal memiliki energy gelombang yang kecil sehingga energy yang sampai pada garis pantainya juga kecil, hal tersebut membuat pantai krakal mudah untuk dijadikan habitat hidup rumput laut. Hal ini juga didukung dengan terdapatnya karang yang menjadi substrat hidupnya rumput laut. Pemanfaatan rumput laut pada pantai Krakal dibilang sudah lebih maju dibandingkan dengan pantai yang lain, karena sudah dikelola dengan baik oleh Universitas Gadjah Mada untuk dimanfaatkan sebagai sumber protein.
Namun pantai Krakal belum memiliki akses listrik yang membuat pantai indah ini belum dapat mengembangkan pemanfaatannya ke bidang pariwisata. Pemanfaatan lain pantai Krakal adalah bidang pertanian ikan tangkap tanpa kapal dan tambang pasir serta cangkang kerang untuk dijual ke pengrajin souvenir pariwisata pantai yang biasanya terdapat di pantai Baron.

2.6 Karakteristik Lingkungan Pantai Ngandong dan Pemanfaatannya
Pantai Ngandong adalah pantai kecil yang terletak di antara pantai Krakal dan Sundak. Pantai Ngandong memiliki topografi yang tergolong berombak (undulating) dengan kemiringan lereng pantai atau gisik sebesar 13° atau 23,08% termasuk ke dalam kelas lereng pantai bergelombang (lihat gambar 9). Pantai Ngandong memiliki jenis batuan gamping dengan tingkat pelapukan fisik sedang hingga kuat. Dengan jenis batuan dasar berupa gamping, tanah yang terbentuk di pantai ini termasuk jenis Mediteran.
Lebar sedimen pada Pantai Ngandong adalah 12,33 meter, dengan jangkauan pasang surut litoral pada Pantai Ngandong sekitar 12 meter. Hal ini disebabkan oleh lereng Pantai Ngandong yang curam. Jangkauan pasang surut yang pendek tidak memberikan kontibusi banyak untuk tambahan energi gelombang pada pantainya.
Energi gelombang pada Pantai Ngandong adalah 2193 joule termasuk ke dalam kelas energi gelombang kuat. Energi gelombang tersebut berasal dari hempasan gelombang laut yang pecah di pantai pada breaker zone yang tidak terlalu jauh jaraknya terhadap garis pantai. Akibat dari kekerasan batuan yang tidak homogen, membuat Pantai Ngandong memiliki bentuk pantai yang tidak teratur. Hal ini juga diperkuat dengan tidak terdapatnya penghalang (barrier) di muka pantai yang membuat daratan pada pantai mudah tererosi oleh ombak.
Pantai Ngandong memiliki diameter butir sedimen sebesar 0,725 mm, butir sedimen pantai ini termasuk ke dalam jenis sedimen pasir kasar (lihat Peta 3) yaitu Φ = 0.464 (skala Wenthworth). Butir sedimennya berwarna cerah merata hampir pada semua bagian pantainya. Hal ini menunjukkan bahwa butir sedimen pada Pantai Ngandong berasal dari hasil kikisan dasar laut yang kemudian diendapkan di pantai.
Pantai Ngandong memiliki salinitas air laut sebesar 33 ‰. Suhu air laut di perairan pantai Ngandong rata-rata sebesar 33 ˚ C. Nilai derajat keasaman perairan pantai Ngandong sebagian besar bernilai 8.
Pemanfaatan pantai Ngandong sangat terbatas, yaitu hanya dibidang perikanan tangkap saja, karena hamper setengah daerah pantai Ngandong merupakan pantai pribadi (private beach) yang kurang dapat diakses oleh masyarakat umum. Pantai Ngandong tidak memiliki banyak karang yang menempel pada garis pantainya sehingga memudahkan nelayan untuk menjalankan perahunya. Kondisi inilah yang membuat pantai Ngandong cukup produktif dalam memanfaatakan potensi pantai dibidang perikanan sampai memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI).

2.7 Karakteristik Lingkungan Pantai Sundak dan Pemanfaatannya
Pantai Sundak adalah pantai yang terletak paling timur pada daerah penelitian. Pantai Sundak memiliki topografi yang tergolong berombak (undulating) dengan kemiringan lereng pantai atau gisik sebesar 19.87° atau 36,02% termasuk ke dalam kelas lereng terjal (lihat gambar 10a dan 10b). Pantai Sundak memiliki jenis batuan gamping dengan tingkat pelapukan fisik sedang hingga kuat. Dengan jenis batuan dasar berupa gamping, tanah yang terbentuk di pantai ini termasuk jenis Mediteran.
Lebar sedimen pada Pantai Sundak adalah 12,7 meter, dan jangkauan pasang surut litoral pada Pantai Sundak sekitar 12,685 meter. Jangkauan pasang surut litoral sangat pendek jika dibandingkan dengan Pantai Baron padahal lereng Pantai Sundak cukup landai. Jangkauan pasang surut yang pendek khusus untuk Pantai Sundak dikarenakan oleh Pantai Sundak memiliki karang yang menempel tepat di pinggir pantainya, sehingga bagian sedimen yang terdapat di pantai lebih sedikit dibandingkan dengan panjang sedimen yang terdapat di karangnya. Jangkauan pasang surut Pantai Sundak tidak memberikan kontribusi yang besar pada penambahan energi gelombang di Pantai Sundak.
Energi gelombang pada Pantai Sundak adalah 293,22 joule termasuk ke dalam kelas energi gelombang lemah. Energi gelombang tersebut berasal dari hempasan gelombang laut yang pecah di pantai yang menghancurkan daratan (abrasi pantai atau erosi laut) yang diperkuat dengan tidak adanya halangan (barrier) pada pantainya. Pantai Sundak memiliki kekerasan batuan yang cukup homogen. Hal ini terbukti dari bentuk Pantai Sundak yang memanjang teratur.
Pantai Sundak memiliki diameter butir sedimen sebesar 1,225 mm. Butir sedimen pantai ini termasuk kedalam jenis sedimen pasir sangat kasar (lihat Peta 3) yaitu Φ = -0.293 (skala Wenthworth). Butir sedimennya berwarna cerah merata hampir pada semua bagian pantainya. Butir sedimen Pantai Sundak berasal dari hasil kikisan dasar laut yang kemudian diendapkan di pantai.
Pantai Sundak memiliki salinitas air laut antara 32 – 33 ‰. Suhu perairan berkisar antara 33 – 36 ˚ C. Di perairan yang terlindungi suhu air laut lebih rendah dibanding dengan di perairan yang tidak terlindungi. Derajat keasaman perairan pantai Sundak berkisar antara 7,5 – 8,5. Pada bagian barat pantai Sundak dimana terdapat arch nilai derajat keasaman lebih rendah dibanding di bagian lainnya.
Pantai Sundak yang terdiri atas 2 bagian, yaitu pantai Sundak bagian barat yang dimanfatkan pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul sebagai kawasan pariwisata, dan pantai Sundak bagian timur yang merupakan pantai milik pribadi (private beach) yang sudah dimanfaatkan sebagai resort yang tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum. Pantai Sundak memiliki karang yang menempel pada pinggir pantainya sehingga pemanfaatan pantai untuk perikanan tidak dapat dilakukan, melainkan pemanfaatan budidaya rumput laut yang cukup besar dan tambang pasir serta cangkang kerang yang memang banyak terdapat pada pantai pantai Sundak (bagian barat) menjadikan pantai Sundak sebagai salah satu pemasok bahan mentah souvenir pariwisata pantai.

BAB III
KESIMPULAN

Karakteristik lingkungan pantai karst pada daerah penelitian dari barat ke timur memiliki karakteristik pantai yang berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pemanfaatan pantai oleh warga yang tinggal di sekitar pantai.
Pantai Karst di Kabupaten Gunungkidul dimanfaatakan untuk bidang perikanan tangkap, budidaya rumput laut, dan dijadikan cagar.



Peta – peta :


































DAFTAR PUSTAKA

Bird, E. C. F. 1984. “An Introduction to Coastal Geomorphology” . Third edition.
Damayanti, Astrid. 2001. “Karakteristik beberapa Pantai Potensial di Daerah Istimewa Yogyakarta”, Jurnal Geografi, 02(7), hal 8-17, Departemen Geografi UI, Depok.
Kusnadi, Rachmat. 2001. “Geografi”, Grafindo Media Pratama, Bandung.
Longuet-higgins, M. 1970. “Longshore Currents Generated by Obluquely Incident Sea Waves” . J. Geopys Res
Pethick, John. 1984. “An Introduction to Coastal Geomorphology”, Edward Arnold, Mariland.
Purnama, Setyawan. 1992. “Petunjuk Praktikum Oseanografi”, Laboratorium Geomorfologi Dasar, Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Sandy, I. M. 1996. “Pantai dan Wilayah Pesisir. Dalam seminar sehari penerapan teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan pesisir ”, Jurusan Geografi FMIPA Universitas Indonesia, Jakarta.
Sullivan, Dr. Donald. 2001. Coastal Geological Materials . National Park Service, Additional image courtesy of, University of Denver. http://www.teachersdomain.org/resources/ess05/sci/ess/earthsys/coastenv/index.html (25 Okt. 2007)

Geography of Carbon Trade: Model Perhitungan Karbon Terestrial dan Aplikasinya di Indonesia

Geography of Carbon Trade:
Model Perhitungan Karbon Terestrial dan Aplikasinya di Indonesia

Rokhmatuloh dan Rudy P. Tambunan
Departemen Geografi FMIPA UI
Kampus UI Depok, Gedung H FMIPA UI, Depok 16424, Indonesia
Telp./Faks.: 021-7270030
Email: rokhmatuloh.ssi@ui.edu


Abstrak

Perubahan iklim dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Meningkatnya konsentrasi karbon dioksida (CO2) sebanyak dua kali lipat akan meningkatkan suhu bumi sebesar 1,4-5,8° C. Negara-negara industri di bagian utara menghasilkan emisi antara 10 – 1.600 juta metrik ton Karbon, jauh melebihi negara-negara di bagian selatan. Perdagangan karbon (carbon trading) adalah salah satu mekanisme yang didorong dalam Protokol Kyoto sebagai upaya mengurangi dampak pemanasan global yang berlangsung saat ini. Dalam skema REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) ada 2 (dua) parameter yang digunakan untuk menilai keberhasilan skema tersebut yaitu perubahan luas tutupan lahan (forest cover change) dan perubahan stock karbon (carbon stock change). Penelitian ini memaparkan metode perhitungan luas tutupan hutan dan estimasi stock karbon menggunakan data penginderaan jauh. Luas tutupan hutan yang didapat akan digunakan untuk menghitung CO2 yang diserap oleh vegetasi atau dilepaskan ke atmosfer. Dengan mengetahui besarnya stock karbon yang terdapat pada vegetasi hutan maka akan memperkuat posisi Indonesia dalam proses tawar menawar di pasar perdagangan karbon global yang berlangsung saat ini.


1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang
Perubahan iklim dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Peningkatan suhu bumi atau sering dikenal dengan pemanasan global merupakan hal yang nyata atas sejumlah pengamatan suhu udara dan samudera yang meningkat, meluasnya salju dan es yang meleleh dan kenaikan muka air laut rata-rata (IPCC, 2007). Kenaikan suhu bumi ini menjadi ancaman bagi kehidupan manusia dalam bentuk bencana kekeringan, banjir, tenggelamnya pulau-pulau, kelaparan, kesehatan, dan lain-lain.
Sepanjang abad ke-20, benua Asia telah mencatat rekor kenaikan suhu tertinggi 1° C (IPCC, 2007). Karena emisi akan tetap berada di atmosfer dalam waktu lama, pemanasan 10 tahunan sebesar 0,2° C hingga tahun 2030 diprediksi akan terjadi (IPCC, 2007). Menurut World Bank (2007), meningkatnya konsentrasi karbon dioksida (CO2) sebanyak dua kali lipat akan meningkatkan suhu bumi sebesar 1,4-5,8° C. Di Indonesia sendiri telah terjadi peningkatan suhu udara sebesar 0, 3° C sejak tahun 1990. Sementara di tahun 1998, suhu udara mencapai titik tertinggi, yaitu sekitar 1° C di atas suhu rata-rata tahun 1961-1990 (Hulme and Sheard, 1999). Skenario konsentrasi CO2, kenaikan suhu bumi dan kenaikan muka air laut rata-rata secara global sampai tahun 2100 diperlihatkan pada Tabel 1 di bawah ini. Menurut World Bank (2007), negara-negara industri di bagian utara menghasilkan emisi antara 10 – 1.600 juta metrik ton Karbon, jauh melebihi negara-negara di bagian selatan yang menghasilkan emisi 0 – 100 juta metrik ton Karbon. Gambar 1 memperlihatkan sebaran emisi Karbon Dioksida (CO2) yang dihasilkan oleh negara-negara di dunia berdasarkan laporan World Bank tahun 2007.
Tabel 1. Konsentrasi CO2 menurut skenario IPPC tahun 2001
Sumber: IPCC, 2001
Sumber: World Bank, 2007
Gambar 1. Total emisi Karbon Dioksida (CO2) pada masing-masing negara di dunia

Protokol Kyoto merupakan sebuah kesepakatan yang menjadi kelanjutan dari berbagai kesepakatan penyelamatan bumi akibat pemanasan global. Protokol Kyoto mewajibkan sejumlah negara industri untuk menurunkan emisi GRK sebesar 5,2 persen dari tingkat emisi tahun 1990 hingga akhir tahun 2012. Untuk mencapai target pengurangan emisi GRK, Protokol Kyoto mengadopsi beberapa mekanisme yaitu perdagangan karbon (carbon trading), implementasi bersama (joint implementation), dan mekanisme pembangunan bersih (CDM-clean development mechanism). Ada dua jenis perdagangan karbon yang dikenal saat ini yaitu perdagangan emisi (emission trading) dan perdagangan kredit berbasis proyek (trading in project based credit). Gambar 2 memperlihatkan negara-negara non-Annex 1 atau negara-negara yang tidak diharuskan mengurangi emisi yang potensial untuk dijadikan lokasi kegiatan pengurangan emisi baik dalam bentuk perdagangan karbon maupun CDM (IPCC, 1995).
Perdagangan karbon (carbon trading) adalah salah satu skema yang didorong dalam upaya mengurangi dampak pemanasan global yang berlangsung saat ini. Walaupun banyak pihak yang menolak skema ini karena dianggap lebih menguntungkan negara-negara industri (negara-negara Annex 1 dalam Protokol Kyoto) yang diperbolehkan terus menghasilkan emisi asalkan memberikan kompensasi yang salah satunya dalam bentuk penanaman pohon dan pelestarian hutan di negara-negara selatan termasuk di Indonesia (skema REDD-Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation dalam Bali Road Map 2007).
Vegetasi hutan tropis memiliki peran yang kuat dalam perubahan iklim lokal dan global, dan memiliki peran penting dalam fluktuasi karbon global (IPCC, 1996; Dixon et al., 1994). Vegetasi menyerap CO2 di atmosfer (carbon sink) melalui proses fotosintesis dan menyimpan karbon dalam struktur tanaman (Dixon et al., 1994). Dalam skema REDD ada 2 (dua) parameter yang digunakan untuk menilai keberhasilan skema tersebut yaitu perubahan luas tutupan lahan (forest cover change) dan perubahan stock karbon (carbon stock change) (IFCA, 2007).
Penelitian ini memaparkan metode perhitungan luas tutupan hutan dan estimasi stock karbon menggunakan data penginderaan jauh. Teknologi penginderaan jauh merupakan teknologi yang sangat bermanfaat dalam membantu melakukan kajian perubahan tutupan lahan dan estimasi stock karbon karena memiliki kemampuan melakukan observasi terhadap muka bumi yang dilakukan secara sistematik, wilayah cakupan (area coverage) yang luas mencapai ribuan kilometer, dan waktu ulang perekaman (revisit orbit) yang singkat 2-3 hari.

1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk melakukan perhitungan luas hutan dan melakukan estimasi stock karbon pada hutan yang ada di Indonesia dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh. Luas tutupan hutan yang didapat digunakan untuk menghitung CO2 yang diserap oleh vegetasi atau dilepaskan ke atmosfer. Dengan mengetahui besarnya stock karbon yang dimiliki maka akan memperkuat posisi Indonesia dalam proses tawar menawar di pasar perdagangan karbon global. Metode estimasi yang dihasilkan juga dapat digunakan untuk memonitor keberhasilan implementasi konsep REDD yang saat ini sudah mulai dilakukan di beberapa tempat di Indonesia.


Sumber: IPCC, 1995
Gambar 2. Negara-negara penandatangan Protokol Kyoto yang potensial menjadi lokasi kegiatan
pengurangan emisi karbon (Non-annex 1 countries).

2. Ekstraksi Tutupan Hutan dan Estimasi Stock Karbon

2.1. Ekstraksi Tutupan Hutan dengan Metode Regression Tree
Luas tutupan vegetasi diperoleh dengan menggunakan metode regression tree dengan data MODIS 250 meter digunakan sebagai variabel input, dan data QuickBird 60 cm digunakan sebagai data training untuk mendapatkan variable target. Model yang didapat kemudian diaplikasikan ke seluruh piksel pada area penelitian untuk mendapatkan luas tutupan vegetasi per piksel untuk seluruh wilayah Indonesia. Pendekatan utama yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari 5 step:
1. Menghitung luas tutupan hutan menggunakan metode klustering (unsupervised clusterring),
2. Merubah data komposit 8 harian menjadi data komposit bulanan untuk mengurangi besarnya volume data dan kecepatan analisis,
3. Membuat variabel pemrediksi seperti variabel reflektan permukaan (surface reflectance) dan NDVI (Normalized Differentiation Vegetation Index) yang diperoleh dari data MODIS,
4. Interpolasi secara spasial model yang didapat dari metode regression tree untuk seluruh area penelitian,
5. Konversi luas hutan menjadi total biomassa, estimasi karbon dan CO2 untuk wilayah Indonesia.
Metode regression tree merupakan salah satu metode pemodelan prediktif (predictive modeling) yang menghasilkan aturan if-then (if-then rule) yang mudah dipahami sehingga memudahkan proses pengkelasan yang dilakukan. Metode regression tree membagi data menjadi beberapa segmen yang disebut node terminal (terminal node) atau daun (leaves) yang homogen terkait dengan variable targetnya. Pemecahan ditentukan berdasarkan variabel input yang digunakan dan memungkinkan hubungan prediktif (predictive relationship) antara variabel input dan variabel target. Kehomogenan node terminal diukur berdasarkan persamaan berikut (Breiman et al., 1984):
D = ∑ (Yt – Yi)2
dimana D adalah total pengurangan nilai deviasi, Yt adalah variabel target dan Yi adalah nilai deviasi yang diukur dari rata-rata nilai variabel target.
Keuntungan metode regression tree adalah kemampuan menghasilkan keluaran yang sederhana sehingga memudahkan untuk dipahami dan diinterpretasi, tidak memerlukan waktu yang banyak dalam proses komputasinya, dan kemampuan mengolah data proporsi atau data kontinyu seperti data luas tutupan hutan yang memiliki kisaran 0 sampai 100 persen.

Gambar 3. Pemisahan (Splitting) data untuk membentuk subset yang homogen dalam metode regression tree.

Gambar 4. Tutupan hutan yang diperoleh dari citra MODIS

Perbandingan akurasi yang didapatkan antara metode regression tree dengan metode regresi linear sederhana menunjukkan bahwa regression tree menghasilkan kesalahan yang lebih kecil (RMSE= 11,71) bila dibandingkan dengan regresi linear sederhana yang menghasilkan RMSE= 22,13. Gambar 5 merupakan scatter plot yang menunjukkan perbandingan akurasi dari 2 (dua) metode di atas. Semakin dekat dengan garis diagonal semakin tinggi akurasi yang didapat. Keakurasian metode regression tree ditunjukkan oleh sebaran titik validasi-prediksi yang mengelompok terutama pada training data 0 - 20 persen dan 90 - 100 persen. Berbeda dengan sebaran titik validasi-prediksi yang dihasilkan oleh metode regresi linear sederhana yang tersebar menjauhi garis diagonal pada hampir semua persentase tutupan hutan.

(a)
(b)
Gambar 5. Scatter plot perbandingan akurasi antara (a) metode regression tree dengan (b) metode
regresi linear sederhana

2.2. Estimasi Stock Karbon
Stock karbon adalah jumlah absolut karbon yang berada di permukaan dan di dalam tanah dalam satu satuan waktu tertentu (Price et al., (1997), Kurz (1999), dan James (2005)). Dalam penelitian ini estimasi stock karbon dibatasi hanya yang terdapat pada vegetasi hutan. Estimasi karbon stock dilakukan dengan menggunakan data luas tutupan vegetasi dikalikan dengan data biomassa dan faktor konversi biomass-karbon (IPCC, 1996). Data luas tutupan hutan diperoleh dengan menggunakan metode regression tree seperti dibahas pada uraian sebelumnya.
Pengukuran karbon pada biomass hidup (living biomass) dilakukan dengan menkonversi luas tutupan hutan dikalikan dengan faktor volume vegetasi. Total berat karbon yang didapat dikalikan dengan faktor konversi karbon-CO2 (CFS, 2000). Persamaan-persamaan tersebut dapat dilihat seperti di bawah ini:
Total volume vegetasi = volume vegetasi x 1,454 x 0,396
Total biomass = luas tutupan vegetasi x total volume vegetasi
Total karbon = total biomass x 0,5
Total CO2 = total karbon x 3,6667

dimana 1,454 adalah faktor konversi volume dahan dan ranting vegetasi, 0,396 adalah faktor konversi volume vegetasi bawah (below-ground volume), 0,5 faktor konversi biomass-karbon, dan 3,6667 adalah faktor konversi karbon CO2 (IPCC, 1997; CFS, 2000) (lihat Gambar 6). Gambar 7 memperlihatkan keseluruhan metodologi yang digunakan dalam penelitian ini.


Gambar 6. Estimasi stock karbon Indonesia (terrestrial carbon) yang diperoleh dalam
penelitian ini

3. Kesimpulan
Negara-negara industri di bagian utara menghasilkan emisi antara 10 – 1.600 juta metrik ton Karbon, jauh melebihi negara-negara di bagian selatan yang menghasilkan emisi 0 – 100 juta metrik ton Karbon. Untuk mencapai target pengurangan emisi GRK, Protokol Kyoto mengadopsi beberapa mekanisme yaitu perdagangan karbon, implementasi bersama, dan CDM. Dalam skema REDD ada 2 (dua) parameter yang digunakan untuk menilai keberhasilan skema tersebut yaitu perubahan luas tutupan lahan (forest cover change) dan perubahan stock karbon (carbon stock change).
Metode regression tree yang digunakan untuk mendapatkan informasi luasan tutupan hutan dan estimasi stock karbon memiliki akurasi tinggi bila dibandingkan dengan metode regresi linear sederhana. Luasnya wilayah cakupan dan waktu ulang perekaman yang singkat yang didapatkan dari data penginderaan jauh sangat membantu dalam melakukan pengkajian perubahan luas tutupan hutan dan stock karbon di Indonesia. Besaran stock karbon yang telah diketahui dapat digunakan sebagai alat pembuktian ilmiah bagi Indonesia dalam proses tawar menawar di pasar perdagangan karbon global yang berlangsung saat ini.


Referensi
Breiman L., Friedman J., Olshen R., and Stone C., Classification and regression trees, Chapman and Hall, New York, 358p., 1984.
CFS (Canadian Forest Service), Carbon budget accounting at forest management level: An overview of issues and methods, Natural Resources Canada, 13p., 2000.
Dixon R.K., Brown S., Houghton R.A., Solomon A.M., Trexler M.C., and Wisniewski J., 1994, Carbon pools and flux of global forest ecosystem, Science, 263, pp. 185-190.
Hulme, M. and Sheard, N. Climate change scenarios for Indonesia. Leaflet CRU and WWF. Climatic Research Unit. UEA, Norwich, UK. 1999 .
IFCA (Indonesia Forest Climate Alliance), REDDI – Reducing emission from deforestation and degradation in Indonesia: REDD methodology and strategies, Departemen Kehutanan, Jakarta, 66p, 2007
IPCC, Climate Change 1995: A report of the interegovernmental panel on climate change, IPCC report, Geneva, Switzerland, 64p., 1995.
IPCC, Climate Change 1995: The IPCC second assessment report: Scientific-technical analyses of impacts, adaptations, and mitigation of climate change, Cambridge University Press, Cambridge, pp. 427–467, 1996.
IPCC, Stabilization of Atmospheric Greenhouse Gases: Physical, biological and socio-economic implications, IPCC Technical Paper III, Geneva, Switzerland. 41p., 1997
IPCC, Climate Change 2001: Impacts, adaptation, and vulnerability. Summary for policymakers and technical summary of the working group II report. WMO-UNDP, 2001.
James S.E., 2005, Development of forest carbon stock and stock change baselines in support of the 2004 climate action plan for Maine, Proceedings of the New England Society of American Foresters 85th Winter Meeting, March 16-18, 2005, Newtown Square, PA, USA.
Kurz, W.A., Beukema S.J., and Apps. M.J., 1998. Carbon budget implications of the transition from natural to managed disturbance regimes in forest landscapes, Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change, 2, pp. 405–421.
Price, D.T., Halliwell, D.H., Apps. M.J., Kurz W.A., and Curry S.R., 1997, Comprehensive assessment of carbon stocks and fluxes in a Boreal-Cordilleran forest management unit, Canadian Journal Forest Reearch, 27, pp.2005-20105.
UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change), Press Release: UN Breakthrough on climate change reached in Bali. 4 p., 2007.
World Bank. Little green data book 2007: Carbon dioxide emissions on the rise, warns World Bank publication, Washington, 240 p., 2007.

LAMPIRAN
Kyoto Protocol: Annex I countries (industrialized countries) :
Australia, Austria, Belarus, Belgium, Bulgaria, Canada, Croatia, Czech Republic, Denmark, Estonia, Finland, France, Germany, Greece, Hungary, Iceland, Ireland, Italy, Japan, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxembourg, Monaco, Netherlands, New Zealand, Norway, Poland, Portugal, Romania, Russian Federation, Slovakia, Slovenia, Spain, Sweden, Switzerland, Turkey, Ukraine, United Kingdom, United States of America
Kyoto Protocol - Annex II countries (developed countries which pay for costs of developing countries):
Australia, Austria, Belgium, Canada, Denmark, Finland, France, Germany, Greece, Iceland, Ireland, Italy, Japan, Luxembourg, Netherlands, New Zealand, Norway, Portugal, Spain, Sweden, Switzerland, United Kingdom, United States of America
Catatan: USA sampai saat ini belum meratifikasi Protocol Kyoto

Minggu, 07 Februari 2010

Bibliography Isaac Newton

Isaac Newton, ilmuwan paling besar dan paling berpengaruh yang pernah hidup di dunia, lahir di Woolsthrope, Inggris, tepat pada hari Natal tahun 1642, bertepatan tahun dengan wafatnya Galileo. Seperti halnya Nabi Muhammad, dia lahir sesudah ayahnya meninggal. Di masa bocah dia sudah menunjukkan kecakapan yang nyata di bidang mekanika dan teramat cekatan menggunakan tangannya. Meskipun anak dengan otak cemerlang, di sekolah tampaknya ogah-ogahan dan tidak banyak menarik perhatian. Tatkala menginjak akil baliq, ibunya mengeluarkannya dari sekolah dengan harapan anaknya bisa jadi petani yang baik. Untungnya sang ibu bisa dibujuk, bahwa bakat utamanya tidak terletak di situ. Pada umurnya delapan belas dia masuk Universitas Cambridge. Di sinilah Newton secara kilat menyerap apa yang kemudian terkenal dengan ilmu pengetahuan dan matematika dan dengan cepat pula mulai melakukan penyelidikan sendiri. Antara usia dua puluh satu dan dua puluh tujuh tahun dia sudah meletakkan dasar-dasar teori ilmu pengetahuan yang pada gilirannya kemudian mengubah dunia.
Pertengahan abad ke-17 adalah periode pembenihan ilmu pengetahuan. Penemuan teropong bintang dekat permulaan abad itu telah merombak seluruh pendapat mengenai ilmu perbintangan. Filosof Inggris Francis Bacon dan Filosof Perancis Rene Descartes kedua-duanya berseru kepada ilmuwan seluruh Eropa agar tidak lagi menyandarkan diri pada kekuasaan Aristoteles, melainkan melakukan percobaan dan penelitian atas dasar titik tolak dan keperluan sendiri. Apa yang dikemukakan oleh Bacon dan Descartes, sudah dipraktekkan oleh si hebat Galileo. Penggunaan teropong bintang, penemuan baru untuk penelitian astronomi oleh Newton telah merevolusionerkan penyelidikan bidang itu, dan yang dilakukannya di sektor mekanika telah menghasilkan apa yang kini terkenal dengan sebutan "Hukum gerak Newton" yang pertama.
Ilmuwan besar lain, seperti William Harvey, penemu ihwal peredaran darah dan Johannes Kepler penemu tata gerak planit-planit di seputar matahari, mempersembahkan informasi yang sangat mendasar bagi kalangan cendikiawan. Walau begitu, ilmu pengetahuan murni masih merupakan kegemaran para intelektual, dan masih belum dapat dibuktikan --apabila digunakan dalam teknologi-- bahwa ilmu pengetahuan dapat mengubah pola dasar kehidupan manusia sebagaimana diramalkan oleh Francis Bacon.
Walaupun Copernicus dan Galileo sudah menyepak ke pinggir beberapa anggapan ngelantur tentang pengetahuan purba dan telah menyuguhkan pengertian yang lebih genah mengenai alam semesta, namun tak ada satu pokok pikiran pun yang terumuskan dengan seksama yang mampu membelokkan tumpukan pengertian yang gurem dan tak berdasar seraya menyusunnya dalam suatu teori yang memungkinkan berkembangnya ramalan-ramalan yang lebih ilmiah. Tak lain dari Isaac Newton-lah orangnya yang sanggup menyuguhkan kumpulan teori yang terangkum rapi dan meletakkan batu pertama ilmu pengetahuan modern yang kini arusnya jadi anutan orang.
Newton sendiri agak ogah-ogahan menerbitkan dan mengumumkan penemuan-penemuannya. Gagasan dasar sudah disusunnya jauh sebelum tahun 1669 tetapi banyak teori-teorinya baru diketahui publik bertahun-tahun sesudahnya. Penerbitan pertama penemuannya adalah menyangkut penjungkir-balikan anggapan lama tentang hal-ihwal cahaya. Dalam serentetan percobaan yang seksama, Newton menemukan fakta bahwa apa yang lazim disebut orang "cahaya putih" sebenarnya tak lain dari campuran semua warna yang terkandung dalam pelangi. Dan ia pun dengan sangat hati-hati melakukan analisa tentang akibat-akibat hukum pemantulan dan pembiasan cahaya. Berpegang pada hukum ini dia --pada tahun 1668-- merancang dan sekaligus membangun teropong refleksi pertama, model teropong yang dipergunakan oleh sebagian terbesar penyelidik bintang-kemintang saat ini. Penemuan ini, berbarengan dengan hasil-hasil yang diperolehnya di bidang percobaan optik yang sudah diperagakannya, dipersembahkan olehnya kepada lembaga peneliti kerajaan Inggris tatkala ia berumur dua puluh sembilan tahun.
Keberhasilan Newton di bidang optik saja mungkin sudah memadai untuk mendudukkan Newton pada urutan daftar buku ini. Sementara itu masih ada penemuan-penemuan yang kurang penting di bidang matematika murni dan di bidang mekanika. Persembahan terbesarnya di bidang matematika adalah penemuannya tentang "kalkulus integral" yang mungkin dipecahkannya tatkala ia berumur dua puluh tiga atau dua puluh empat tahun. Penemuan ini merupakan hasil karya terpenting di bidang matematika modern. Bukan semata bagaikan benih yang daripadanya tumbuh teori matematika modern, tetapi juga perabot tak terelakkan yang tanpa penemuannya itu kemajuan pengetahuan modern yang datang menyusul merupakan hal yang mustahil. Biarpun Newton tidak berbuat sesuatu apapun lagi, penemuan "kalkulus integral"-nya saja sudah memadai untuk menuntunnya ke tangga tinggi dalam daftar urutan buku ini.
Tetapi penemuan-penemuan Newton yang terpenting adalah di bidang mekanika, pengetahuan sekitar bergeraknya sesuatu benda. Galileo merupakan penemu pertama hukum yang melukiskan gerak sesuatu obyek apabila tidak dipengaruhi oleh kekuatan luar. Tentu saja pada dasarnya semua obyek dipengaruhi oleh kekuatan luar dan persoalan yang paling penting dalam ihwal mekanik adalah bagaimana obyek bergerak dalam keadaan itu. Masalah ini dipecahkan oleh Newton dalam hukum geraknya yang kedua dan termasyhur dan dapat dianggap sebagai hukum fisika klasik yang paling utama. Hukum kedua (secara matcmatik dijabarkan dcngan persamaan F = m.a) menetapkan bahwa akselerasi obyek adalah sama dengan gaya netto dibagi massa benda. Terhadap kedua hukum itu Newton menambah hukum ketiganya yang masyhur tentang gerak (menegaskan bahwa pada tiap aksi, misalnya kekuatan fisik, terdapat reaksi yang sama dengan yang bertentangan) serta yang paling termasyhur penemuannya tentang kaidah ilmiah hukum gaya berat universal. Keempat perangkat hukum ini, jika digabungkan, akan membentuk suatu kesatuan sistem yang berlaku buat seluruh makro sistem mekanika, mulai dari pergoyangan pendulum hingga gerak planit-planit dalam orbitnya mengelilingi matahari yang dapat diawasi dan gerak-geriknya dapat diramalkan. Newton tidak cuma menetapkan hukum-hukum mekanika, tetapi dia sendiri juga menggunakan alat kalkulus matematik, dan menunjukkan bahwa rumus-rumus fundamental ini dapat dipergunakan bagi pemecahan problem.
Hukum Newton dapat dan sudah dipergunakan dalam skala luas bidang ilmiah serta bidang perancangan pelbagai peralatan teknis. Dalam masa hidupnya, pemraktekan yang paling dramatis adalah di bidang astronomi. Di sektor ini pun Newton berdiri paling depan. Tahun 1678 Newton menerbitkan buku karyanya yang masyhur Prinsip-prinsip matematika mengenai filsafat alamiah (biasanya diringkas Principia saja). Dalam buku itu Newton mengemukakan teorinya tentang hukum gaya berat dan tentang hukum gerak. Dia menunjukkan bagaimana hukum-hukum itu dapat dipergunakan untuk memperkirakan secara tepat gerakan-gerakan planit-planit seputar sang matahari. Persoalan utama gerak-gerik astronomi adalah bagaimana memperkirakan posisi yang tepat dan gerakan bintang-kemintang serta planit-planit, dengan demikian terpecahkan sepenuhnya oleh Newton hanya dengan sekali sambar. Atas karya-karyanya itu Newton sering dianggap seorang astronom terbesar dari semua yang terbesar.
Apa penilaian kita terhadap arti penting keilmiahan Newton? Apabila kita buka-buka indeks ensiklopedia ilmu pengetahuan, kita akan jumpai ihwal menyangkut Newton beserta hukum-hukum dan penemuan-penemuannya dua atau tiga kali lebih banyak jumlahnya dibanding ihwal ilmuwan yang manapun juga. Kata cendikiawan besar Leibniz yang sama sekali tidak dekat dengan Newton bahkan pernah terlibat dalam suatu pertengkaran sengit: "Dari semua hal yang menyangkut matematika dari mulai dunia berkembang hingga adanya Newton, orang itulah yang memberikan sumbangan terbaik." Juga pujian diberikan oleh sarjana besar Perancis, Laplace: "Buku Principia Newton berada jauh di atas semua produk manusia genius yang ada di dunia." Dan Langrange sering menyatakan bahwa Newton adalah genius terbesar yang pernah hidup. Sedangkan Ernst Mach dalam tulisannya di tahun 1901 berkata, "Semua masalah matematika yang sudah terpecahkan sejak masa hidupnya merupakan dasar perkembangan mekanika berdasar atas hukum-hukum Newton." Ini mungkin merupakan penemuan besar Newton yang paling ruwet: dia menemukan wadah pemisahan antara fakta dan hukum, mampu melukiskan beberapa keajaiban namun tidak banyak menolong untuk melakukan dugaan-dugaan; dia mewariskan kepada kita rangkaian kesatuan hukum-hukum yang mampu dipergunakan buat permasalahan fisika dalam ruang lingkup rahasia yang teramat luas dan mengandung kemungkinan untuk melakukan dugaan-dugaan yang tepat.
Dalam uraian yang begini ringkas, adalah mustahil membeberkan secara terperinci penemuan-penemuan Newton. Akibatnya, banyak karya-karya yang agak kurang tenar terpaksa harus disisihkan biarpun punya makna penting di segi penemuan dalam bidang masalahnya sendiri. Newton juga memberi sumbangsih besar di bidang thermodinamika (penyelidikan tentang panas) dan di bidang akustik (ilmu tentang suara). Dan dia pulalah yang menyuguhkan penjelasan yang jernih bagai kristal prinsip-prinsip fisika tentang "pengawetan" jumlah gerak agar tidak terbuang serta "pengawetan" jumlah gerak sesuatu yang bersudut. Antrian penemuan ini kalau mau bisa diperpanjang lagi: Newtonlah orang yang menemukan dalil binomial dalam matematika yang amat logis dan dapat dipertanggungjawabkan. Mau tambah lagi? Dia juga, tak lain tak bukan, orang pertama yang mengutarakan secara meyakinkan ihwal asal mula bintang-bintang.

Bibliography Galilei Galileo

Ilmuwan Itali besar ini mungkin lebih bertanggung jawab terhadap perkembangan metode ilmiah dari siapa pun juga. Galileo lahir di Pisa, tahun 1564. Selagi muda belajar di Universitas Pisa tetapi mandek karena urusan keuangan. Meski begitu tahun 1589 dia mampu dapat posisi pengajar di universitas itu. Beberapa tahun kemudian dia bergabung dengan Universitas Padua dan menetap di sana hingga tahun 1610. Dalam masa inilah dia menciptakan tumpukan penemuan-penemuan ilmiah.
Sumbangan penting pertamanya di bidang mekanika. Aristoteles mengajarkan, benda yang lebih berat jatuh lebih cepat ketimbang benda yang lebih enteng, dan bergenerasi-generasi kaum cerdik pandai menelan pendapat filosof Yunani yang besar pengaruh ini. Tetapi, Galileo memutuskan mencoba dulu benar-tidaknya, dan lewat serentetan eksperimen dia berkesimpulan bahwa Aristoteles keliru. Yang benar adalah, baik benda berat maupun enteng jatuh pada kecepatan yang sama kecuali sampai batas mereka berkurang kecepatannya akibat pergeseran udara. (Kebetulan, kebiasaan Galileo melakukan percobaan melempar benda dari menara Pisa tampaknya tanpa sadar).
Mengetahui hal ini, Galileo mengambil langkah-langkah lebih lanjut. Dengan hati-hati dia mengukur jarak jatuhnya benda pada saat yang ditentukan dan mendapat bukti bahwa jarak yang dilalui oleh benda yang jatuh adalah berbanding seimbang dengan jumlah detik kwadrat jatuhnya benda. Penemuan ini (yang berarti penyeragaman percepatan) memiliki arti penting tersendiri. Bahkan lebih penting lagi Galileo berkemampuan menghimpun hasil penemuannya dengan formula matematik. Penggunaan yang luas formula matematik dan metode matematik merupakan sifat penting dari ilmu pengetahuan modern.
Sumbangan besar Galileo lainnya ialah penemuannya mengenai hukum kelembaman. Sebelumnya, orang percaya bahwa benda bergerak dengan sendirinya cenderung menjadi makin pelan dan sepenuhnya berhenti kalau saja tidak ada tenaga yang menambah kekuatan agar terus bergerak. Tetapi percobaan-percobaan Galileo membuktikan bahwa anggapan itu keliru. Bilamana kekuatan melambat seperti misalnya pergeseran, dapat dihilangkan, benda bergerak cenderung tetap bergerak tanpa batas. Ini merupakan prinsip penting yang telah berulang kali ditegaskan oleh Newton dan digabungkan dengan sistemnya sendiri sebagai hukum gerak pertama salah satu prinsip vital dalam ilmu pengetahuan.
Penemuan Galileo yang paling masyhur adalah di bidang astronomi. Teori perbintangan di awal tahun 1600-an berada dalam situasi yang tak menentu. Terjadi selisih pendapat antara penganut teori Copernicus yang matahari-sentris dan penganut teori yang lebih lama, yang bumi-sentris. Sekitar tahun 1609 Galileo menyatakan kepercayaannya bahwa Copernicus berada di pihak yang benar, tetapi waktu itu dia tidak tahu cara membuktikannya. Di tahun 1609, Galileo dengar kabar bahwa teleskop diketemukan orang di Negeri Belanda. Meskipun Galileo hanya mendengar samar-samar saja mengenai peralatan itu, tetapi berkat kegeniusannya dia mampu menciptakan sendiri teleskop. Dengan alat baru ini dia mengalihkan perhatiannya ke langit dan hanya dalam setahun dia sudah berhasil membikin serentetan penemuan besar.
Dilihatnya bulan itu tidaklah rata melainkan benjol-benjol, penuh kawah dan gunung-gunung. Benda-benda langit, kesimpulannya, tidaklah rata serta licin melainkan tak beraturan seperti halnya wajah bumi. Ditatapnya Bima Sakti dan tampak olehnya bahwa dia itu bukanlah semacam kabut samasekali melainkan terdiri dari sejumlah besar bintang-bintang yang dengan mata telanjang memang seperti teraduk dan membaur satu sama lain.
Kemudian diincarnya planit-planit dan tampaklah olehnya Saturnus bagaikan dilingkari gelang. Teleskopnya melirik Yupiter dan tahulah dia ada empat buah bulan berputar-putar mengelilingi planit itu. Di sini terang-benderanglah baginya bahwa benda-benda angkasa dapat berputar mengitari sebuah planit selain bumi. Keasyikannya menjadi-jadi: ditatapnya sang surya dan tampak olehnya ada bintik-bintik dalam wajahnya. Memang ada orang lain sebelumnya yang juga melihat bintik-bintik ini, tetapi Galileo menerbitkan hasil penemuannya dengan cara yang lebih efektif dan menempatkan masalah bintik-bintik matahari itu menjadi perhatian dunia ilmu pengetahuan. Selanjutnya, penelitiannya beralih ke planit Venus yang memiliki jangka serupa benar dengan jangka bulan. Ini merupakan bagian dari bukti penting yang mengukuhkan teori Copernicus bahwa bumi dan semua planit lainnya berputar mengelilingi matahari.
Penemuan teleskop dan serentetan penemuan ini melempar Galileo ke atas tangga kemasyhuran. Sementara itu, dukungannya terhadap teori Copernicus menyebabkan dia berhadapan dengan kalangan gereja yang menentangnya habis-habisan. Pertentangan gereja ini mencapai puncaknya di tahun 1616: dia diperintahkan menahan diri dari menyebarkan hipotesa Copernicus. Galileo merasa tergencet dengan pembatasan ini selama bertahun-tahun. Baru sesudah Paus meninggal tahun 1623, dia digantikan oleh orang yang mengagumi Galileo. Tahun berikutnya, Paus baru ini –Urban VIII– memberi pertanda walau samar-samar bahwa larangan buat Galileo tidak lagi dipaksakan.
Enam tahun berikutnya Galileo menghabiskan waktu menyusun karya ilmiahnya yang penting Dialog Tentang Dua Sistem Penting Dunia. Buku ini merupakan peragaan hebat hal-hal yang menyangkut dukungan terhadap teori Copernicus dan buku ini diterbitkan tahun 1632 dengan ijin sensor khusus dari gereja. Meskipun begitu, penguasa-penguasa gereja menanggapi dengan sikap berang tatkala buku terbit dan Galileo langsung diseret ke muka Pengadilan Agama di Roma dengan tuduhan melanggar larangan tahun 1616.
Tetapi jelas, banyak pembesar-pembesar gereja tidak senang dengan keputusan menghukum seorang sarjana kenamaan. Bahkan dibawah hukum gereja saat itu, kasus Galileo dipertanyakan dan dia cuma dijatuhi hukuman enteng. Galileo tidak dijebloskan ke dalam bui tetapi sekedar kena tahanan rumah di rumahnya sendiri yang cukup enak di sebuah villa di Arcetri. Teorinya dia tidak boleh terima tamu, tetapi nyatanya aturan itu tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hukuman lain terhadapnya hanyalah suatu permintaarn agar dia secara terbuka mencabut kembali pendapatnya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Ilmuwan berumur 69 tahun ini melaksanakannya di depan pengadilan terbuka. (Ada ceritera masyhur yang tidak tentu benarnya bahwa sehabis Galileo menarik lagi pendapatnya dia menunduk ke bumi dan berbisik pelan, “Tengok, dia masih terus bergerak!”). Di kota Arcetri dia meneruskan kerja tulisnya di bidang mekanika. Galileo meninggal tahun 1642.
Sumbangan besar Galileo terhadap kemajuan ilmu pengetahuan sudah lama dikenal. Arti penting peranannya terletak pada penemuan-penemuan ilmiah seperti hukum kelembaman, penemuan teleskopnya, pengamatan bidang astronominya dan kegeniusannya membuktikan hipotesa Copernicus. Dan yang lebih penting adalah peranannya dalam hal pengembangan metodologi ilmu pengetahuan. Umumnya para filosof alam mendasarkan pendapatnya pada pikiran-pikiran Aristoteles serta membuat penyelidikan secara kualitatif dan fenomena yang terkategori. Sebaliknya, Galileo menetapkan fenomena dan melakukan pengamatan atas dasar kuantitatif. Penekanan yang cermat terhadap perhitungan secara kuantitatif sejak itu menjadi dasar penyelidikan ilmu pengetahuan di masa-masa berikutnya.
Galileo mungkin lebih punya tanggung jawab daripada orang mana pun untuk penyelidikan ilmiah dengan sikap empiris. Dialah, dan bukannya yang lain, yang pertama kali menekankan arti penting peragaan percobaan-percobaan, dia menolak pendapat bahwa masalah-masalah ilmiah dapat diputuskan bersama dengan kekuasaan, apakah kekuasaan itu namanya Gereja atau kaidah dalil Aristoteles. Dia juga menolak keras bersandar pada skema-skema yang menggunakan alasan ruwet dan bukannya bersandar pada dasar percobaan yang mantap. Cerdik cendikiawan abad tengah memperbincangkan bertele-tele apa yang harus terjadi dan mengapa sesuatu hal terjadi, tetapi Galileo bersikeras pada arti penting melakukan percobaan untuk memastikan apa sesungguhnya yang terjadi. Pandangan ilmiahnya jelas gamblang tidak berbau mistik, dan dalam hubungan ini dia bahkan lebih modern ketimbang para penerusnya, seperti misalnya Newton.
Galileo, dapat dianggap orang yang taat beragama. Lepas dari hukuman yang dijatuhkan terhadap dirinya dan pengakuannya, dia tidak menolak baik agama maupun gereja. Yang ditolaknya hanyalah percobaan pembesar-pembesar gereja untuk menekan usaha penyelidikan ilmu pengetahuannya. Generasi berikutnya amat beralasan mengagumi Gahleo sebagai lambang pemberontak terhadap dogma dan terhadap kekuasaan otoriter yang mencoba membelenggu kemerdekaan berfikir. Arti pentingnya yang lebih menonjol lagi adalah peranan yang dimainkannya dalam hal meletakkan dasar-dasar metode ilmu pengetahuan modern.

Bibliography Johanes Kepler

Johannes Kepler (27 Desember 1571 – 15 November 1630), seorang tokoh penting dalam revolusi ilmiah, adalah seorang astronom Jerman, matematikawan dan astrolog. Dia paling dikenal melalui hukum gerakan planetnya. Dia kadang dirujuk sebagai "astrofisikawan teoretikal pertama", meski Carl Sagan juga mamanggilnya sebagai ahli astrologi ilmiah terakhir.
Orang Eropa abad ke-16 sangat mengagumi komet. Maka, pada suatu malam, sewaktu sebuah komet yang dipopulerkan oleh astronom Denmark Tycho Brahe terlihat di langit, Katharina Kepler membangunkan putranya, Johannes, yang berusia enam tahun untuk menyaksikan komet itu. Lebih dari 20 tahun kemudian, sewaktu Brahe meninggal, siapakah yang dilantik Kaisar Rudolf II untuk menggantikan jabatan Brahe sebagai matematikawan kekaisaran? Pada usia 29 tahun, Johannes Kepler menjadi matematikawan kekaisaran untuk Kaisar Romawi Suci, beserta ahli astrologi kerajaan Jendral Wallenstein, suatu jabatan yang ia pegang hingga akhir hayatnya. Kepler juga seorang profesor matematika di Universitas Graz. Karir Kepler juga bersamaan dengan karir Galileo Galilei. Pada awal karirnya, Kepler adalah asisten Tycho Brahe.
Kepler sangat dihargai bukan hanya dalam bidang matematika. Ia menjadi sangat terkenal di bidang optik dan astronomi. Kepler, meski perawakannya kecil, memiliki kecerdasan yang memukau dan juga kepribadian yang gigih. Ia didiskriminasi sewaktu tidak mau pindah agama ke Katolik Roma, sekalipun di bawah tekanan hebat.
Johannes Kepler lahir pada tahun 1571 di Weil der Stadt, sebuah kota kecil di pinggiran Hutan Hitam Jerman. Meskipun keluarganya miskin, beasiswa dari para bangsawan lokkal memungkinkan Johannes mendapatkan pendidikan yang baik. Ia mempelajari teologi di Universitas Tüũbingen, sesuai niatnya untuk menjadi rohaniwan Lutheran. Tetapi, kejeniusannya di bidang matematika mendapat pengakuan. Pada tahun 1594, ketika seorang guru matematika di SMU Lutheran di Graz, Austria, meninggal dunia, Kepler menggantikannya. Sewaktu berada di sana, ia menerbitkan karya besarnya yang pertama, Cosmographic Mystery(Misteri Kosmografis).
Astronom Brahe telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mencatat pengamatannya tentang planet dengan cermat dan teliti. Ketika ia membaca Cosmographic Mystery, Brahe terkesan dengan pemahaman Kepler tentang matematika dan astronomi, dan ia mengundang Kepler untuk bergabung dengannya di Benátky, dekat Praha, sekarang di Republik Ceko. Kepler menerima undangan itu ketika intoleransi keagamaan memaksanya meninggalkan Graz. Sebagaimana telah diceritakan di atas, ketika Brahe meninggal, Kepler menggantikan dia. Sebagai ganti seorang pengamat yang sangat teliti, sekarang dewan penasihat kekaisaran memiliki orang yang jenius di bidang matematika.
Untuk memperoleh manfaat sepenuhnya dari kumpulan pengamatan Brahe tentang planet, Kepler perlu lebih banyak memahami tentang pembiasan cahaya. Bagaimana pantulan cahaya dari sebuah planet dibiaskan sewaktu memasuki atmosfer bumi? Penjelasan Kepler tertuang dalam buku Supplement to Witelo, Expounding the Optical Part of Astronomy (Suplemen untuk Witelo, Menjabarkan Bagian Optik dari Astronomi), yang lebih banyak memberikan perincian tentang karya Witelo, Ilmuwan Abad Pertengahan. Buku Kepler itu adalah Tonggak Sejarah Di Bidang Optik. Ia adalah orang pertama yang menjelaskan cara kerja mata.
Akan tetapi, bidang utama yang Kepler geluti bukanlah optik, melainkan astronomi. Para astronom masa awal yakin bahwa langit adalah bulatan kosong dengan bintnag-bintang yang menempel di bagian dalamnya seperti berlian yang berkilau. Ptolemaus menganggap bumi sebagai pusat alam semesta, sedangkan Kopernikus yakin bahwa planet-planet semuanya mengitari matahari yang tidak bergerak. Brahe memperkirakan bahwa planet-planet lain berputar mengelilingi matahari, yang selanjutnya mengorbit bumi. Karena berbeda dengan bumi, semua planet lainnya dalah benda langit, benda-benda ini dianggap sempurna. Satu-satunya bentuk gerakan yang dianggap cocok untuk planet-planet itu ialah bentuk lingkarang sempurna, setiap planet bergerak dengan kecepatan konstan. Dalam iklim inilah Kepler memulai tugasnya sebagai matematikawan kekaisaran.
Diperlengkapi dengan tabel-tabel pengamatan gerakan planet yang disusun oleh Brahe, Kepler mempelajari gerakan kosmis dan menarik kesimpulan berdasarkan apa yang ia lihat. Selain jenius dalam soal angka, ia juga mempunyai tekad yang kuat dan rasa ingin tahu yang tak habis-habisnya. Kesanggupannya yang luar biasa untuk bekerja dibuktikan oleh ke-7200 perhitungan rumit yang ia rampungkan sewaktu mempelajari tabel-tabel pengamatan tentang Mars.
Mars-lah yang pertama-tama menarik perhatian Kepler. Setelah dengan saksama mempelajari tabel-tabel itu, tersingkaplah bahawa Mars mengorbit matahari tetapi bukan dalam lingkaran sempurna. Satu-satunya bentuk orbit yang cocok dengan pengamatan itu ialah bentuk elips (lonjong) dengan matahari sebagaisalah satu titik fokusnya. Akan tetapi, Kepler sadar bahwa kunci untuk menyibakkan rahasi langit bukanlah Mars, melainkan planet Bumi. Menurut Profesor Max Caspar, "Temuan Kepler memotivasi diauntuk mencoba pendekatan yang jenius". Ia menggunakan tbael-tabel itu dengan cara yang tidak lazim. Ketimbang menggunakan tabel-tabel itu untuk menyelidiki Mars, Kepler membayangkan dirinya sedang berdiri di Mars dan melihat ke Bumi. Ia menghitung kecepatan gerakan bumi bervariasi dan berbanding terbalik dengan jaraknya matahari.
Sekarang, Kepler mengerti bahwa matahari bukan sekadar pusat dari tata surya. Matahari juga berfungsi seperti sebuah magnet, berputar pada porosnya dan mempengaruhi gerakan planet-planet. Caspar menulis, "Ini adalah konsep yang benar-benar baru yang sejak saat itu memandu dia dalam risetnya dan menuntunnya ke penemuan hukum-hukumnya". Bagi Kepler, semua planet adalah benda-benda fisik yang dengan harmonis diaturoleh serangkaian hukum yang beragam. Apa yang telah ia pelajari dari Mars dan Bumi pasti berlaku juga atas semua planet. Jadi, ia menyimpulkan bahwa setiap planet mengitari matahari dalam orbit elips pada kecepatan yang bervariasi sesuai dengan jaraknya dari matahari.
Pada tahun 1609, Kepler menerbitkan buku New Astronomy (Astronmi Baru), yang diakui sebagai buku astronomi modern yang pertama dan salah satu buku terpenting yang pernah ditulis tentang subjek itu. Mahakarya ini memuat dua hukum Kepler yang pertama tentang gerakan planet. Hukumnya yang ketiga diterbitkan dalam buku Harmonies of the World (Keharmonisan Dunia) pada tahun 1619, sewaktu ia tinggal di Linz, Austria. Tiga hukum ini mendefinisikan dasar-dasar gerakan planet: bentuk orbit planet yang mengitari matahari, kecepatan gerakan planet, dan hubungan antara jarak sebuah planet dari matahari dan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu putaran.

Halaman